Halaman

Kamis, 26 Agustus 2021

PENGARUH DUNIA PENDIDIKAN AFGANISTAN DIBAWAH REZIM TALIBAN

 

PENGARUH DUNIA PENDIDIKAN AFGANISTAN DIBAWAH REZIM TALIBAN

 


Septevan nanda yudisman S.Pd.M.A


 

 

A.    Madrasah-madrasah Afghanistan

 

Madrasah-madrasah di Afghanistan merupakan kunci penting untuk menjelaskan asal-muasal gerakan Taliban . Taliban telah mengawali kemunculannya dari arah selatan, di sekitaran provinsi Qandahar. Hal ini kuat mengindikasikan bahwa dari banyaknya madrasah Islam yang terserak di Afghanistan, madrasah-madrasah di provinsi Qandahar hingga di perbatasan selatan Afghanistan-Pakistan merupakan tempat paling memungkinkan Taliban dalam memulai mengkonsolidasikan milisinya. Taliban yang berintikan para pelajar madrasah-madrasah di bagian selatan Afghanistan mendukung kenyataan tersebut.

 Taliban sukses melaksanakan operasi-operasi militernya sejak tahun 1994, dan pada tahun 1996 para pelajar yang dibesarkan dalam masa perang ini berhasil merebut Kabul. Pada saat-saat itu, publik Afghan dan dunia kembali menyadari bahwa madrasah-madrasah Islam di Afghanistan memang berperan penting dalam kondisi politik yang sedang bergulir. Tradisi tersebut tentu saja dipegang oleh Taliban. Oleh karena itu sebutan “Taliban” sebenarnya merujuk pada seluruh gerakan pelajar-pelajar madrasah di sepanjang sejarah Afghanistan yang berperan penting dalam peristiwa-peristiwa politik penting. Namun sebutan ini kini hanya dipakai untuk menyebut para pelajar madrasah dari bagian selatan Afghanistan, yang memulai gerakannya pada tahun 1994. Karakteristik madrasah-madrasah Afghanistan, atau lebih khususnya bagi madrasah-madrasah di bagian selatan Afghanistan tempat Taliban lahir, lebih utama sebelum membahas tujuan-tujuan dan bentuk ideologis dari gerakan Taliban. Satu hal lagi yang menjadi perhatian ketika Taliban mampu melakukan suksesi milisi pertama mereka di Qandahar, yang terus berlanjut hingga tahun 1996, adalah sebuah kenyataan bahwa pendidikan Islam yang dirangkum di dalam madrasah membuktikan dirinya menjadi sebuah unit mobilitas sosial, yaitu komunitas yang memberi kesempatan bagi pemuda Afghan untuk meningkatkan kemampuannya secara edukatif.

Hal ini terbukti dengan munculnya Taliban, meski pada awalnya mereka kurang dikenal publik. Selama masa perang melawan Soviet, pengungsi-pengungsi Afghan tersebar di seluruh perbatasan Afghanistan-Pakistan bagian selatan dan timur. Di barak-barak pengungsian tersebut kemudian muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam, seiring dengan terus berlangsungnya kegiatan pendidikan madrasah-madrasah di bagian selatan Afghanistan. Ada suatu analisis, bahwa madrasah-madrasah baru yang muncul di barak-barak pengungsian tersebut dikelola oleh sebuah partai Islam Pakistan yang disebut Jamaat Ulama Islam, yang dipimpin oleh figur Maulana Fazlur Rahman. Kemungkinan bahwa Taliban juga mencakup-inti pelajar-pelajar dari madrasah-madrasah yang dikelola partai Islam Pakistan tersebut masih sangat kabur.

 Madrasah-madrasah di Afghanistan memiliki posisi khusus di tengah masyarakat. Madrasah-madrasah tersebut menjadi tempat paling strategis bagi masyarakat Afghan untuk mengimprovisasi kehidupannya dan motivasi-motivasi sosial lain, yang hal tersebut sebenarnya telah berlangsung sejak lama.Madrasah, bagi masyarakat Afghan, merupakan sebuah bagian dari kebutuhan kehidupan.

Madrasah telah menciptakan identitas tersendiri bagi bangsa Afghan. Dalam hal ini, madrasah mungkin berperan besar bagi lintas dan batas etnis di Afghan. Kehadiran madrasah, dalam lingkup lintas dan batas etnis, berperan dan berfungsi untuk menyediakan alternatif untuk menanggulangi masalah-masalah etnis yang terjadi di Afghanistan. Masalah etnis dan kesukuan memang sempat menjadi problem serius, namun seperti dinyatakan oleh Bernt Glatzer bahwa ia yakin Afghanistan tidak berada di jurang perpecahan etnis dan tribal. Glatzer setuju bahwa jika persoalan etnis itu dikemukakan atau terlalu ditekankan, negara akan berada dalam bahaya. Hal ini diidentifikasi Glatzer sebagai kekuatan sorotan media yang menentukan, khususnya arahan media yang terlalu menajamkan persoalan-persoalan perbedaan etnis di Afghanistan.Pernyataan Glatzer tersebut sekaligus mendukung bahwa etnis, di Afghanistan, merupakan kenyataan yang sensitif lagi ringkih posisinya. Namun pernyataan dan kenyataan tersebut seolah tertangani secara otomatis dengan hadirnya madrasah. Bahkan madrasah dapat dikatakan sebagai penemuan terbesar bangsa Afghan sejak mereka mengenal keharusan adanya institusi untuk meningkatkan taraf hidup mereka secara edukatif. Madrasah di Afghanistan, kalau disadari perannya, merupakan penyangga terbesar yang meredam persoalan sosial dan politik. Wacana legitimasi madrasah-pun mampu muncul di tengah-tengah masyarakat Afghan. Masyarakat agamis ini memerlukan sebuah institusi untuk memenuhi kekosongan alternatif sosial hidup mereka. Madrasah Afghanistan pun menawarkan tatanan itu, sehingga siapa-pun penguasa yang berkuasa di Afghanistan, mereka perlu sekali mendapat legitimasi dari madrasah. Pun ketika Afghanistan diinvasi oleh kekuatan Komunisme sejak tahun 1960-an. Ketika pemerintah nampak tidak memerlukan kehadiran dan mengabaikan institusi ini, madrasah kembali menyediakan tawaran kekuatan sosial yang besar, seiring dengan identitas pemerintah yang semakin kontra terhadap rakyat. Hal ini terjadi pada pemerintahan Zhahir Shah.

Kebijakan Revolusi Kebudayaan yang digulirkan oleh Zhahir Shah secara otomatis menyinggung masyarakat Afghanistan yang sebagian besar Muslim. Madrasah-madrasah yang menjadi sentral-sentral ilmu-ilmu keislaman kemudian mulai menunjukkan sel-sel pergerakan. Hal tersebut memuncak pada tahun 1970- an, ketika para mahasiswa, yang sebagian besar berasal dari kalangan pelajar madrasah, mulai menunjukkan aksi perlawannanya kepada para penguasa yang secara sistematis berusaha meminggirkan peran madrasah. Hal tersebut kembali berlaku, pada saat Mujahidin berkuasa di Kabul, setelah mampu mengusir Soviet.

Pemerintahan Burhanuddin Rabbani memang tidak langsung meminggirkan peran dan fungsi madrasah, namun secara tidak langsung pula, pemerintahan tersebut melupakan dan mengabaikan eksistensi madrasah. Anarki yang terjadi setelah Mujahidin berkuasa, dan menguasai wilayah-wilayah Afghanistan, sehingga Afghanistan tercabik-cabik atas partai- partai Mujahidin, serta kehadiran kejahatan yang meningkat kala itu, seakan-akan melupakan adanya madrasah sebagai agen yang menjaga kekuatan moral sosial dan keamanan di Afghanistan. Maka kembalilah muncul Taliban yang utama dan pertama sebagai gerakan membersihkan degradasi moral dan menawarkan keamanan. Kemananan yang ditawarkan tersebut datang dari kalangan madrasah. Madrasah kemudian mampu menyerap pemuda-pemuda Afghan yang bersemangat dan brilian. Hal yang khusus terjadi di Afghanistan bagian selatan dan di perbatasan Afghanistan-Pakistan di selatan Afghanistan. Secara mengejutkan selama sepuluh tahun, semenjak para pengungsi Afghan menempati barak-barak pengungsian di Pakistan, madrasah-madrasah baru di barak-barak pengungsian tersebut kemudian melahirkan pemuda-pemuda yang diandalkan untuk menjadi guru-guru madrasah dan para pengurus masjid.

Hal ini merupakan pencapaian, mengingat madrasah-madrasah tersebut awalnya jelas didirikan secara temporer untuk para pengungsi. Jika partai Islam Pakistan juga mengelola madrasah-madrasah tersebut, maka mungkin di sini-lah terdapat hubungan yang berarti bagi madrasah-madrasah pengungsian tersebut dan kepentingan partai Jamaat Ulama Islam tersebut, karena jumlah lulusan madrasah yang benar-benar dalam jumlah besar. Sesuatu yang dianggap keuntungan bagi partai tersebut. Madrasah-madrasah Islam bagi masyarakat Afghan telah jelas menawarkan kesempatan-kesempatan penting. Madrasah-madrasah tersebut David B. Edwards, loc.cit. 100 kemudian menjadi tradisi positif bagi masyarakat Afghan,seiring dengan Islamisasi yang terus mengakar kuat, sekalipun pengaruh-pengaruh api sekularitas dan modernitas menjilat-jilat kebudayaan bangsa ini.

Hal ini kemudian menjadi faktor utama mengapa madrasah-madrasah Afghan selalu lebih digemari, sekalipun berbagai sekolah sekular mulai menjamahi kehidupan masyarakat Afghan. Madrasah yang telah menjadi simbol perlawanan, menyediakan identitas yang lebih bisa mengantarkan masyarakat Afghan untuk melihat dunia luar, ketimbang tawaran-tawaran menjanjikan nan semu dari sekolah-sekolah sekular. Pun inilah mengapa ketika Universitas Kabul yang sekular didirikan, sensitifitas keislaman bagi Gulbulddin Hikmatyar dan tokoh-tokoh pergerakan Islam dalam Muslim Youth Organization tetap menyemburkan api perlawanan di bawah bendera Islam.

Dengan ini, dapatlah dimengerti bahwa Taliban tumbuh di dalam lingkungan madrasah-madrasah, khususnya di madrasah-madrasah bagian selatan Afghanistan, yang dibesarkan melalui reputasi yang telah populer. Perjalanan sejarah di Afghanistan membuktikan kenyataan adanya perlawanan yang dimulai dari madrasah-madrasah Afghanistan ini. Hal ini yang kemudian digunakan sebagai legitimasi bagi Taliban sebagai modal perjuangannya, bahwa madrasah masih mampu membuktikan kekuatan sosial-politik-nya, bahkan militer di dalam arena peristiwa politik yang terjadi. Hal yang juga penting adalah tentang bentuk ideologis yang dimiliki oleh Taliban. Jika madrasah-madrasah Afghanistan telah menggambarkan tempat lahirnya gerakan ini, maka hal yang perlu digali selanjutnya adalah tentang formulasi ideologis Taliban beserta madrasah- madrasah mereka.

B.     Wajah Ideologis Taliban

Para pengamat menyebut bahwa Taliban diinspirasi oleh sebuah aliran yang disebut sebagai aliran Deobandi. Sebuah “mazhab” yang berasal dari madrasah di India utara, Deoband Darul ‘Ulum, yang telah berdiri sejak tahun 1866. William Maley menggambarkan aliran Deoband tersebut sebagai aliran yang mengajarkan agama (Islam) dengan cara-cara yang ortodoks. Taliban, dalam bahasa Maley, telah memandang “dosa dan kemungkaran berasal dari tidak terlaksananya agama secara benar. Karenanya, dianggap sangat perlu lahirnya perilaku yang memungkinkan untuk terselesaikannya kesulitan-kesulitan yang  menimpa Afghanistan.

Untuk itu Taliban membentuk satuan pengaman (polisi) yang sangat ditakuti, sebuah departemen yang bertanggung-jawab untuk pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar.” Apa yang disebut Maley dengan “ortodoks” tersebut jelas menganut framework Barat tentang cara memandang Islam, dunia Islam dan segala komponennya. Menurut catatan Dietrich Reetz, Madrasah Darul ‘Ulum Deoband didirikan pada tahun 1866, di India Utara oleh Muhammad Qasim Nanaotawi (1832-1879) dan Rashid Ahmad Gangohi (1829-1905). Madrasah ini didirikan karena kurangnya pendidikan Islam di antara Muslim India. Para pelajar madrasah mengkhawatirkan hilangnya identitas mereka dengan berkembangnya nilai-nilai Barat dan pengajaran bahasa Inggris dalam masyarakat. Setelah kekalahan gerakan anti-kolonialisme pada tahun 1857-1858, yang mana banyak bangsawan-bangsawan Muslim dan para pelajar ambil bagian di dalamnya, institusi Islam dicurigai sebagai institusi yang masih memberontak.

Apa yang disebut Barat sebagai “fundamentalisme Islam” memang semakin lama membentuk phobia bagi Barat sendiri. Ini adalah pertaruhan ideologi bagi Barat. Di Afghanistan, pada era Taliban ini, Negara dan pemerintahan Islam Taliban merupakan sebuah momok, karena ketakutan Barat akan sebuah hegemoni yang menyainginya ternyata telah muncul, setelah lam Barat bersembunyi di balik zona nyaman pasca keruntuhan Khilafah Turki Utsmani. Dengan demikian, Barat buru-buru melabeli Taliban dengan wajah ideologis yang penuh konflik semacam ini, meskipun telah sejak lama istilahistilah ideologis konflik ini digunakan, sepanjang gerakan-gerakan yang menjadikan Islam sebagai satu-satu-nya ada ideologi terus eksis dan stabil di muka bumi Pada gilirannya, jika Barat dalam memandang wajah ideologis Taliban dengan garis filosofis konflik ini, maka tentu akan ada wilayah konfrontasi yang sangat dalam antara Islam dan Barat. Meminjam istilah Naquib al-Attas, inilah yang disebut sebagai A Permanent Confrontation—sebuah konfrontasi abadi. Sehingga, konsep konfrontasi abadi ini, jelas menyeret Taliban ke dalam panggung sejarah pertentangan antara Islam dan Barat. Dengan deklarasi Negara Islam Taliban, kebijakannya memasukkan “fundamentalis Islam” ke dalam Afghanistan, serta menjadikannya negara paling strategis dalam persinggunagan dan embrio peta konflik Barat dengan Islam. Namun ada satu wilayah bagi Taliban sebelum menyusuri garis takdir sejarah tersebut, ialah perjuangannya untuk bergerak menyusuri dan merebut provinsi-provinsi Afghanistan yang diduduki Mujahidin. Meskipun pada level ini, aroma persimpangan ideologis telah menyambangi Taliban.

 

 

C.    Perjuangan Mengawal Afghanistan

Jarang ada sebuah gerakan Islam yang melakukan eksperimen gerakannya begitu cepat, namun tetap mendapatkan hasil prestasi yang maksimal. Inilah yang ditunjukkan Taliban melalui penaklukkan ibukota Afghanistan, Kabul, yang dilakukan dalam waktu, kurang lebih, tiga tahun sejak gerakan Islam ini memulai gerakannnya pada awal tahun 1994. Dengan ini, kembalilah terjadi pergeseran kekuatan pada kehidupan politik di Afghanistan. Pergeseran kekuatan yang begitu cepat ini segera memberi ruang pada pertanyaan identitas tentang kelompok yang  melakukan pergeseran itu. Itu semua karena sejak penaklukkan Taliban atas Kabul, media masa masih mempertanyakan visi politik kelompok ini.

Namun semuanya menjadi jelas ketika Taliban berkomitmen untuk mendeklarasikan sebuah negara yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam,tak lama setelah menggeser Burhanuddin Rabbani. Madrasah-madrasah di Qandahar dan perbatasan Afghanistan-Pakistan nampaknya telah berhasil mempersiapkan Taliban untuk menanggung pekerjaan- pekerjaan besar di dunia luar, beserta kepentingan-kepentingan yang berlaku. Namun tanggung-jawab atas proses follow up, rekruitmen dan konsolidasi internal pada tubuh Taliban dilimpahkan kepada seorang pria Qandahar, mantan veteran Afghan dalam melawan Uni Soviet, yang sangat low profile. Dialah Mullah Muhammad ‘Umar yang kerap disapa Mullah ‘Umar. Hingga Taliban mampu menaklukkan Kabul dan mendeklarasikan terbentuknya Negara Islam pada tahun 1996, Mullah ‘Umar inilah yang resmi ditetapkan sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang beriman) Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban.

Sejak pengambil-alihan pemerintahan itu juga, Taliban segera mengorbitkan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang baru terbentuk tersebut. Sambil melacak keberadaan Rabbani dan Hikmatyar di wilayah utara dan menyusun strategi praktis untuk menaklukkan tiga propinsi yang belum jatuh, penerapan hukum Islam di Afghanistan mulai diberlakukan termasuk permasalahan-permasalahan teknis keseharian. Dengan berdenyutnya kembali jantung politik dan nadi pemerintahan Kabul di bawah Taliban, Afghanistan jelas akan menghadapi tantangan-tantangan baru. Terutama visi politik dan pemerintahan Islam ini jelas akan menjengkelkan Barat, yang selama ini memandang Islam sebagai tantangan hegemoninya, bersama para pengikutnya. Begitu pula sebaliknya, Barat, terutama Amerika Serikat, akan menjadi tantangan serius bagi Taliban. Hal ini mengingat Amerika Serikat dan Barat juga memerlukan konflik untuk menguatkan status identitasnya, di samping tujuan.

D.    Metode Penelitian.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksplanatif analitis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Bentuk penelitiannya adalah penelitiannon-reactive dengan menggunakan literature review. Model penelitian yang digunakan adalah dengan studi kasus.Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yaitu menggunakan buku dan jurnal mengenai ilmu hubungan internasional, kasus Taliban, dan materi-materi yang mendukung tulisan ini. Penulis menggunakan data sekunder karena penulis membahas judul mengenai strategi suatu kelompok radikal, sehingga belum ditemukan data primer yang mendukung penelitian ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan melalui studi literatur termasuk akses data melalui internet. Akses internet dilakukan dengan selektif melalui alamat situs yang kredibilitasnya dapat dipercaya. Data yang telah didapatkan, kemudian akan dipilih sesuai dengan tema penelitian.

E.     Pembahasan.

Madrasah-madrasah di Afghanistan merupakan kunci penting untuk mengetahui awal munculnya Taliban. Taliban mengawali kemunculannya dari arah selatan, di sekitar provinsi Kandahar. Hal ini kuat mengindikasikan bahwa dari banyaknya madrasah di Afghanistan, madrasah-madrasah di daerah provinsi Kandahar hingga di perbatasan selatan Afghanistan-Pakistan merupakan tempat paling memungkinkan Taliban dalam memulai mengkonsolidasikan milisinya Madrasah-madrasah di Afghanistan memiliki posisi khusus di tengahmasyarakat. Madrasah-madrasah tersebut menjadi tempat paling strategis bagimasyarakat Afghan untuk mengimprovisasi kehidupannya dan motivasi-motivasisosial lain, yang hal tersebut sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Madrasah, bagi masyarakat Afghan, merupakan sebuah bagian dari kebutuhankehidupan. Madrasah telah menciptakan identitas tersendiri bagi bangsa Afghan.Dalam hal ini, madrasah mungkin berperan besar bagi lintas dan batas etnis diAfghanistan. Dr. Fazal Ghani Kakar dari Noor Educational and Capacity Development Organization (NECDO) Afghanistan dalam International Webinar bertajuk "Islamic Higher Education After The Covid-19 Pandemic" yang diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis malam menjelaskan lebih dalam mengenai pendidikan Islam di negaranya.

Dia menuturkan, setidaknya ada tiga kategori berbeda dalam pendidikan di Afghanistan. Yang pertama adalah pendidikan tradisional atau indigenous, pendidikan modern dan pendidikan Islam, paparnya. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kategori pertama, yakni pendidikan tradisional sudah ada lebih dulu sebelum pendidikan formal hadir di Afghanistan. Mereka umumnya belajar keterampilan untuk bertahan hidup dalam lingkungan pertanian atau normadik. Selain itu, mereka juga belajar mengenai budaya mereka dari generasi ke generasi. Sedangkan kategori kedua, yakni pendidikan modern lebih menitikberatkan pada ilmu pengetahuan dan sains. Sedangkan kategori ketiga, yakni pendidikan Islam, terbagi lagi menjadi dua kategori yang berbeda, yakni pendidikan Islam non-formal dan formal.

Setidaknya ada tiga hal yang membedakan pendidikan Islam formal dan non-formal di Afghanistan. Pertama, pendidikan Islam non-formal biasanya dilaksanakan di masjid. Bahkan sejumlah masjid memiliki ruangan khusus untuk belajar mengajar, ujarnya. Selain itu, sambungnya, pendidikan Islam non-formal juga tidak sembarangan mengizinkan seseorang menjadi guru. Mereka yang menjadi pendidik umumnya adalah imam masjid tersebut. Pendidikan tersebut juga fokus pada Al Quran dan Hadis. Sedangkan pendidikan Islam formal biasanya terbagi beberapa jenis lainnya, yakni sekolah masjid yang fokus pada pengajaran dasar Islam. Ada juga madrasah tradisional yang fokus ke hadis, tafsir, fiqih dan akidah. Ada juga madrasah atau sekolah modern yang bukan hanya fokus ke pendidikan Islam tapi juga ke sains dan Bahasa.

 

F.     Penutup.

Taliban telah memposisikan diri sebagai realitas sintesa, atau gerakan yang berusaha membenahi dua kenyataan tesis yang ada (yaitu tesis dan antitesis). Kubu Mujahidin Afghan yang berperang melawan Soviet merupakan kenyataan anti-tesis yang melawan realitas tesis persinggahan komunisme di Afghanistan. Perang Dingin memang menegaskan gelombang westernisasi yang disebarkan oleh kedua kutub yang telah disebutkan, bertujuan untuk menanamkan pengaruh oleh masing-masing dari kedua kutub dan kubu. Westernisasi demokrasi liberal dan Komunisme merupakan dua kubu yang mewakili Barat. Hakikat Perang Dingin sebenarnya adalah perseteruan antara negara-negara Barat untuk menguji bentuk filsafat, pemikiran dan ideologi mana yang berhak tampil untuk memimpin dunia. Dari banyaknya hal yang dapat disimpulkan, ada empat hal penting yang menarik dan menjadi penegasan-penegasan atau penarikan hikmah-hikmah sejarah, sekaligus jawaban dari empat pertanyaan yang terdapat pada bagian pendahuluan dalam kajian atau penelitian ini. Di antaranya: 1. Kondisi sosial-politik Afghanistan sebelum pemerintahan Taliban berdiri merupakan drama benturan antara pengaruh-pengaruh baru dan kekuatan asli lokal yang telah lama mengakar di Afghanistan. Kondisi ini juga menggambarkan sebuah proses pergulatan ideologi Islam dan Komunisme yang direpresentasikan oleh peristiwa invasi Uni Soviet yang telah memicu perlawanan dari Mujahidin (Pejuang Islam) Afghan. Di samping itu, perubahan dunia yang menempatkan ideologi-ideologi kunci dunia berputar dalam lingkaran kompetensi pengaruh. Pada saat pemerintahan Taliban berdiri, drama benturan memang terjadi, namun pada masa sebelumnya kondisi yang terjadi didukung oleh peristiwa besar dunia yang sedang terjadi pada masa itu, yaitu Perang Dingin. Sedangkan dalam masa pemerintahan Taliban, Perang Dingin telah digantikan oleh anasir-anasir benturan baru, bukan lagi antara Barat versus Barat, namun realitas klasik antara Barat versus Islam. Di Afghanistan pada masa sebelum Taliban, demokrasi-liberal memang menampakkan diri sebagai pengaruh baru, namun realitas persinggungannya dengan komunisme menempatkan Islam pada front utama untuk menghadapi komunisme. Akhirnya, Islam tetap harus menghadapi pengaruh Barat yang berarus komunisme, seiring ideologi Barat yang berarus demokrasi-liberal berada di belakang kekuatan Islam. 2. Perlawanan Islam Afghanistan memunculkan kelompok atau kelas baru dalam sejarah Afghanistan modern, namun klasik, yang disebut Mujahidin. Kelas ini merupakan cikal-bakal dinamika politik Islam kontemporer di Afghanistan, yang pengaruhnya luar biasa besar dalam perkembangan gerakan jihad global.  Namun ketika kelompok ini dapat menguasai Afghanistan, ketidak-stabilan poltik justru muncul karena para Mujahidin justru berperang satu sama lain. Kalau-pun Amerika Serikat hanya menyaksikan benturan yang terjadi karena invasi Soviet tersebut, Afghanistan tetap bersiap menghadapinya. Perlawanan Islam tentu saja menjadi pasukan yang tetap diandalkan di Afghanistan, selain pasukan-pasukan tribal juga muncul untuk mengusir Soviet bersama anasir- anasirnya. Kali ini, kekuatan Islam dimotori oleh kaum intelektual kampus, yang tidak juga mengenyampingkan seluruh komponen tradisional Islam di dalam masyarakat Afghan beserta struktur-strukturnya. Mereka semua disebut sebagai Mujahidin. 3. Sebuah gerakan Islam yang berasal dari madrasah-madrasah (sekolah) Islam di sekitaran Provinsi Qandahar, disebut Taliban, lantas muncul untuk meredam konflik dan akibat-akibat kriminalitas yang ditimbulkan akibat perseteruan Mujahidin tersebut. Taliban telah menawarkan posisi dinamika politik yang lebih radikal dibandingkan pemerintahan Mujahidin yang berhasil digesernya.Madrasah-madrasah Afghan di bagian selatan, yang merupakan cikal-bakal kemunculan Taliban, merupakan anasir paling penting dalam menjelaskan rekam-jejak Taliban, bahkan dalam sejarah Afghanistan. Kestabilan gerakan dan konsistensi ideologis merupakan modal utama yang dimiliki Taliban, sehingga terbentuklah sebuah wajah fundamental dan radikal (mendasar dan mengakar). Karena sudah sewajarnya, sebuah gerakan  resistensi memiliki basis-basis yang fundamental, radikal, ekstrim dan militan. Itu semua kembali pada tatanan nilai yang dibawa oleh Taliban. Kendati Taliban yang ingin mengadakan perubahan, harus memiliki nilai strategis yang fundamental dengan konsep yang teguh dan konsisten. Sebuah gerakan tak akan bisa menunjukkan eksistensinya bila ia tak memiliki nilai fundamental, dan hanya gerakan pembebek yang memakai nilai-nilai tidak stabil dalam visi-visi gerakannya. Taliban segera disebut-sebut akan menyambut isu keamanan Barat pasca-Perang Dingin, dan mempertegas kembali konfrontasi klasik yang permanen, yaitu Islam versus Barat. Kenyataan ini mendorong dinamika yang bergulir melalui dua arah: perubahan fenomena konfrontasi politik global dan perubahan lanskap politik Afghanistan yang ditenteng Taliban. 4. Taliban telah berhasil menegakkan sebuah pemerintahan Islam dan menjadikan Afghanistan sebagai sebuah markas bagi gerakan-gerakan Islam, semacam al-Qaidah. Hal tersebut semakin menyeret kepentingn global, akibat gerakan-gerakan Islam di Afghanistan tersebut dinilai Barat membahayakan hegemoni ideologisnya di dunia. Konflik ini merupakan benturan strategis pasca-Perang Dingin. Pada mulanya, Taliban menghadapi “ujian-ujian politik” kasat-mata. Benturan global ideologis pasca-Perang Dingin telah dan sedang berubah. Amerika Serikat tetap menjadi aktor utama dalam drama benturan  tersebut.

Pemerintahan Islam yang didirikan Taliban sejak tahun 1996 jelas akan menuai kontroversi dan permusuhan yang sengit. Sebagian besar manusia di dunia takkan menyukai  corak pemerintahan tersebut karena mereka lebih menyukai nilai-nilai yang di kampanyekan Amerika, dan banyak dari mereka terlena karenanya. Aspek ini memang begitu ironis. Di saat semua institusi modern menganut cara-cara yang sekular dan demokratis, Taliban berkata tidak kepada itu semua. Di dalam lanskap politik dunia, gerakan Taliban telah berhasil membawa kekuatan yang ditujukan untuk perubahan, di samping perseteruan global yang juga telah berubah begitu juga dengan dunia pendidikan di Afganistan.

Setidaknya ada tiga hal yang membedakan pendidikan Islam formal dan non-formal di Afghanistan. Pertama, pendidikan Islam non-formal biasanya dilaksanakan di masjid. Bahkan sejumlah masjid memiliki ruangan khusus untuk belajar mengajar, ujarnya. Selain itu, sambungnya, pendidikan Islam non-formal juga tidak sembarangan mengizinkan seseorang menjadi guru. Mereka yang menjadi pendidik umumnya adalah imam masjid tersebut. Pendidikan tersebut juga fokus pada Al Quran dan Hadis.

Taliban, untuk pertama kali, menjadi pelaku mengawali posisi perubahan perseteruan global dengan Barat setelah Perang Dingin. Taliban telah menunjukkan pada dunia, bahwa identitas kemandirian itu penting, dan kadang-kala berkata “tidak” itu perlu, di samping kesertaan untuk menanggung resiko dan celaan mayoritas. Bukankah Taliban ini hanya sebuah entitas tradisional yang hendak membangun negeri, Afghanistan, dengan semangat dan identitas mereka Untuk itu saja, Amerika harus membangun maha-aliansi untuk menundukkan rezim ini. Taliban telah membuktikan bahwa dinamika yang dipilihnya memang mengharuskan untuk bersikap kuat, dan meningkatkan perlindungannya kepada umat dan saudara- saudara yang sekeyakinan dengannya. Dengan itu pula, Taliban menunjukkan bahwa kejatuhannya tidak diiringi oleh kekalahan. Justru rezim-rezim yang bertekuk-lutut kepada trend global dan merasa aman karenanya itulah pihak- pihak yang kalah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ajid Thohir. 2011. Studi Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2010. “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar. Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN, CASIS dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM).

Al-Maqdisiy, Abu Muhammad ‘Ashim. 2012. Awan Kelam di Atas Ka’bah:Membongkar Kekafiran Saudi, a.b. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman.Banten: P-TA Press.

Al-Qathani, Muhammad Said. 2000. “Min Mafahim Aqidatis-salaf ash-Shalih: al- Wala’ wal-Bara’ fil Islam”, a.b. Salafuddin Abu Sayid. Loyalitas dan Antiloyalitas dalam Islam. Solo: Era Inter Media.

As-Suri, Abu Mushab. 2004. “Da’wah al-Muqawwamah al-Islamiyyah al- ‘Alamiyyah Bab: Hashaad ash-Shawah al-Islamiyyah wa at-Tayaar al-Jihadi (1930-2002)”, a.b.

Agus Suwandi. Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002): Sejarah, Eksperimen, dan Evaluasi. Solo: Jazeera. Azzam, Abdullah. 1986.

“Ayyaturrahman fie Jihadil Afghaan”, a.b. H. SalimBasyarahil. Perang Afghanistan. Jakarta: Gema Insani Press.

Dudung Abdurrahman. 2011. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.

Edwards, David B.. 2002. Before Taliban: Genealogies of the Afghan Jihad, California: University of California Press.

Firdaus Syam. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya terhadap Dunia ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.

 

Senin, 03 Februari 2020

SUDAH TERPOLAKAH PIKIRAN BALON GUBERNUR SUMBAR TENTANG ANCAMAN BENCANA DALAM VISI MISI MEREKA ?




 Pemilihan Kepala Daerah sumatera barat  yang akan berlangsung pada 2020. menjadikan, tensi politik  di sumbar mengalami peningkatan.dimana dari tahun lalu sudah banyak baliho-baliho balon gubernur yang terpampang di setiap sudut jalanan di sumbar, sumbar adalah salah satu provinsi yang terkenal dengan adat istiadat yang  lekat akan unsur religiusnya, tetapi sumbar juga kaya akan potensi bencanya dimana memiliki tatanan geologi sangat kompleks. Kondisi ini disebabkan letaknya yang berada pada daerah tumbukan dua lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan dan lempeng Eurasia di bagian Utara yang ditandai dengan terdapatnya pusat-pusat gempa tektonik di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan sekitarnya.
Akibat pergeseran kedua lempeng besar tersebut selanjutnya menimbulkan gejala tektonik lainnya yaitu busur magmatik yang ditandai dengan munculnya rangkaian pegunungan bukit barisan beserta gunung apinya dan sesar/patahan besar Sumatera yang memanjang searah dengan zona tumbukan kedua lempeng yaitu Utara-Selatan.dampak negatif wilayah Sumatera Barat secara geologi merupakan wilayah yang berpotensi untuk terjadinya bencana alam beraspek geologi berupa gempa tektonik. Baik yang berpusat di darat yaitu pada jalur patahan sesar Sumatera atau yang lebih dikenal dengan Patahan Semangko. Selain ancaman gempa dan tsunami sumbar juga tiap tahunnya dilanda banjir dan tanah longsor.
Dalam rekapitulasi data bencana dari BPBD sumbar menyebutkan untuk tahun 2019 saja sumbar mengalami total kejadian bencana sebanyak 750 dalam berbagai bentuk bencana yang mendominasi adalah banjir, tanah longsor dan banjir bandang,dengan peristiwa bencana yang sedemikian banyaknya tentu akan mengganggu faktor ekonomi. Sebagai contoh untuk bencana gempa tahun 2009 di sumbar menurut data kerugian materi yang dihimpun Satkorlak PB Sumbar mencapai Rp 4.815.477.418.268. Terganggunya laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah pascabencana alam merupakan salah satu dampak negatif terjadinya bencana alam. Bencana alam menyebabkan terjadinya penyusutan kapasitas produksi dalam skala besar yang berdampak kepada kerugian finansial.Untuk memulihkan kondisi ekonomi suatu wilayah pascabencana dibutuhkan kapasitas pendanaan yang tidak jarang melebihi kemampuan suatu wilayah dimana bencana alam terjadi. Selain itu, bencana tidak hanya berdampak kepada daerah dimana bencana terjadi tetapi dapat berdampak lebih luas kepada ekonomi secara nasional.
            Dengan potensi bencana yang selalu mengancam sumbar seharusnya calon-calon gubernur sumbar yang akan memegang kekuasaan di sumbar harus memahami apa saja potensi bencana dan dampak materi serta non materi dari bencana yang akan terjadi dengan anggaran APBD sumbar pada tahun 2020 yang telah di sahkan DPRD dan pemprov sumbar sebesar Rp 7,3 Triliun dibandingkan dengan kerugian gempa pada tahun 2009  Rp 4 triliun lebih maka tentu akan mengganggu ekonomi sumbar, maka calon-calon gubernur sumbar seharusnya memiliki visi dan misi yang jelas terhadap penanggulangan bencana, menurut seorang filsuf Prancis michel Foucault, Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi.jadi hendaknya calon-calon gubernur sumbar yang akan berlaga dalam pilkada 2020 ini mempunyi visi dan misi yang jelas dalam antisipasi bencana kerena setelah memegang kekuasaan mereka harus menentukan susunan aturan serta hubungan yang real dalam antisipasi bencana di sumbar.

DUNIA ARAB MENERAPKAN DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN AGAMA dan KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA


PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Agama dan demokrasi adalah dua hal yang sangat berbeda secara pengertiannya maupun refleksinya terhadap penganutnya tapi disini kita akan melihat hubungan keterikatan agama dan demokrasi dan factor pembeda yang mempengaruhi hubungan agama dan demokrasi. Secara pengertian, dasarnya demokrasi adalah ciptaan manusia yang pada harafiahnya berusaha ingin membuat tatanan hidup manusia itu lebih teratur. Namun disisi lain, manusia pada hakikatnya memiliki agama yang menjadi dasar dan tujuan hidup agar terarah dan berpedoman pada kebaikan sesuai dengan hukum Tuhan.Hubungan antara agama dan demokrasi, sebagai sebuah kondisi ideal, demokrasi tentu dicita-citakan oleh banyak kalangan.
Tetapi upaya menuju demokrasi yang ideal merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Proses menuju demokrasi inilah yang disebut sebagai demokratisasi. Demokratisasi biasanya diawali dengan adanya liberalisasi (meluasnya kebebasan). Dalam tahap ini media massa agak diberi kelonggaran sehingga tidak menghadapi ancaman pembredelan, masyarakat cukup leluasa melakukan partisipasi sosial melalui organisasi dan wahana lain, serta mulai berkembang penghargaan terhadap keragaman (pluralisme).
 Di Timur Tengah, Islam[1] sendiri menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. konsep aktivisme agama sebagai dasar untuk memahami bagaimana Islam menjadi dasar sebuah gerakan sosial. Aktivisme adalah praktik atau perilaku yang tidak biasa, dilakukan secara kolektif atau individu, secara institusional atau formal, untuk menyebabkan perubahan sosial. Terminologi tersebut menggambarkan fenomena yang selaras dengan perilaku aktif yang berlandaskan dasar-dasar agama. Islam, dalam hal ini menjadi aktivisme Islam, menggambarkan bagaimana perilaku tidak biasa diciptakan oleh kelompok Muslim di era modern. Politik bisa menjadi salah satu aspek yang disasar. Terlepas dari Islam sebagai ideologi, secara umum terdapat dua interpretasi yang berusaha diciptakan untuk memahami pergerakan politik agama di era modern. Kelompok tradisional menggambarkan Islam sebagai gerakan reaktif atas nilai-nilai modern yang lekat dengan budaya Barat, umumnya anti terhadap demokrasi. Kelompok ini hirau mengenai pentingnya revivalisme agama. Bagaimana agama diupayakan untuk berjaya layaknya pencapaian di era sebelumnya dan pengidentifikasian diri melalui gambaran di masa lalu mengenai kelahiran agama yang bersifat "quasi-religious",serta bagaimana kita melihat agama dan demokrasi melalui teori sosiologi menurut Max weber
1.2  Rumusan Masalah
Dari judul dan penjelasan di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu bagaimana melihat dunia  arab dalam menerapkan demokrasi dalam kehidupan agama dan kehiduapan sosial budaya Arab itu sendiri serta melihat permasalahan ini melalui  teori sosiologi agama menurut max weber
1.3  Metodologi
Hukum Islam tentang agama dan demokrasi dapat kita lihat, yaitu:
  1. Al i’tibar al qodha’ (memberikan suatu hukum yang didasarkan pada bukti-bukti nyata)
Disini dapat saya jelaskan agama dan demokrasi dalam Islam. Demokrasi merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam, karena sistem ini meletakkan rakyat sebagai sumber hukum atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota parlimen). Maka dengan demikian, landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah Ta’ala, tapi kepada rakyat dan para wakilnya.
  1. Al i’tibar ad diyaty (memberikan suatu hukum yang didasarkan pada tujuan)
Islam adalah agama yang sangat terbuka dan akomodatif terhadap segala perkembangan kebudayaan manusia dengan konsep-konsep yang dikembangkannya. Demokrasi, bagi Islam, bukanlah sesuatu yang asing karena di dalamnya terkandung konsep kesetaraan diantara seluruh manusia. Tiada suatu bukti yang jelas dan transparan yang dapat dijadikan indikator bahwa konsep demokrasi menyalahi dan bertentangan dengan syura. Masalahnya sekarang adalah bagaimana umat Islam mengisi demokrasi itu sejalan denga syariat Islam. Wallahu A’lam.

2. PEMBAHASAN
2.1  Pengertian agama serta bagaimana sejarah dan pengertian demokrasi.
  1. Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti “tradisi”. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.Agama sebagai pedoman kehidupan yang mengatur hubungan kita manusia terhadap Tuhan Sang Pencipta serta mempedomani agama tersebut melalui manusia pilihan Tuhan yaitu nabi sebagai utusan dan pembawa pesan dari Tuhan kepada manusia yang disebut wahyu. Didalam wahyu berisi tentang perintah dan aturan kehidupan Tuhan terhadap manusia.
  1. Sejarah dan Pengertian Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan Cratos/Kratien/Kratia yang artinya kekuasaan pemerintahan. Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran Yunani tentang hubungan Negara dengan hukum, yang dipraktikkan antara abad 6 SM sampai abad 4 M. Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung, yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warganegara berdasarkan prosedur mayoritas.
Disini saya juga akan menjelaskan macam-macam sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaannya ada berbagai macam perbedaan antar satu Negara dengan Negara yang lainnya yang disesuaikan dengan kebudayaan dan kehidupan sosial di masyar[2]akatnya. Namun, semua konsep menggunakan istilah demokrasi yang menurut asal katanya berarti rakyat berkuasa atau “government or rule by the people”, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang:
  1. Atas dasar penyaluran kehendak rakyat.
Dalam hal ini dapat dibedakan atas demokrasi langsung dan demokrasi tidak  langsung.
  1. Atas dasar prinsip ideologi.
Berdasarkan pemahaman ini, ada dua prinsip demokrasi berdasarkan ideologi yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi liberal dan demokrasi rakyat disebut juga demokrasi Proletar yang berhaluan Marxisme dan Komunisme.
2.2  Sosiologi Agama, Menurut Max Weber Dan Relevansinya 
Istilah ”Sosiologi” dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini. Secara sederhana ”sosiologi” berarti studi mengenai masyarakat dipandang dari satu segi tertentu. Baik Comte maupun Herbert Spencer (1820-1903), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisa sosiologis, sedang beraneka ragam kelembagaan dan interrelasi antar lembaga itu merupakan sub unit dari analisa. Karena itu pusat perhatian sosiologi adalah tingkah laku manusia; namun tidak terkonsentrasi pada tingkah laku individual tetapi juga secara kolektifnya—namun lebih banyak segi kolektifnya dan relasinya dengan masyarakat. Dengan demikian sosiologi merupakan studi mengenai tingkah laku masyarakat dalam konteks sosial. Menurut Weber, dalam memahami sosio budaya maka diperlukan metode khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang melibatkan dirinya dengan suatu penafsiran dan tindakan manusia secara sensitif. Buku Weber yang terkenal berjudul The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1904), [3]mengawali karirnya sebagai sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. Dalam buku ini Weber membahas masalah hubungan antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi, di kalangan masyarakat Barat sejak abad ke-16 hingga sekarang. Weber sampai pada kesimpulan bahwa kebangkitan kapitalisme didukung oleh sikap yang ditentukan oleh Protestanisme asetik. Jadi bukan (kekuatan) ekonomi yang menentukan agama, tetapi agamalah yang menentukan arah perkembangan ekonomi.
Weber menyatakan bahwa para pemimpin reformasi protestan tidak bermaksud menegakkan pondasi semangat untuk suatu masyarakat kapitalis dan seringkali mengecam kecenderungan kapitalis di jaman mereka. Namun, revolusi industri dan pertumbuhan bisnis berskala besar jauh lebih cepat berkembang di daerah Protestan daripada di daerah Katolik, dan daerah-daerah yang berbau Protestan jauh lebih giat dalam pengembangan bisnis.
Lebih lanjut Weber mengatakan bahwa bekerja adalah nilai intrinsik, bukan sekedar konsekuensi dari tuntutan hukum atas diri Adam. Saya kira perlu disepakati juga bahwa Calvinisme kata Weber bukan ajaran Katholik atau Lutheran, menekankan kebebasan untuk memilih panggilan, bukan kewajiban untuk menerima ketetapan yang diberikan kepada manusia ketika dilahirkan. Kedua aspek dari doktrin panggilan ini, yakni kesungguhan dalam bekerja dan hak serta tugas individu untuk memilih bidang kegiatannya, jelas akan membantu perkembangan ekonomi bila keduanya tidak hanya diajarkan, tetapi dipraktekkan secara aktual. Weber berkeyakinan bahwa kedua aspek tersebut secara merata dipraktekkan di mana saja doktrin Calvinisme tentang takdir (predestination) dipegangi secara sungguh-sungguh. Yang menarik dari uraian Weber adalah ketika membicarakan agama dari sudut fungsi.
 Weber menyebut fungsi manifes dan laten agama. Fungsi agama adalah memperkuat hukum/aturan moral masyarakat baik secara langsung maupun tidak. Definisi fungsional sering menimbulkan kesalahfahaman antara fungsi manifes dan fungsi laten. Robert Merton mengatakan fungsi manifes adalah fungsi yang diakui dan diharapkan untuk mencapai tujuan. Sedangkan fungsi laten adalah akibat yang tidak diharapkan. Salah satu fungsi manifes gereja adalah mempersatukan komunitas dalam semangat persaudaraan; sedangkan fungsi latennya adalah membagi komunitas berdasarkan ras dan kelas. Walaupun mengkhotbahkan ”di hadapan Allah semua orang adalah sama”, namun gereja memamerkan perbedaan kekayaan yang nampak pada para anggota yang berpakaian bagus dan yang sangat sederhana pada hari Minggu.
Bahkan ketika berbicara aspek kelas, ras dan etnis dalam agama, menurut Weber institusi agama dari sebuah masyarakat tercipta dan didominasi oleh golongan penguasa dalam masyarakat tersebut dan fungsi agama memeberi dorongan moral serta jalan keluar secara psikologi dengan tetap mempertahankan struktur kelas. Bahkan meminjam bahasa Karl Max agama adalah ”candu” bagi orang-orang yang tertindas dan teraniaya dalam mempertahnkan hidupnya. Sedangkan Durkheim memandang agama sebagai potensi yang menciptakan pergerakan dan dapat mengubah tatanan sosial. Dengan adanya perbedaan sudut pandang ini tidak mengherankan jika sebagian pekerjaan empiris dalam sosiologi agama berkaitan antara masalah hubungan agama dengan kelas sosial.
Dalam konteks agama Kristen Weber memperkenalkan istilah ”asketisisme dunia bathin” untuk mengimbangi para aktivis puritan dengan pendeta Katholik. Pendeta yang semakin dekat dengan dunia maka semakin kecil pula pengaruhnya; sedangkan bila aktivis Puritan semakin dekat maka dia akan semakin besar pengaruhnya. Tentang ”rasional” kata Weber tidak sama dengan ”berdasarkan empirik” atau ”ilmiah”, sebab efektifitas sarana untuk mendapatkan keselamatan tidak dapat dinilai dengan bukti empirik. Dalam konteks magi (sihir) dan mistisisme sebagai hal-hal yang irrasional, meskipun dari sudut pandang pelakunya efektif untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan oleh pelaku tersebut.
Persoalan Nabi juga dibahas oleh Weber, para nabi (tokoh agama) kata Weber, menyaingi para pendeta sebagai ”pengemban sistematisasi dan rasionalisasi etika keagamaan”. Nabi itu sama dengan pendeta dalam tugas rasionalisasi yang dilakukannya, tetapi sama dengan ahli sihir dalam hal dia terpanggil untuk terlibat dalam tugasnya berdasarkan sifat-sifat karismatik pribadi. ”Pendeta menyatakan memiliki otoritas karena kebaikan pelayanannya dalam tradisisi yang suci, sedangkan para nabi didasarkan atas wahyu pribadi (yang diterima dari Tuhan) dan karismanya.
Agama jika dipandang dari sudut sosiologis tidak ditimba dari ”pewahyuan” yang datang dari ”dunia luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari masa lampau maupun kejadian sekarang. Artinya definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sehingga dari sudut fungsionalnya agama dapat didefinisikan sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, di lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Dengan demikian agama dilihat dari sudut daya guna dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Agama sebagai sistem budaya, merupakan konsep antropologis yang diungkapkan oleh Clifford Geertz. Dalam pandangan antropologi, pengalaman agama dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup yang bervariasi, sesuai latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianut. Dalam tulisannya yang lain Abdullah Ali mengatakan Weber menggambarkan agama sebagai fenomena yang rumit dan kompleks, yang dapat memenuhi beberapa fungsi sekaligus. Ia menggambarkan dimensi-dimensi agama berdasarkan pendapat Glock dan stark
  1. Dimensi kepercayaan atau keyakinan beragama disebut juga sebagai dimensi ideologi,
  2. Dimensi ritual berkaitan dengan praktek pelaksanaan agama,
  3. Dimensi pengalaman keagamaan,
  4. Dimensi pengetahuan dan
  5. Dimensi konsekuensi beragama.
Nurchalish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, sedangkan budaya—meskipun berdasarkan agama, dapat berubah. Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Dalam Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Harun Nasution mengutip hasil penelitian Abd al-Wahab Khallaf, yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Quran yang mengatur hidup kemasyarakatan berjumlah 5,8 % dari seluruh ayat al-Quran[4].
2.3  Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam dan hubungan serta yang bertentangan.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam dan hubungannya meliputi:
  1. Syura.
Merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159.
  1. al-‘adalah
adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS. As-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58, dan seterusnya.
  1. al-Musawah
adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya.
  1. al-Amanah
adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada yang lain ditegaskan Allah SWT dalam Surat An-Nisa’:58.
  1. al-Masuliyyah
adalah tanggungjawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
  1. al-Hurriyah
adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya.[5]
Hubungan yang bertentangan antara demokrasi dan Islam adalah dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.Hal-hal yang menjadi pertentangan utama demokrasi dan Islam adalah:
  1. Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk masuk agama tertentu. Namun demikian, Islam mengharamkan seorang Muslim untuk meninggalkan aqidah Islam.
  2. Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum Muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda:“…dan kami (hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan Allah.” (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit)
  3. Berkaitan dengnan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum, seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll. juga melarang cara mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba, judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.
  4. Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas, sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islam pun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka sama suka. Begitu juga perzinaan asalkan dilakukan orang dewasa yang suka sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan.
Sebagian kalangan menyatakan bahwa demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut:
  1. Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat, dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:
إِ نِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku.” (HR Bukhari)
  1. Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas.
  2. Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas.
2.4 Mengapa demokrasi sulit diterima di dunia Arab.
Disini saya akan menjelaskan tentang sulitnya demokrasi diterima di dunia Islam khususnya di dunia Arab serta contoh konflik yang terjadi atas penerimaan demokrasi itu di Negara Islam. Dari penjelasan di atas, saya berkesimpulan demokrasi yang lahir dan berkembang adalah produk Barat yang kurang sesuai dengan budaya dan sosial ekonomi dunia Islam khususnya di dunia Arab, terjadinya konflik di dunia Arab atas penerimaan demokrasi itu sendiri menjadikan konflik semakin luas dan lama. Dapat saya contohkan seperti terjadinya Arab Spring atau peristiwa musim semi di dunia Arab dimana rakyak menghendaki sistem demokrasi tetapi hal tersebut ditentang oleh penguasa yang mereka pikir itu adalah sebuah pemberontakan rakyat.
Bila dicermati secara seksama, berbagai macam persoalan yang melanda dunia Arab dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya bermuara pada satu persoalan utama, yaitu perpecahan (al-insyiqaq). Perpecahan ini setidaknya terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu:
  1. Pertama, perpecahan pada tingkat satu Negara.
Perpecahan pada tingkat ini bisa dilihat dari bermacam gerakan protes rakyat atas. Pada awalnya, gerakan rakyat ini membangkitkan optimism terkait demokratisasi yang kerap dikebiri oleh para penguasa di kawasan ini.
Bahkan, bangsa Arab memberi nama gerakan ini dengan istilah musim semi Arab (ar-rabiar- rabi al- al-arabi), sejalan dengan optimism yang ada. Pada umumnya, musim semi sangat ditunggu-tunggu oleh bangsa Arab mengingat cuaca pada musim ini sangat nyaman; tidak terlalu dingin, tapi juga terlalu panas seperti biasanya. Namun, secara perlahan optimism yang ada terus terkikis hingga berbalik menjadi pesimisme yang bercampur baru dengan ketakutan, kecemasan, ketidakpastian, bahkan anarkisme. Hal ini terjadi karena gerakan rakyat yang awalnya dipuja-puja itu perlahan menjadi sebuah gaya baru masyarakat Arab yang tak jarang dimanfaatkan oleh kelompok politik untuk mencapai ambisi politiknya.
  1. Kedua, perpecahan antar Negara.
Pada beberapa bagian perpecahan pada tingkat ini disebut sebagai akibat dari perpecahan pada tingkat pertama. Dengan kata lain, gerakan rakyat Arab dalam menentang pemerintahan yang ada menyebabkan terjadinya krisis politik antara satu Negara Arab dengan Negara Araba lain. Tentu perpecahan seperti ini tidak terlepas dari benturan kepentingan antara satu Negara dengan Negara yang lain.
Rezim Bashar al-Assad, contohnya, sempat mengkritik keras pemerintahan Mesir yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Mursi. Sebaliknya, Mesir di bawah kepimpinan Ikhwan Muslimin saat itu sangat keras mengkritik rezim Bashar al-Assad, apalagi kelompik Ikhwan Muslimin di Suriah menjadi bagian dalam perang melawan pemerintahan Assad.
  1. Ketiga, perpecahan Liga Arab sebagai organisasi yang menaungi Negara-negara Arab.
Pada beberapa bagian, perpecahan pada tingkat ini bisa disebut sebagai akibat lanjutan dari perpecahan-perpecahan yang terjadi di bawahnya, yaitu perpecahan pada level satu Negara dan perpecahan pada level antar Negara Arab. Peran dan posisi Negara-negara Arab Teluk (GCC) dapat dijadikan sebagai salah satu bukti dari perpecahan yang terjadi di tingkat Liga Arab
2.5 Demokrasi di Negara Arab
Dalam kondisi seperti sekarang, demokratisasi di Negara-negara Arab menjadi sebuah tanda tanya besar. Apa yang salah dari demokrasi di dunia Arab? Bisakah dunia Arab berdemokrasi? Semangat yang terpendam di balik pertanyaan-pertanyaan di atas tentu melampau kajian normative tentang demokrasi, khususnya ditinjau dari perspektif agama (Islam); apakah keduanya bisa bertemu dan saling melengkapi atau tidak? Karena bila hanya sebatas gagasan dan normative, Negara-negara Arab selama ini sangat kaya dengan pemikiran dan gagasan demokrasi.Tetapi, ketika hendak diterapkan, demokrasi di Negara-negara Arab acap berlangsung secara berdarah-darah seperti sekarang.
Alih-alih berhasil, rezim otoriter dan dictator yang sempat dihempaskan oleh upaya demokratisasi justru acap kembali lagi.Inilah istilah fenomena transisi ekstrem demokrasi di dunia Arab dengan dua pelaku utamanya, yaitu rezim nasionalis-otoriter dan kelompok militantislamis. Dalam fenomena transisi ekstrem yang terjadi, seakan dunia Arab hanya dihadapkan pada dua kemungkinan, dikuasai oleh rezim nasionalis-otoriter atau kelompok militant-Islamis.Sedangkan aspirasi rakyat yang menjadi substansi utama demokrasi acap berserakan di tengah gerakan rakyat atau terpenjara di ruang tahanan kelompok oposisi. Apa yang terjadi di Mesir dalam dua tahun terakhir dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari fenomena transisi ekstrem demokrasi di atas.
2.6  Pandangan dan respon agama itu sendiri terhadap sistem demokrasi.
Dalam demokrasi kebebasan sangat dijunjung tinggi. Bahkan ketika kaum liberal memegang sistem ini, kebebasan pun lebih sangat bisa dilakukan tanpa memandang adanya agama. Adanya agama dalam demokrasi mampu mengontrol kebebasan itu karena ada batasan-batasan yang Tuhan beritahu kepada manusia dalam menjalankan kehidupan. Maka dari itu, sangat diperlukan kaum konservatif untuk menandingi kaum liberal di konstelasi politik ini. Karena pada dasarnya kaum konservatif dalam studinya berangkat dari individu atau kelompok yang memperjuangkan agama melalui sistem demokrasi. Namun perjuangan yang didasari dari agama sangat sulit mendapatkan dukungan penuh dari mayoritas rakyat di Negara-negara Eropa dan Amerika, karena dalam doktrinnya, tidak ada relasi antara agama dan Negara. Berbeda halnya dengan Negara-ngegara Timur yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim. Gerakan agama Islam yang masuk ke dalam sistem Negara beranggapan bahwa agama dan Negara memiliki relasi. Mengapa kebebasan dalam bernegara dapat terkontrol dengan adanya agama. Dan sekarang yang perlu kita prediksi kedepan adalah kebebasan yang berlebihan akan berdampak buruk bagi sebuah entitas Negara. Hukum agama saja dapat ditolak, apalagi hukum buatan manusia. Akan ada kekacauan dan permintaan kebebasan yang terus menerus datang ke pemerintahan. Ini tandanya agama sangat diperlukan untuk mengontrol atau membuat sistem. Agama Islam memiliki relasi dengan Negara dan tentunya tidak menolak masuk ke dalam sistem demokrasi. Karena itu, semua adalah bagian dari penyelamatan Negara.
Bayangkan jika kaum konservatif Islam tidak memperjuangkan agama melalui demokrasi, mungkin semua Negara akan menjadi bebas tanpa adanya control. Dan Negara-negara Timur yang menganut sistem demokrasi sangat bersyukur bahwa masa depan Negara dan bangsa mereka akan cerah, karena relasi antara agama dan demokrasi bisa dipertemukan.Pengalaman-pengalaman umat Islam yang berbeda dalam memahami dan mengkompromikan Islam dan demokrasi ini menjadi sesuatu yang unik. Ini artinya bahwa pemikiran tentang demokrasi bukanlah sesuatu yang monolitik apalagi hanya sekedar mencangkokkan demokrasi Barat. Paling tidak, ada tiga kecenderungan:
  1. Kelompok apologetik yang menegaskan bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip kebebasan itu inheren dalam Islam. Tidak ada alasan untuk melakukan penolakan terhadap demokrasi menegaskan pentingnya egalitarianism, kesamaan derajat kemanusiaan, menolak diskriminasi dan menjunjung tinggi hak-hak manusia.
  2. Kelompok rejeksionis yang menolak demokrasi karena demokrasi berasal dari Barat, bukan dari Islam. Bahkan demokrasi bertentangan dengan Islam karena demokrasi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sementara Islam menegeaskan kedaulatan Tuhan/Allah. Sudah dipastikan demokrasi akan meminggirkan agama/Islam.
  3. Kelompok rekonstruksionis yang berusaha untuk membaca secara kritis dan mendialogkan prinsip-prinsip Islam dengan demokrasi dalam rangka menemukan dan membangun paradigm baru demokrasi yang jauh lebih progresif. Harus ada upaya secara terus menerus untuk menyegarkan pemahaman terhadap Islam dan demokrasi. Jika tidak, maka Islam akan mengalami stagnasi atau jumud dan demokrasi akan menjadi berhala baru karena sudah terlanjur diabsolutkan. Kekuatan demokrasi justru terletak kepada kesediaan dan keterbukaannya terhadap kritik internal sekaligus melakukan perbaikan-perbaikan maksimal demi kemaslahatan dan keadilan bersama.
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan agama prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan Islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu diantaranya:
1.    Demokrasi tersebut harus berada dibawah payung agama.
2.    Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3.    Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4.    Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya, kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5.    Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi, bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Al-Qu’ran dan sunah.
6.    Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7.    Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Terdapat beberapa prinsip dan respon dari agama terhadap demokrasi. Agama dan demokrasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena tanpa adanya agama, sebuah sistem Negara seperti demokrasi akan kehilangan eksistensinya karena membiarkan kebebasan demi kebebasan menghancurkan sistem tersebut secara perlahan. Masuknya perjuangan yang didasari karena tuntutan agama melalui demokrasi adalah bentuk dari penyelamatan Negara.
3.2  Saran
Akhirnya agar sistem atau konsep demokrasi yang beragama di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan adalah:
1.      Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang agama sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
2.      Parlimen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi oleh orang-orang beragama yang memahami dan mengamalkan agama secara baik.


DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999
Yusuf al-Qardhawi, Negara Dalam Islam, terj. Oleh Syafri Halim dari Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Robbani Press, Jakarta, 1997

Sadeq jawad Sulaiman, Demokrasi dan Syura. dalam Charles Kurzman, Islam Liberal, ten. Oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi, Paramadina, Jakarta, 2001 John Dunn , Democracy the Unfinished Journey, Oxford Press, New York

M. Imam Aziz, Agama, Demokrasi dan Keadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993..

Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995


[1] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999
[2] Anton dkk, (1998), kbbi, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 34
[3] Yusuf al-Qardhawi, Negara Dalam Islam, terj. Oleh Syafri Halim dari Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Robbani Press, Jakarta, 1997
[4] Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995
[5] Sadeq jawad Sulaiman, Demokrasi dan Syura. dalam Charles Kurzman, Islam