PENGARUH DUNIA PENDIDIKAN AFGANISTAN
DIBAWAH REZIM TALIBAN
Septevan nanda yudisman S.Pd.M.A
A.
Madrasah-madrasah Afghanistan
Madrasah-madrasah di Afghanistan merupakan kunci
penting untuk menjelaskan asal-muasal gerakan Taliban . Taliban telah mengawali
kemunculannya dari arah selatan, di sekitaran provinsi Qandahar. Hal ini kuat
mengindikasikan bahwa dari banyaknya madrasah Islam yang terserak di
Afghanistan, madrasah-madrasah di provinsi Qandahar hingga di perbatasan
selatan Afghanistan-Pakistan merupakan tempat paling memungkinkan Taliban dalam
memulai mengkonsolidasikan milisinya. Taliban yang berintikan para pelajar
madrasah-madrasah di bagian selatan Afghanistan mendukung kenyataan tersebut.
Taliban sukses
melaksanakan operasi-operasi militernya sejak tahun 1994, dan pada tahun 1996
para pelajar yang dibesarkan dalam masa perang ini berhasil merebut Kabul. Pada
saat-saat itu, publik Afghan dan dunia kembali menyadari bahwa
madrasah-madrasah Islam di Afghanistan memang berperan penting dalam kondisi
politik yang sedang bergulir. Tradisi tersebut tentu saja dipegang oleh
Taliban. Oleh karena itu sebutan “Taliban” sebenarnya merujuk pada seluruh
gerakan pelajar-pelajar madrasah di sepanjang sejarah Afghanistan yang berperan
penting dalam peristiwa-peristiwa politik penting. Namun sebutan ini kini hanya
dipakai untuk menyebut para pelajar madrasah dari bagian selatan Afghanistan,
yang memulai gerakannya pada tahun 1994. Karakteristik madrasah-madrasah
Afghanistan, atau lebih khususnya bagi madrasah-madrasah di bagian selatan
Afghanistan tempat Taliban lahir, lebih utama sebelum membahas tujuan-tujuan
dan bentuk ideologis dari gerakan Taliban. Satu hal lagi yang menjadi perhatian
ketika Taliban mampu melakukan suksesi milisi pertama mereka di Qandahar, yang
terus berlanjut hingga tahun 1996, adalah sebuah kenyataan bahwa pendidikan
Islam yang dirangkum di dalam madrasah membuktikan dirinya menjadi sebuah unit
mobilitas sosial, yaitu komunitas yang memberi kesempatan bagi pemuda Afghan
untuk meningkatkan kemampuannya secara edukatif.
Hal ini terbukti dengan munculnya Taliban, meski pada
awalnya mereka kurang dikenal publik. Selama masa perang melawan Soviet,
pengungsi-pengungsi Afghan tersebar di seluruh perbatasan Afghanistan-Pakistan
bagian selatan dan timur. Di barak-barak pengungsian tersebut kemudian muncul
lembaga-lembaga pendidikan Islam, seiring dengan terus berlangsungnya kegiatan
pendidikan madrasah-madrasah di bagian selatan Afghanistan. Ada suatu analisis,
bahwa madrasah-madrasah baru yang muncul di barak-barak pengungsian tersebut
dikelola oleh sebuah partai Islam Pakistan yang disebut Jamaat Ulama Islam,
yang dipimpin oleh figur Maulana Fazlur Rahman. Kemungkinan bahwa Taliban juga
mencakup-inti pelajar-pelajar dari madrasah-madrasah yang dikelola partai Islam
Pakistan tersebut masih sangat kabur.
Madrasah-madrasah di Afghanistan memiliki
posisi khusus di tengah masyarakat. Madrasah-madrasah tersebut menjadi tempat
paling strategis bagi masyarakat Afghan untuk mengimprovisasi kehidupannya dan
motivasi-motivasi sosial lain, yang hal tersebut sebenarnya telah berlangsung
sejak lama.Madrasah, bagi masyarakat Afghan, merupakan sebuah bagian dari
kebutuhan kehidupan.
Madrasah telah menciptakan identitas tersendiri bagi
bangsa Afghan. Dalam hal ini, madrasah mungkin berperan besar bagi lintas dan
batas etnis di Afghan. Kehadiran madrasah, dalam lingkup lintas dan batas
etnis, berperan dan berfungsi untuk menyediakan alternatif untuk menanggulangi
masalah-masalah etnis yang terjadi di Afghanistan. Masalah etnis dan kesukuan
memang sempat menjadi problem serius, namun seperti dinyatakan oleh Bernt
Glatzer bahwa ia yakin Afghanistan tidak berada di jurang perpecahan etnis dan
tribal. Glatzer setuju bahwa jika persoalan etnis itu dikemukakan atau terlalu
ditekankan, negara akan berada dalam bahaya. Hal ini diidentifikasi Glatzer
sebagai kekuatan sorotan media yang menentukan, khususnya arahan media yang
terlalu menajamkan persoalan-persoalan perbedaan etnis di Afghanistan.Pernyataan
Glatzer tersebut sekaligus mendukung bahwa etnis, di Afghanistan, merupakan
kenyataan yang sensitif lagi ringkih posisinya. Namun pernyataan dan kenyataan
tersebut seolah tertangani secara otomatis dengan hadirnya madrasah. Bahkan
madrasah dapat dikatakan sebagai penemuan terbesar bangsa Afghan sejak mereka
mengenal keharusan adanya institusi untuk meningkatkan taraf hidup mereka
secara edukatif. Madrasah di Afghanistan, kalau disadari perannya, merupakan
penyangga terbesar yang meredam persoalan sosial dan politik. Wacana legitimasi
madrasah-pun mampu muncul di tengah-tengah masyarakat Afghan. Masyarakat agamis
ini memerlukan sebuah institusi untuk memenuhi kekosongan alternatif sosial hidup
mereka. Madrasah Afghanistan pun menawarkan tatanan itu, sehingga siapa-pun
penguasa yang berkuasa di Afghanistan, mereka perlu sekali mendapat legitimasi
dari madrasah. Pun ketika Afghanistan diinvasi oleh kekuatan Komunisme sejak
tahun 1960-an. Ketika pemerintah nampak tidak memerlukan kehadiran dan
mengabaikan institusi ini, madrasah kembali menyediakan tawaran kekuatan sosial
yang besar, seiring dengan identitas pemerintah yang semakin kontra terhadap
rakyat. Hal ini terjadi pada pemerintahan Zhahir Shah.
Kebijakan Revolusi Kebudayaan yang digulirkan oleh
Zhahir Shah secara otomatis menyinggung masyarakat Afghanistan yang sebagian
besar Muslim. Madrasah-madrasah yang menjadi sentral-sentral ilmu-ilmu
keislaman kemudian mulai menunjukkan sel-sel pergerakan. Hal tersebut memuncak
pada tahun 1970- an, ketika para mahasiswa, yang sebagian besar berasal dari
kalangan pelajar madrasah, mulai menunjukkan aksi perlawannanya kepada para
penguasa yang secara sistematis berusaha meminggirkan peran madrasah. Hal tersebut
kembali berlaku, pada saat Mujahidin berkuasa di Kabul, setelah mampu mengusir
Soviet.
Pemerintahan Burhanuddin Rabbani memang tidak langsung
meminggirkan peran dan fungsi madrasah, namun secara tidak langsung pula,
pemerintahan tersebut melupakan dan mengabaikan eksistensi madrasah. Anarki
yang terjadi setelah Mujahidin berkuasa, dan menguasai wilayah-wilayah
Afghanistan, sehingga Afghanistan tercabik-cabik atas partai- partai Mujahidin,
serta kehadiran kejahatan yang meningkat kala itu, seakan-akan melupakan adanya
madrasah sebagai agen yang menjaga kekuatan moral sosial dan keamanan di
Afghanistan. Maka kembalilah muncul Taliban yang utama dan pertama sebagai
gerakan membersihkan degradasi moral dan menawarkan keamanan. Kemananan yang
ditawarkan tersebut datang dari kalangan madrasah. Madrasah kemudian mampu
menyerap pemuda-pemuda Afghan yang bersemangat dan brilian. Hal yang khusus
terjadi di Afghanistan bagian selatan dan di perbatasan Afghanistan-Pakistan di
selatan Afghanistan. Secara mengejutkan selama sepuluh tahun, semenjak para
pengungsi Afghan menempati barak-barak pengungsian di Pakistan,
madrasah-madrasah baru di barak-barak pengungsian tersebut kemudian melahirkan
pemuda-pemuda yang diandalkan untuk menjadi guru-guru madrasah dan para pengurus
masjid.
Hal ini merupakan pencapaian, mengingat
madrasah-madrasah tersebut awalnya jelas didirikan secara temporer untuk para
pengungsi. Jika partai Islam Pakistan juga mengelola madrasah-madrasah
tersebut, maka mungkin di sini-lah terdapat hubungan yang berarti bagi
madrasah-madrasah pengungsian tersebut dan kepentingan partai Jamaat Ulama
Islam tersebut, karena jumlah lulusan madrasah yang benar-benar dalam jumlah
besar. Sesuatu yang dianggap keuntungan bagi partai tersebut. Madrasah-madrasah
Islam bagi masyarakat Afghan telah jelas menawarkan kesempatan-kesempatan
penting. Madrasah-madrasah tersebut David B. Edwards, loc.cit. 100 kemudian
menjadi tradisi positif bagi masyarakat Afghan,seiring dengan Islamisasi yang
terus mengakar kuat, sekalipun pengaruh-pengaruh api sekularitas dan modernitas
menjilat-jilat kebudayaan bangsa ini.
Hal ini kemudian menjadi faktor utama mengapa
madrasah-madrasah Afghan selalu lebih digemari, sekalipun berbagai sekolah
sekular mulai menjamahi kehidupan masyarakat Afghan. Madrasah yang telah
menjadi simbol perlawanan, menyediakan identitas yang lebih bisa mengantarkan
masyarakat Afghan untuk melihat dunia luar, ketimbang tawaran-tawaran
menjanjikan nan semu dari sekolah-sekolah sekular. Pun inilah mengapa ketika
Universitas Kabul yang sekular didirikan, sensitifitas keislaman bagi
Gulbulddin Hikmatyar dan tokoh-tokoh pergerakan Islam dalam Muslim Youth
Organization tetap menyemburkan api perlawanan di bawah bendera Islam.
Dengan ini, dapatlah dimengerti bahwa Taliban tumbuh
di dalam lingkungan madrasah-madrasah, khususnya di madrasah-madrasah bagian
selatan Afghanistan, yang dibesarkan melalui reputasi yang telah populer.
Perjalanan sejarah di Afghanistan membuktikan kenyataan adanya perlawanan yang
dimulai dari madrasah-madrasah Afghanistan ini. Hal ini yang kemudian digunakan
sebagai legitimasi bagi Taliban sebagai modal perjuangannya, bahwa madrasah
masih mampu membuktikan kekuatan sosial-politik-nya, bahkan militer di dalam
arena peristiwa politik yang terjadi. Hal yang juga penting adalah tentang
bentuk ideologis yang dimiliki oleh Taliban. Jika madrasah-madrasah Afghanistan
telah menggambarkan tempat lahirnya gerakan ini, maka hal yang perlu digali
selanjutnya adalah tentang formulasi ideologis Taliban beserta madrasah-
madrasah mereka.
B.
Wajah Ideologis Taliban
Para pengamat menyebut bahwa Taliban
diinspirasi oleh sebuah aliran yang disebut sebagai aliran Deobandi. Sebuah
“mazhab” yang berasal dari madrasah di India utara, Deoband Darul ‘Ulum, yang
telah berdiri sejak tahun 1866. William Maley menggambarkan aliran Deoband
tersebut sebagai aliran yang mengajarkan agama (Islam) dengan cara-cara yang
ortodoks. Taliban, dalam bahasa Maley, telah memandang “dosa dan kemungkaran
berasal dari tidak terlaksananya agama secara benar. Karenanya, dianggap sangat
perlu lahirnya perilaku yang memungkinkan untuk terselesaikannya
kesulitan-kesulitan yang menimpa
Afghanistan.
Untuk itu Taliban membentuk satuan
pengaman (polisi) yang sangat ditakuti, sebuah departemen yang
bertanggung-jawab untuk pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar.” Apa yang disebut
Maley dengan “ortodoks” tersebut jelas menganut framework Barat tentang cara
memandang Islam, dunia Islam dan segala komponennya. Menurut catatan Dietrich
Reetz, Madrasah Darul ‘Ulum Deoband didirikan pada tahun 1866, di India Utara oleh
Muhammad Qasim Nanaotawi (1832-1879) dan Rashid Ahmad Gangohi (1829-1905).
Madrasah ini didirikan karena kurangnya pendidikan Islam di antara Muslim
India. Para pelajar madrasah mengkhawatirkan hilangnya identitas mereka dengan
berkembangnya nilai-nilai Barat dan pengajaran bahasa Inggris dalam masyarakat.
Setelah kekalahan gerakan anti-kolonialisme pada tahun 1857-1858, yang mana
banyak bangsawan-bangsawan Muslim dan para pelajar ambil bagian di dalamnya,
institusi Islam dicurigai sebagai institusi yang masih memberontak.
Apa yang disebut Barat sebagai
“fundamentalisme Islam” memang semakin lama membentuk phobia bagi Barat
sendiri. Ini adalah pertaruhan ideologi bagi Barat. Di Afghanistan, pada era
Taliban ini, Negara dan pemerintahan Islam Taliban merupakan sebuah momok,
karena ketakutan Barat akan sebuah hegemoni yang menyainginya ternyata telah
muncul, setelah lam Barat bersembunyi di balik zona nyaman pasca keruntuhan
Khilafah Turki Utsmani. Dengan demikian, Barat buru-buru melabeli Taliban
dengan wajah ideologis yang penuh konflik semacam ini, meskipun telah sejak
lama istilahistilah ideologis konflik ini digunakan, sepanjang gerakan-gerakan
yang menjadikan Islam sebagai satu-satu-nya ada ideologi terus eksis dan stabil
di muka bumi Pada gilirannya, jika Barat dalam memandang wajah ideologis
Taliban dengan garis filosofis konflik ini, maka tentu akan ada wilayah
konfrontasi yang sangat dalam antara Islam dan Barat. Meminjam istilah Naquib
al-Attas, inilah yang disebut sebagai A Permanent Confrontation—sebuah
konfrontasi abadi. Sehingga, konsep konfrontasi abadi ini, jelas menyeret
Taliban ke dalam panggung sejarah pertentangan antara Islam dan Barat. Dengan
deklarasi Negara Islam Taliban, kebijakannya memasukkan “fundamentalis Islam”
ke dalam Afghanistan, serta menjadikannya negara paling strategis dalam
persinggunagan dan embrio peta konflik Barat dengan Islam. Namun ada satu
wilayah bagi Taliban sebelum menyusuri garis takdir sejarah tersebut, ialah
perjuangannya untuk bergerak menyusuri dan merebut provinsi-provinsi
Afghanistan yang diduduki Mujahidin. Meskipun pada level ini, aroma
persimpangan ideologis telah menyambangi Taliban.
C.
Perjuangan Mengawal Afghanistan
Jarang ada sebuah gerakan Islam yang
melakukan eksperimen gerakannya begitu cepat, namun tetap mendapatkan hasil
prestasi yang maksimal. Inilah yang ditunjukkan Taliban melalui penaklukkan
ibukota Afghanistan, Kabul, yang dilakukan dalam waktu, kurang lebih, tiga
tahun sejak gerakan Islam ini memulai gerakannnya pada awal tahun 1994. Dengan
ini, kembalilah terjadi pergeseran kekuatan pada kehidupan politik di
Afghanistan. Pergeseran kekuatan yang begitu cepat ini segera memberi ruang
pada pertanyaan identitas tentang kelompok yang melakukan pergeseran itu. Itu semua karena
sejak penaklukkan Taliban atas Kabul, media masa masih mempertanyakan visi politik
kelompok ini.
Namun semuanya menjadi jelas ketika Taliban
berkomitmen untuk mendeklarasikan sebuah negara yang berdasarkan
prinsip-prinsip Islam,tak lama setelah menggeser Burhanuddin Rabbani.
Madrasah-madrasah di Qandahar dan perbatasan Afghanistan-Pakistan nampaknya
telah berhasil mempersiapkan Taliban untuk menanggung pekerjaan- pekerjaan
besar di dunia luar, beserta kepentingan-kepentingan yang berlaku. Namun
tanggung-jawab atas proses follow up, rekruitmen dan konsolidasi internal pada
tubuh Taliban dilimpahkan kepada seorang pria Qandahar, mantan veteran Afghan
dalam melawan Uni Soviet, yang sangat low profile. Dialah Mullah Muhammad ‘Umar
yang kerap disapa Mullah ‘Umar. Hingga Taliban mampu menaklukkan Kabul dan
mendeklarasikan terbentuknya Negara Islam pada tahun 1996, Mullah ‘Umar inilah
yang resmi ditetapkan sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang beriman) Afghanistan
di bawah pemerintahan Taliban.
Sejak pengambil-alihan pemerintahan itu juga, Taliban
segera mengorbitkan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang baru terbentuk
tersebut. Sambil melacak keberadaan Rabbani dan Hikmatyar di wilayah utara dan
menyusun strategi praktis untuk menaklukkan tiga propinsi yang belum jatuh,
penerapan hukum Islam di Afghanistan mulai diberlakukan termasuk
permasalahan-permasalahan teknis keseharian. Dengan berdenyutnya kembali
jantung politik dan nadi pemerintahan Kabul di bawah Taliban, Afghanistan jelas
akan menghadapi tantangan-tantangan baru. Terutama visi politik dan
pemerintahan Islam ini jelas akan menjengkelkan Barat, yang selama ini
memandang Islam sebagai tantangan hegemoninya, bersama para pengikutnya. Begitu
pula sebaliknya, Barat, terutama Amerika Serikat, akan menjadi tantangan serius
bagi Taliban. Hal ini mengingat Amerika Serikat dan Barat juga memerlukan
konflik untuk menguatkan status identitasnya, di samping tujuan.
D.
Metode Penelitian.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
eksplanatif analitis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Bentuk
penelitiannya adalah penelitiannon-reactive dengan menggunakan literature
review. Model penelitian yang digunakan adalah dengan studi kasus.Sumber data
yang digunakan adalah data sekunder yaitu menggunakan buku dan jurnal mengenai
ilmu hubungan internasional, kasus Taliban, dan materi-materi yang mendukung
tulisan ini. Penulis menggunakan data sekunder karena penulis membahas judul
mengenai strategi suatu kelompok radikal, sehingga belum ditemukan data primer
yang mendukung penelitian ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan melalui studi
literatur termasuk akses data melalui internet. Akses internet dilakukan dengan
selektif melalui alamat situs yang kredibilitasnya dapat dipercaya. Data yang
telah didapatkan, kemudian akan dipilih sesuai dengan tema penelitian.
E.
Pembahasan.
Madrasah-madrasah di Afghanistan merupakan
kunci penting untuk mengetahui awal munculnya Taliban. Taliban mengawali kemunculannya
dari arah selatan, di sekitar provinsi Kandahar. Hal ini kuat mengindikasikan
bahwa dari banyaknya madrasah di Afghanistan, madrasah-madrasah di daerah
provinsi Kandahar hingga di perbatasan selatan Afghanistan-Pakistan merupakan
tempat paling memungkinkan Taliban dalam memulai mengkonsolidasikan milisinya Madrasah-madrasah
di Afghanistan memiliki posisi khusus di tengahmasyarakat. Madrasah-madrasah
tersebut menjadi tempat paling strategis bagimasyarakat Afghan untuk
mengimprovisasi kehidupannya dan motivasi-motivasisosial lain, yang hal
tersebut sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Madrasah, bagi masyarakat
Afghan, merupakan sebuah bagian dari kebutuhankehidupan. Madrasah telah
menciptakan identitas tersendiri bagi bangsa Afghan.Dalam hal ini, madrasah
mungkin berperan besar bagi lintas dan batas etnis diAfghanistan. Dr. Fazal
Ghani Kakar dari Noor Educational and Capacity Development Organization (NECDO)
Afghanistan dalam International Webinar bertajuk "Islamic Higher Education
After The Covid-19 Pandemic" yang diselenggarakan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Kamis malam menjelaskan lebih dalam mengenai
pendidikan Islam di negaranya.
Dia menuturkan, setidaknya ada tiga kategori berbeda
dalam pendidikan di Afghanistan. Yang pertama adalah pendidikan tradisional
atau indigenous, pendidikan modern dan pendidikan Islam, paparnya. Lebih
lanjut dia menjelaskan bahwa kategori pertama, yakni pendidikan tradisional
sudah ada lebih dulu sebelum pendidikan formal hadir di Afghanistan. Mereka
umumnya belajar keterampilan untuk bertahan hidup dalam lingkungan pertanian
atau normadik. Selain itu, mereka juga belajar mengenai budaya mereka dari
generasi ke generasi. Sedangkan kategori kedua, yakni pendidikan modern lebih
menitikberatkan pada ilmu pengetahuan dan sains. Sedangkan kategori ketiga,
yakni pendidikan Islam, terbagi lagi menjadi dua kategori yang berbeda, yakni
pendidikan Islam non-formal dan formal.
Setidaknya ada tiga hal yang membedakan pendidikan
Islam formal dan non-formal di Afghanistan. Pertama, pendidikan Islam
non-formal biasanya dilaksanakan di masjid. Bahkan sejumlah masjid memiliki
ruangan khusus untuk belajar mengajar, ujarnya. Selain itu, sambungnya,
pendidikan Islam non-formal juga tidak sembarangan mengizinkan seseorang menjadi
guru. Mereka yang menjadi pendidik umumnya adalah imam masjid tersebut.
Pendidikan tersebut juga fokus pada Al Quran dan Hadis. Sedangkan pendidikan
Islam formal biasanya terbagi beberapa jenis lainnya, yakni sekolah masjid yang
fokus pada pengajaran dasar Islam. Ada juga madrasah tradisional yang fokus ke
hadis, tafsir, fiqih dan akidah. Ada juga madrasah atau sekolah modern yang
bukan hanya fokus ke pendidikan Islam tapi juga ke sains dan Bahasa.
F.
Penutup.
Taliban telah memposisikan diri sebagai
realitas sintesa, atau gerakan yang berusaha membenahi dua kenyataan tesis yang
ada (yaitu tesis dan antitesis). Kubu Mujahidin Afghan yang berperang melawan
Soviet merupakan kenyataan anti-tesis yang melawan realitas tesis persinggahan
komunisme di Afghanistan. Perang Dingin memang menegaskan gelombang
westernisasi yang disebarkan oleh kedua kutub yang telah disebutkan, bertujuan
untuk menanamkan pengaruh oleh masing-masing dari kedua kutub dan kubu.
Westernisasi demokrasi liberal dan Komunisme merupakan dua kubu yang mewakili
Barat. Hakikat Perang Dingin sebenarnya adalah perseteruan antara negara-negara
Barat untuk menguji bentuk filsafat, pemikiran dan ideologi mana yang berhak
tampil untuk memimpin dunia. Dari banyaknya hal yang dapat disimpulkan, ada
empat hal penting yang menarik dan menjadi penegasan-penegasan atau penarikan
hikmah-hikmah sejarah, sekaligus jawaban dari empat pertanyaan yang terdapat
pada bagian pendahuluan dalam kajian atau penelitian ini. Di antaranya: 1.
Kondisi sosial-politik Afghanistan sebelum pemerintahan Taliban berdiri
merupakan drama benturan antara pengaruh-pengaruh baru dan kekuatan asli lokal
yang telah lama mengakar di Afghanistan. Kondisi ini juga menggambarkan sebuah
proses pergulatan ideologi Islam dan Komunisme yang direpresentasikan oleh
peristiwa invasi Uni Soviet yang telah memicu perlawanan dari Mujahidin
(Pejuang Islam) Afghan. Di samping itu, perubahan dunia yang menempatkan
ideologi-ideologi kunci dunia berputar dalam lingkaran kompetensi pengaruh.
Pada saat pemerintahan Taliban berdiri, drama benturan memang terjadi, namun
pada masa sebelumnya kondisi yang terjadi didukung oleh peristiwa besar dunia
yang sedang terjadi pada masa itu, yaitu Perang Dingin. Sedangkan dalam masa
pemerintahan Taliban, Perang Dingin telah digantikan oleh anasir-anasir
benturan baru, bukan lagi antara Barat versus Barat, namun realitas klasik
antara Barat versus Islam. Di Afghanistan pada masa sebelum Taliban,
demokrasi-liberal memang menampakkan diri sebagai pengaruh baru, namun realitas
persinggungannya dengan komunisme menempatkan Islam pada front utama untuk
menghadapi komunisme. Akhirnya, Islam tetap harus menghadapi pengaruh Barat
yang berarus komunisme, seiring ideologi Barat yang berarus demokrasi-liberal
berada di belakang kekuatan Islam. 2. Perlawanan Islam Afghanistan memunculkan
kelompok atau kelas baru dalam sejarah Afghanistan modern, namun klasik, yang
disebut Mujahidin. Kelas ini merupakan cikal-bakal dinamika politik Islam
kontemporer di Afghanistan, yang pengaruhnya luar biasa besar dalam perkembangan
gerakan jihad global. Namun ketika
kelompok ini dapat menguasai Afghanistan, ketidak-stabilan poltik justru muncul
karena para Mujahidin justru berperang satu sama lain. Kalau-pun Amerika
Serikat hanya menyaksikan benturan yang terjadi karena invasi Soviet tersebut,
Afghanistan tetap bersiap menghadapinya. Perlawanan Islam tentu saja menjadi
pasukan yang tetap diandalkan di Afghanistan, selain pasukan-pasukan tribal
juga muncul untuk mengusir Soviet bersama anasir- anasirnya. Kali ini, kekuatan
Islam dimotori oleh kaum intelektual kampus, yang tidak juga mengenyampingkan
seluruh komponen tradisional Islam di dalam masyarakat Afghan beserta
struktur-strukturnya. Mereka semua disebut sebagai Mujahidin. 3. Sebuah gerakan
Islam yang berasal dari madrasah-madrasah (sekolah) Islam di sekitaran Provinsi
Qandahar, disebut Taliban, lantas muncul untuk meredam konflik dan
akibat-akibat kriminalitas yang ditimbulkan akibat perseteruan Mujahidin
tersebut. Taliban telah menawarkan posisi dinamika politik yang lebih radikal
dibandingkan pemerintahan Mujahidin yang berhasil digesernya.Madrasah-madrasah
Afghan di bagian selatan, yang merupakan cikal-bakal kemunculan Taliban,
merupakan anasir paling penting dalam menjelaskan rekam-jejak Taliban, bahkan
dalam sejarah Afghanistan. Kestabilan gerakan dan konsistensi ideologis
merupakan modal utama yang dimiliki Taliban, sehingga terbentuklah sebuah wajah
fundamental dan radikal (mendasar dan mengakar). Karena sudah sewajarnya,
sebuah gerakan resistensi memiliki
basis-basis yang fundamental, radikal, ekstrim dan militan. Itu semua kembali
pada tatanan nilai yang dibawa oleh Taliban. Kendati Taliban yang ingin
mengadakan perubahan, harus memiliki nilai strategis yang fundamental dengan
konsep yang teguh dan konsisten. Sebuah gerakan tak akan bisa menunjukkan
eksistensinya bila ia tak memiliki nilai fundamental, dan hanya gerakan
pembebek yang memakai nilai-nilai tidak stabil dalam visi-visi gerakannya.
Taliban segera disebut-sebut akan menyambut isu keamanan Barat pasca-Perang
Dingin, dan mempertegas kembali konfrontasi klasik yang permanen, yaitu Islam
versus Barat. Kenyataan ini mendorong dinamika yang bergulir melalui dua arah:
perubahan fenomena konfrontasi politik global dan perubahan lanskap politik
Afghanistan yang ditenteng Taliban. 4. Taliban telah berhasil menegakkan sebuah
pemerintahan Islam dan menjadikan Afghanistan sebagai sebuah markas bagi
gerakan-gerakan Islam, semacam al-Qaidah. Hal tersebut semakin menyeret
kepentingn global, akibat gerakan-gerakan Islam di Afghanistan tersebut dinilai
Barat membahayakan hegemoni ideologisnya di dunia. Konflik ini merupakan
benturan strategis pasca-Perang Dingin. Pada mulanya, Taliban menghadapi
“ujian-ujian politik” kasat-mata. Benturan global ideologis pasca-Perang Dingin
telah dan sedang berubah. Amerika Serikat tetap menjadi aktor utama dalam drama
benturan tersebut.
Pemerintahan Islam yang didirikan Taliban
sejak tahun 1996 jelas akan menuai kontroversi dan permusuhan yang sengit.
Sebagian besar manusia di dunia takkan menyukai corak pemerintahan tersebut karena mereka
lebih menyukai nilai-nilai yang di kampanyekan Amerika, dan banyak dari mereka
terlena karenanya. Aspek ini memang begitu ironis. Di saat semua institusi
modern menganut cara-cara yang sekular dan demokratis, Taliban berkata tidak
kepada itu semua. Di dalam lanskap politik dunia, gerakan Taliban telah
berhasil membawa kekuatan yang ditujukan untuk perubahan, di samping perseteruan
global yang juga telah berubah begitu juga dengan dunia pendidikan di
Afganistan.
Setidaknya ada tiga hal yang membedakan
pendidikan Islam formal dan non-formal di Afghanistan. Pertama, pendidikan
Islam non-formal biasanya dilaksanakan di masjid. Bahkan sejumlah masjid
memiliki ruangan khusus untuk belajar mengajar, ujarnya. Selain itu,
sambungnya, pendidikan Islam non-formal juga tidak sembarangan mengizinkan
seseorang menjadi guru. Mereka yang menjadi pendidik umumnya adalah imam masjid
tersebut. Pendidikan tersebut juga fokus pada Al Quran dan Hadis.
Taliban, untuk pertama kali, menjadi
pelaku mengawali posisi perubahan perseteruan global dengan Barat setelah
Perang Dingin. Taliban telah menunjukkan pada dunia, bahwa identitas
kemandirian itu penting, dan kadang-kala berkata “tidak” itu perlu, di samping
kesertaan untuk menanggung resiko dan celaan mayoritas. Bukankah Taliban ini
hanya sebuah entitas tradisional yang hendak membangun negeri, Afghanistan,
dengan semangat dan identitas mereka Untuk itu saja, Amerika harus membangun
maha-aliansi untuk menundukkan rezim ini. Taliban telah membuktikan bahwa
dinamika yang dipilihnya memang mengharuskan untuk bersikap kuat, dan
meningkatkan perlindungannya kepada umat dan saudara- saudara yang sekeyakinan
dengannya. Dengan itu pula, Taliban menunjukkan bahwa kejatuhannya tidak
diiringi oleh kekalahan. Justru rezim-rezim yang bertekuk-lutut kepada trend
global dan merasa aman karenanya itulah pihak- pihak yang kalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ajid Thohir. 2011. Studi
Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Al-Attas, Syed Muhammad
Naquib. 2010. “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar. Islam dan
Sekularisme. Bandung: PIMPIN, CASIS dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM).
Al-Maqdisiy, Abu Muhammad
‘Ashim. 2012. Awan Kelam di Atas Ka’bah:Membongkar Kekafiran Saudi, a.b. Abu
Sulaiman Aman Abdurrahman.Banten: P-TA Press.
Al-Qathani, Muhammad
Said. 2000. “Min Mafahim Aqidatis-salaf ash-Shalih: al- Wala’ wal-Bara’ fil
Islam”, a.b. Salafuddin Abu Sayid. Loyalitas dan Antiloyalitas dalam Islam.
Solo: Era Inter Media.
As-Suri, Abu Mushab.
2004. “Da’wah al-Muqawwamah al-Islamiyyah al- ‘Alamiyyah Bab: Hashaad
ash-Shawah al-Islamiyyah wa at-Tayaar al-Jihadi (1930-2002)”, a.b.
Agus Suwandi. Perjalanan
Gerakan Jihad (1930-2002): Sejarah, Eksperimen, dan Evaluasi. Solo: Jazeera.
Azzam, Abdullah. 1986.
“Ayyaturrahman fie
Jihadil Afghaan”, a.b. H. SalimBasyarahil. Perang Afghanistan. Jakarta: Gema
Insani Press.
Dudung Abdurrahman. 2011.
Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.
Edwards, David B.. 2002.
Before Taliban: Genealogies of the Afghan Jihad, California: University of
California Press.
Firdaus Syam. 2007.
Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya terhadap
Dunia ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.