Radikalisme
agama dalam prespektif Al`Quran
Abstract
In the name of religion, then the radicalism be
legitimised in a variety of actions. Starting from the disbelieve people who do
not agree to do the killing of enemies who do not trust her radicalism is
familiar or flow of radical in politics and understand the flow or want a
change or renewal with the way the social and political violence or drastic or
extreme attitudes in the political formula of flow issues raised here is how
the view or perspective Quran against Radicalism as well as how the attitude of
Muslims toward radicalism religion itself is essentially a religion teaches
human peace and solidarity with each other, respect each other's respect, build
solidarity both within the same faith or religion outside the religion adhered.
But in our everyday life, not least finding violence by someone who embraced a
religion, both to the same faith as well as to those others who adhere to a
different religion. the Qur'an is the book of universal, then the texts must be
understood holistically-comprehensive and not taken in bits and pieces
atomistic interpretation. Therefore, understanding approach is offered by way
of intercultural munasabah verse, another approach has to offer is by looking
at the historical background of asbab nuzul against the decline of certain
passages.
Keywords: Radicalism, Religion, Quran Prespective,
Politics
Abstrak
Atas
nama agama, kemudian radikalisme diabsahkan dalam berbagai tindakan. Mulai dari
mengkafirkan orang-orang yang tak sepaham sampai melakukan pembunuhan terhadap
musuh yang tidak seideologi dengannya radikalisme adalah paham atau aliran yang
radikal dalam politik dan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis atau sikap
ekstrem dalam aliran politik Rumusan masalah yang diangkat disini adalah bagaimana
pandangan atau prespektif Al Quran terhadap Radikalisme serta bagaimana sikap
umat muslim terhadap radikalisme agama itu sendiri Pada dasarnya agama
mengajarkan kepada manusia kedamaian dan kesetiakawanan satu sama lain, saling
hormat menghormati, membangun kesetiakawanan baik dalam seagama maupun penganut
agama di luar agama yang dianutnya.Namun dalam keseharian kita, tidak sedikit
menemukan kekerasan oleh seseorang yang menganut suatu agama, baik terhadap
seagama maupun kepada orang yang lain yang menganut agama yang berbeda.
al-Qur’an merupakan kitab universal, maka ayat-ayatnya harus dipahami secara
holistik-komprehensif dan tidak diambil secara sepotong-sepotong atomistik. Oleh sebab itu, ditawarkan
pendekatan pemahaman dengan cara munasabah antar ayat, pendekatan lain yang
ditawarkan adalah dengan melihat latar belakang kesejarahan asbab nuzul terhadap turunnya ayat-ayat
tertentu.
Kata Kunci :
Radikalisme,Agama,Prespektif Al’Quran,Politik
A.
Latar
Belakang
Radikalisme suatu pembahasan yang selalu menarik
untuk di angkat apalagi di masukan unsur agama di dalamnya sejak kejadian
Serangan sebelas September adalah
serangkaian empat serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa
target di New York City dan Washington, D.C. pada 11 September 2001. Pada pagi
itu, 19 pembajak dari kelompok militan Islam, al-Qaeda, membajak empat pesawat
jet penumpang. Para pembajak sengaja menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar
World Trade Center di New York City kejadian ini awal terjadinya perang
terhadap radikalisme agama khusus nya islam yang di pelopori oleh Amerika
Serikat tapi perlu diketahui bahwa Sejarah kekerasan dan radikalisme sering
kali membawa nama agama. Hal ini dapat dipahami karena agama memiliki kekuatan
yang dahsyat, yang melebihi kekuatan politik, sosial, dan budaya. Agama bahkan
bisa diangkat sampai pada tingkat supranatural.
Atas
nama agama, kemudian radikalisme diabsahkan dalam berbagai tindakan. Mulai dari
mengkafirkan orang-orang yang tak sepaham sampai melakukan pembunuhan terhadap
musuh yang tidak seideologi dengannya.dalam [1]kamus
besar bahasa Indonesia radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam
politik dan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis atau sikap ekstrem dalam
aliran politik disini penulis juga ingin mengangkat definisi radikalisme
menurut [2]Adeed
Dawisha dalam bukunya The Arab radicals mendefinisikan radikalisme sebagai
sikap jiwa yang membawa kepada tindakan-tindakan yang bertujuan melemahkan dan
mengubah tatanan politik mapan dan menggantikannya dengan sistem baru. lebih
lanjut, istilah radikal mengacu kepada gagasan dan tindakan kelompok yang
bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan yakni negara-negara atau
rejim-rejim yang bertujuan melemahkan otoritas
politik dan legitimasi negara-negara dan rejim-rejim lain.jadi radikalisme
adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan pergantian terhadap suatu
sistem di masyarakat sampai ke akarnya, jika perlu dilakukan dengan menggunakan
cara-cara kekerasan. Atau menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu kondisi
atau semua aspek kehidupan masyarakat dan secara teoritis [3]radikalisme
tidak identik dengan kekerasan, termasuk penyandingannya dengan kelompok agama
tertentu.
Fenomena
radikalisme agama bukanlah fenomena yang lahir saat ini saja. Radikalisme agama
telah lahir sejak abad 16-19 M, di mana perebutan hegemoni agama antara Islam
versus Kristen sangat kentara di sana. Fenomena radikalisme agama juga bukan
hanya milik Islam, maupun Kristen, tetapi juga dalam Hindu dan Yahudi, Kaum
radikal dalam beragama bisa jadi memang memiliki pandangan hidupnya sendiri,
yang barangkali berbeda dengan lainnya. Dengan cara pandang sendiri, mereka
tidak jarang melihat gejala sosial yang terjadi sesuai dengan cara pandangnya,
jika tidak sesuai maka akan sangat mungkin ditolak, bahkan dilawan. Perlawanan
inilah yang kadang menjadi bentuk riil dari kaum radikal.
Kaum
radikal melawan siapa saja yang dianggap berada di luar, atau berbeda dengan
pandangan hidupnya. Pandangan dan gaya hidup yang tidak sama dengan kelompoknya
akan dengan mudah dianggap sebagai musuh paling nyata, sehingga tidak
segan-segan untuk dimusnahkan. Dari sini kemudian berkembanglah cara pandang
yang sangat intoleran, tertutup dan memutlakkan apa yang menjadi pandangannya.
1.
Rumusan
masalah
Rumusan
masalah yang penulis ingin diangkat disini adalah bagaimana pandangan atau
prespektif Al Quran terhadap Radikalisme serta bagaimana sikap umat muslim
terhadap radikalisme agama itu sendiri.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
radikalisme
Secara
etimologis, radikalisme berasal dari kata radix, yang berarti
akar.Seorang radikal adalah seseorang yang menginginkan perubahan terhadap
situasi yang ada dengan menjebol sampai keakar-akarnya. A radical is a
person who favors rapid and sweeping changes in laws of goverments. Seorang
radikal adalah seorang yang menyukai perubahan-perubahan secara cepat dan
mendasar dalam hukum dan metode-metode pemerintahan. Jadi radikalisme dapat
dipahami sebagai suatu sikap yang mendambakan perubahan dari status quo dengan
jalan menghancurkan status quo secara total, dan dengan menggantinya
dengan suatu yang baru sama sekali berbeda. Biasanya cara yang digunakan adalah
revolusioner artinya menjugkir balikkan nilai-nilai yang ada secara drastis
lewat kekerasan (violenceri) dan aksi-aksi ekstrim[4].
Secara
sosilogis bisa diterangkan bahwa radikalisme kerap kali muncul bila terjadi
banyak kontradiksi dalam orde sosial yang ada. Bila masyarakat yang mengalami
anatomi atau kesenjangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan para
masyarakat tidak mempunyai daya lagi untuk mengatasi kesenjangan itu, maka
radikalisme dapat muncul ke dalam permukaan. Dengan kata lain akan timbul
proses radikalisme dalam lapisan-lapisan masyarakat, terutama di kalangan anak
muda.
2. Latar
Belakang Munculnya Radikalisme Agama
Kiranya bukanlah sebuah organisasi kalau dikatakan
bahwa radikalisme agama sama dengan radikalisme social, hanya dapat dipahami
dalam kontek sosial tertentu.Apakah dengan motivasi atau lebih tepat dengan
kerangka pengertian simbolik bahasa agama, atau dengan motivasi pembebasan
politik atau misalnya kepercayaan akan datangnya ratu adil, sekelompok orang
akan menjadi radikal dan ekstrem sebagai reaksi atas sebuah situasi dan dalam
sebuah konteks. Oleh karena itu, sebuah penelitian tentang radikalisme agama
sudah tentu memerlukan pengetahuan sejarah, khususnya sejarah agama yang
bersangkutan.[5]
Jika kita hubungkan dengan fakta sejarah memang
dapat dijumpai adanya kelompok-kelompok dalam Islam yang berpandangan
Fundamentalisme (radikalisme),walaupun tidak sepenuhnya muncul sebagai reaksi terhadap
modernisasi, melainkan juga karena latar belakang politik, teologi dan lain sebagainya.
Dalam bidang teologi misalnya kita jumpai Khawarij, kelompok ini muncul sebagai
reaksi terhadap sikap khalifah Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah serta para
pendukungnya dari tokoh yang bertikai ini mengambil jalan penyelesaian dengan
cara arbitrase (damai) yang berakhir dengan kemenangan dari pihak Muawiyah.
Kelompok ini kemudian menuduh orangorang yang terlibat dalam arbitrase sebagai
kafir.[6]
Kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan
secara rigit dan literalis seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis Protesten,
ternyata ditemukan juga dikalangan penganut agama-agama lain di abad ke dua
puluh ini. Karena itu tidaklah mengherankan jika para sarjana orientalis dan islamis
Barat kemudian menyebut kecenderungan serupa di kalangan masyarakat muslim
sebagai "Fundamentalis Islam". Disamping dihubungkan dengan Islam,
istilah fundamentalisme juga dihubungkan dengan agama-agama bukan Krestan yang
lain, sehingga muncul istilah kaum "Fundamentalis Sikhs", dan
sebagainya.
Tetapi berbeda dengan kaum fundamentalisme Protestan
yang memang menyebutkan dirinya fundamentalis, kelompok-kelompok dengan
kecenderungan serupa di dalam agama-agama lain malah menolak disebut sebagai
kaum fundamentalis. Kelompok-kelompok seperti itu, di Timur Tengah, lebih suka
menyebut diri mereka dengan istilah-istilah seperti Ushuliyah Islamiyah (asas-asas
Islam), Ba'ats Islam (Kebangkitan Islam) atau Harakah Islam (gerakan
Islam), sementara kelompok-kelompok yang kurang menyukai mereka menyebutnya Muta'asshibin
(kelompok fanatik) juga Muthathrrifin (kelompok radikal/ekstrim).[7]Dari
gambaran-gambaran di atas tampaknya ada
empat faktor yang menyebabkan lahirnya kaum fundamentalis atau
radikalis:
a. Faktor
modernisasi yang dapat dirasakan dapat menggeser nilainilai agama dan
pelaksanaanya dalam agama.
b. Pandangan
dan sikap politik yang tidak sejalan dengan sikap dan politik yang dianut
penguasa.
c. Ketidakpuasan
mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya yang
berlangsung di Indonesia.
d. Sifat dan karakter dari ajaran Islam yang
dianutnya cenderung bersifat rigid (kaku)
Dari
faktor tersebut maka latar belakang radikalisme lahir dan berkembang karena
rasa tidak puas dan rasa keadalilan maka muncul nya rasa ketidak adilan
tersebut dan telah memuncak maka terjadianya penolakan dan ingin nya perubahan kearah
yang lebik baik tapi secara radikal dan keras demi mencapai tujuan tersebut hal itu yang
membuat terjadinya konflik.
3.
Faktor-faktor
radikalisme
Banyaknya
gerakan-gerakan radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini muncul ini karena
adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab. Antara lain:
a. Faktor
pemikiran
Merebaknya
dua trend paham yang ada dalam masyarakat Islam, yang pertama menganggap bahwa agama merupakan penyebab kemunduran
ummat Islam. sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya
maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. pemikiran ini
merupakan produk sekularisme yang secara filosofi anti terhadap agama.sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan
penentangannya terhadap alam relaitas yang dianggapnya sudah tidak dapat
ditolerir lagi, dunia saat ini dipandanganya tidak lagi akan mendatangkan
keberkahan dari Allah swt, penuh dengan kenistaan, sehingga satu-satunya
jalan selamat hanyalah kembali kepada agama. Namun jalan menuju kepada agama
itu dilakukan dengan cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal
yang berbau modernitas.pemikiran ini merupakan anak kandung dari pada paham fundamentalisme.Kedua
corak pemikiran inilah yang jika tumbuh subur dimasyarakat akan melahirkan
tindakan-tindakan yang kontra produkti bagi bangsa bahkan agama yang dianutnya.
Kedua trend pemikiran yang satunya menolak agama dan yang kedua mengajak
kepada paham agama yang keras, justru akan melahirkan reaksi yang bertentangan
dengan misi diciptakannya manusia olehAllah swt di semesta ini sebagai mahluk
yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.
b. Faktor
ekonomi
Gilliam
Nock pengarang buku 'perwajahan dunia barumengatakan terorisme
yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi
yang terjadi didunial iberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal
hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang
sangat tajam kepada yang miskin.jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung
pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme
internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat
Negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional.Karena boleh jadi
problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola
pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan
dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror.
c. Faktor
politik
Stabilitas
politik yang di imbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat
adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada
rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat,
tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan
memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya
baik dari dalam maupun dar luar.namun
sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang
hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik
pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan
tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama
yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan
satu sama lainnya.
d. Faktor
sosial
Diantara
faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang
sering terjadi di dalam masyarakat. banyaknya perkara-perkara yang
menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada
akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan
masyarakat. ada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk
menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah
menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. jika sekolompok
orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat
mudah dimanaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
e. Faktor
pendidikan
Sekalipun
pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan
terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru
juga sangat berbahaya. pendidikan agama khususnya yang harus lebih
diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan,keramahan,membenci
pengerusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Dan
retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek
daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering
menghardik daripada mendidik. maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya
dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus
diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah.
sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum,
sementara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.
Dari
faktor-faktor tersebut maka radikalisme dapat di jelaskan bahwa
ketidakadilanlah yang membuat seseorang atau kelompok berubah menjadi radikal
maka keadilan dan pemerataan suatu alat yang bisa membangun persatuan dan
menjauhi seseorang maupun kelompok untuk berfikir dan bertindak radikal.
4.
Akar Radikalisme dalam Islam.
Di
suatu subuh, 14 Ramadan 40 H, tiga orang militan yang merencanakan pembunuhan
terhadap tiga orang tokoh penting kaum muslim di Mekah ketika itu, berusaha
mencari saat yang tepat untuk melakukan pembunuhan. Mereka adalah Amr bin Bakr,
al-Barak bin Abdullah, dan Abdurrahman bin Muljam yang semuanya merupakan
anggota dari kaum Khawarij, kelompok yang keluar dan memisahkan diri dari mainstream
muslim, yang tidak puas dengan kepemimpinan umat ketika itu. Mereka pada
awalnya adalah pengikut dari salah seorang dari tiga pemimpin yang sedang
mereka rencanakan pembunuhannya itu, yakni Ali bin Abi Thalib, khalifah yang
sah pada saat itu, tetapi mereka tidak setuju pada kesediaan sang khalifah
untuk menerima tahkim (arbritase) antara sang khalifah dengan musuhnya,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, melalui orang yang ditunjuknya, yakni Amr bin Ash.
Mereka juga menilai Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap kepemimpinan yang
sah sehingga ia pun harus diperangi.[8]
Mereka
menggunakan argumentasi al-Qur’an bahwa la hukma illa Allah (tidak
ada hukum kecuali hukum Allah) yang dielaborasi dari Q.S. al-Ma’idah 5: 44.
Karena tidak ditaatinya hukum Allah itu, maka terjadi chaos (fitnah)
sehingga memunculkan dualisme pemerintahan di tengah kaum muslim. Dan, karena
tidak mau mengikuti hukum Allah, sang khalifah pun dituduh kafir, sebagaimana
juga Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash. Maka, selain khalifah, mereka pun mengirimkan
orang untuk membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash. Pada akhirnya mereka gagal
membunuh Mu’awiyah dan Amr bin ‘Ash, dan hanya berhasil membunuh Ali bin Abi
Thalib ketika sedang Shalat Subuh di masjid. Dua sampai tiga hari sang khalifah
masih bisa bertahan hidup sebelum akhirnya wafat. Sebelum menghembuskan nafas,
dia sempat memberikan wasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husain, yang
isinya antara lain bahwa “orang-orang (Khawarij) ini masih akan terus
dilahirkan dari tulang-tulang sulbi ayah mereka.Gerakan kaum Khawarij yang
muncul di akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan prinsip-prinsipnya
yang radikal inilah kemudian yang sering dijadikan contoh gerakan
fundamentalisme klasik dalam sejarah Islam dan juga menandai terbentuknya
gejala takfirisme (takfiriyah) dalam Islam. Suatu doktrin yang
mengkafirkan sesama muslim yang berbeda dengan mereka, bahkan sampai
menghalalkan darahnya.
Lebih
jauh dari itu, mereka juga mengembangkan doktrin khusus elaboratif tentang
takfir yang cukup berdasar pemahaman mereka terhadap teks-teks keagamaan
al-Qur’an dan hadis dan pemikiran kaum salaf. doktrin takfirisme ini tidak
hanya terbatas pada tataran wacana, tetapi juga dikaitkan dengan anggapan bahwa
yang bersangkutan dipandang telah keluar dari agama murtad sehingga boleh dimusnahkan
di dunia, dan di akhirat mereka dianggap celaka sebagai akibat dari perbuatan
kufur tersebut.dari rekaman sejarah tersebut dapat dilihat bahwa
fundamentalisme Islam lebih banyak menekankan, atau setidaknya membenarkan,
penggunaan radikalisme atas nama agama. Islam dianggap mengajarkan para
pemeluknya yang fanatik untuk melakukan tindakan kekerasan tersebut sebagai
manifestasi dari keimanan. Pandangan teologis radikal tersebut diikuti oleh
sikap politik yang ekstrem dan radikal pula sehingga menganggap orang-orang
yang tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir dan boleh dibunuh. Bahkan,
mereka kemudian membagi wilayah menjadi dua, yaitu wilayah dar al-Islam yang
harus dilindungi dan wilayah dar al-kuffar yang harus diperangi dan
dihancurkan.
Pada
masa pra-modern, gerakan fundamentalisme radikal muncul pada abad 12 H di
Semenanjung Arabia di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1792)
yang kemudian dikenal sebagai gerakan Wahabi. Inilah yang kemudian membentuk
Salafisme awal, dengan Ibnu Taimiyah sebagai tokoh utamanya. Meski mereka
mengklaim mengikuti kaum Salaf, figur-figur terkemuka dari generasi awal Islam
hingga abad kedua hijriah, tetapi pada praktiknya Salafisme cenderung mengikuti
Mazhab Hanbali yang cenderung ketat dan literal.
Dari
paparan historis di atas, dapat dikatakan bahwa radikalisme dan fundamentalisme
Islam, sebagaimana juga fundamentalisme dalam agama lain, memiliki beberapa
karakteristik yang membedakannya dengan kelompok lain.
a. Skripturalisme,
yaitu pemahaman harfiah dan tektualis atas ayat-ayat al-Qur’an. Karenanya
mereka menolak hermeneutika sebagai cara dalam memahami al-Qur’an.
b. Penolakan
terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap akan merusak kesucian teks.
c. Penolakan
terhadap pendekatan historis dan sosiologis yang dipandang akan membawa manusia
melenceng jauh dari doktrin literal kitab suci.
d. Memonopoli
kebenaran atas tafsir agama, di mana mereka menganggap dirinya yang paling
berwenang dalam menafsirkan kitab suci dan memandang yang lainnya sebagai
kelompok yang sesat.
Ketika
teks-teks keagamaan dipahami secara dangkal, maka tidak menutup kemungkinan
akan melahirkan paham dan gerakan radikal. Karena itulah, untuk menangkal
gerakan radikal, salah satu langkah yang diperlukan adalah pemahaman yang benar
dan komprehensif atas teks-teks keagamaan tersebut.
5.
Telaah
atas Ayat-ayat Kekerasan dalam al-Qur’an
Ayat-ayat
al-Qur’an yang sering kali disalah pahami dan dijadikan dalil bagi
tindakan-tindakan radikal adalah ayat-ayat jihad dan ayat-ayat perang. Karena
itu, menjadi penting untuk memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan konteks
dan maksud pensyariatannya. Berikut ini Penulis akan diuraikan tentang kedua
kelompok ayat tersebut.
1. Ayat-ayat
jihad.
Bagi
sebagian kelompok, jihad terkadang diartikan perang melawan musuh Islam,
sehingga tindakan kekerasan terhadap segala sesuatu yang dianggap musuh Islam,
merupakan perbuatan jihad yang mulia. Akibatnya, kata jihad menjadi sesuatu
yang mengerikan dan mengakibatkan Islam menjadi tertuduh. Islam dipandang oleh
orang di luar Islam dan Barat sebagai agama teroris. Sehingga, tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa istilah jihad merupakan salah satu konsepsi Islam yang
paling sering disalahpahami, khususnya di kalangan para ahli dan pengamat
Barat. Padahal, jika kita telusuri kata jihad dalam al-Qur’an sebagaimana akan
dijelaskan dalam paparan berikut berbeda dengan radikalisme dan peperangan.
Jihad selain merupakan salah satu inti ajaran Islam, juga tidak bisa
disederhanakan dan diindentikkan dengan perang Perang selalu merujuk kepada
pertahanan diri dan perlawanan yang bersifat fisik, sementara jihad memiliki
makna lebih luas. Di sisi lain, qital sebagai terma keagamaan baru muncul pada periode
Madinah, sementara jihad telah menjadi dasar teologis sejak periode Mekah.[9]
Menurut
Seyyed Hossein Nasr, dari 36 ayat al-Qur’an yang mengandung (sekitar) 39 kata
ja-hada dengan berbagai derivasinya, tidak lebih dari 10 ayat yang terkait
dengan perang. Selebihnya kata tersebut merujuk pada segala aktivitas lahir dan
batin, serta upaya intens dalam rangka menghadirkan kehendak Allah di muka
bumi, yang pada dasarnya merupakan pengembangan nilai-nilai moralitas luhur,
dari mulai penegakan keadilan hingga kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Dengan kata lain, jihad adalah kesungguhan hati untuk mengerahkan segala
kemampuan untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pada tataran ini,
pengabdian (ibadah) yang tulus dan penuh kesungguhan serta hubungan antar
sesama manusia yang dilandasi kejujuran dan ketulusan adalah bagian dari jihad.[10]
jihad
pada jalan Allah memiliki spektrum yang luas, yang tidak terbatas pada perang
melawan musuh-musuh Allah, tetapi juga:
a. perjuangan
untuk melindungi kaum duafa dari kekufuran, kefakiran, kemiskinan dan
ketertinggalan.
b. mendorong
kaum muslim untuk mengamalkan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
c. membangun
berbagai sarana dan prasarana dakwah, pendidikan, pusat penelitian, dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d. membangun
kualitas hidup kaum muslim sehingga menjadi umat yang cerdas dalam aspek
intelektualitas, emosional, dan spiritualitas.
e. mendorong umat Islam untuk peduli terhadap
pelbagai masalah sosial dan kemanusiaan guna mewujudkan perdamaian bagi seluruh
manusia.
f. menyadarkan
umat Islam tentang perlunya menjaga kesehatan secara kuratif, preventif, dan
promotif, termasuk kesehatan lingkungan agar mereka menjadi komunitas yang
sehat, serta memiliki andil dalam pembangunan kualitas manusia yang unggul
Dalam
konteks Indonesia kekinian, misalnya, persoalan umat dan bangsa yang cukup
menantang untuk dijadikan lahan jihad adalah masalah korupsi, penjarahan
kekayaan negara, kemiskinan dan keterbelakangan, dan isu-isu lain.
2. Ayat-ayat
perang.
Selain
ayat-ayat jihad, ayat-ayat yang kerap kali dijadikan dasar pengembangan untuk
mengidentifikasi Islam sebagai agama pro-kekerasan dan mendukung aksi terorisme
adalah ayat-ayat perang. Karena itu, dalam paparan berikut ini ayat-ayat tersebut
akan dikaji sesuai dengan konteks dan maknanya dalam perspektif Al-Qur’an.
Kata
qital perang dengan berbagai bentuknya disebut dalam al-Qur’an sebanyak
12 kali. Secara bahasa, qital berasal dari qa-ta-la yang
membentuk kata benda, al-qatl yang bermakna melenyapkan ruh dari tubuh
seseorang. Adapun menurut Ibnu Manzur, kata qa-ta-la memiliki beberapa
makna yaitu
1. la‘ana
(mengutuk)
2. al-muqa>talah
(saling membunuh)
3. al-muha>rabah (saling membinasakan
antara dua orang)
Menurut
al-Qur’an, perang merupakan alternatif terakhir dari berbagai pilihan yang
harus diupayakan dalam mewujudkan perdamaian yang merupakan pesan esensial
al-Qur’an. Ketika perdamaian ini ada yang mengganggu dan tidak dihargai dan
ketika kaum muslim dizalimi, maka Allah mengizinkan kaum muslim untuk
memeranginya. Ia semacam pintu darurat yang hanya diizinkan dalam kondisi
tertentu.Q.S. al-Hajj [22]: 39-40 adalah ayat pertama kali yang turun terkait
dengan perintah perang dalam Islam, setelah selama lebih dari sepuluh tahun di
Mekah, kaum muslim dianiaya. Sebelum diizinkan untuk berperang, mereka
diperintahkan untuk menahan diri (Q.S. an-Nisa’ [4]: 77) dan tetap bersabar dan
berteguh hati (Q.S. al-Baqarah [2]: 109; Q.S. al-Ankabut [29]: 59, dan Q.S.
an-Nahl [16]: 42). Setelah kaum muslim terusir dari kampung halaman mereka dan
orang-orang yang tetap tinggal bahkan mengalami perlakuan yang lebih kejam,
barulah Allah mengizinkan mereka untuk berperang.
Akan
tetapi, sebagaimana dikemukakan Syalabi, siapa yang mendalami ayat tersebut
akan melihat bahwa Islam sebenarnya tidaklah menginginkan peperangan. Ini bisa
dilihat dari penggunaan kata kerja pada awal ayat yang menggunakan term mabniy
majhul uzina di mana pelaku fa‘il nya yang dalam hal ini Allah
disembunyikan. Ini menggambarkan betapa Allah tidak senang dengan peperangan.
Secara fitrah, memang manusia cenderung tidak menyukai perang dan kekerasan
(Q.S. al-Baqarah [2]: 216). Karenanya, ketika ayat ini turun, ada kaum muslim
ada yang belum cukup yakin dengan ayat ini untuk dijadikan alasan untuk melakukan
peperangan.
Dari
sini, maka hubungan Islam dengan dunia luar dibangun atas dasar perdamaian.
Namun, dalam kondisi tertentu, seperti ada pihak yang memerangi Islam dan
mengganggu agama, maka perang pun kemudian dibenarkan. Bahkan, perang dalam rangka
membela agama bukan hanya dibenarkan oleh Islam. Agama Kristen yang sering
digambarkan sebagai agama yang sangat toleran dan penuh kasih juga membolehkan
perang dalam situasi manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22]:
35-38, Lukas [12]: 49-52).
Setelah
ayat tersebut, kemudian Allah menurunkan ayat yang menegaskan tentang
diperbolehkannya perang sebagai penguat ayat di atas, yakni Q.S. al-Baqarah
[2]: 190. Pemberian izin perang dalam ayat ini tidaklah mutlak, melainkan
bersyarat bahwa peperangan itu dilakukan kepada orang yang memerangi saja dan
tidak melampaui batas. Nabi saw. dan para penerusnya, ketika mengirimkan
pasukan perang, selalu memberikan intruksi agar tidak menyerang penduduk sipil,
yakni kaum wanita, orang tua, dan umat beragama yang sedang beribadah, atau
memusnahkan hasil panen dan ternak mereka. Artinya, Islam melihat peperangan
lebih sebagai tindakan defensif. Ofensif hanya dipandang legitimate untuk
membela kebebasan beragama (Q.S. al-Hajj [22]: 39-41), melawan penyerangan dan
membela diri (Q.S. al-Baqarah [2]: 190), membela orang-orang yang tertindas
atas penindasan kelompok lain, pengkhianatan terhadap perjanjian, dan
penganiayaan (fitnah) sebagaimana dijelaskan ayat-ayat yang lalu dan ayat-ayat
ini: Q.S. an-Nisa’ [4]: 75, Q.S. al-Baqarah [2]: 251, Q.S. al-Anfal [8]:55-57,
Q.S. al-Anfal [8]: 39, dan Q.S. al-Baqarah [2]:191-193.
Jika
Q.S. al-Anfal [8]: 190 berbicara tentang kapan peperangan diizinkan untuk
dimulai oleh kaum muslim, maka ayat 193 menjelaskan kapan peperangan harus
mereka hentikan serta konsekuensi yang dipikul oleh yang enggan
menghentikannya. Ia dapat dimulai saat ada musuh yang menyerang. karena tujuan
peperangan adalah menghentikan penganiayaan.
Begitu
pentingnya penghentian peperangan dan keinginan al-Qur’an untuk mencipatakan
perdamaian, sampai Allah mengingatkan dalam Q.S. al-Anfal [8]: 61. Ketika
perang selesai pun, al-Qur’an ataupun hadis memberikan berbagai ketentuan
menyangkut perlakuan terhadap tawanan perang dan hubungan baru dengan kaum
non-muslim. Perang tentu saja tidak dilihat sebagai alat dalam agama untuk
mengubah agama masyarakat lain. Syekh Ali
Jumu’ah, Mufti Agung Mesir, menyebutkan enam syarat dan etika perang dalam
Islam yang membedakannya dengan terorisme, yakni:
1. cara
dan tujuannya jelas dan mulia.
2. perang
hanya dibolehkan terhadap pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil)
3. perang
harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih perdamaian .
4. melindungi
tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi.
5. memelihara lingkungan, antara lain tidak
membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air
dan sumur, dan merusak rumah/bangunan;
6. menjaga
hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[11]
Dengan
demikian, kendati perang qital mendapat legitimasi, ayat-ayat mengenai
keharusan kaum muslim untuk berpegang pada etika-moral luhur dan jihad dalam
makna luas tetap berlaku. Bahkan, melalui pengaitan qital dengan jihad,
umat Islam dituntut untuk tetap berpegang teguh dengan keluhuran akhlak kendati
saat melakukan perlawanan yang bersifat fisik.
C.
Kesimpulan
Ekspresi
radikalisme beragama memang dirasakan sangat mengerikan. Mulai dari
mengkafirkan orang-orang yang tak sepaham, sampai menyerang orang-orang di
tempat-tempat hiburan, membunuh para dokter dan perawat dalam klinik aborsi, tidak
segan-segan menyerang dan membunuh musuh yang tak seideologi. Bahkan
menggulingkan dan membunuh presiden sekalipun demi agama.Pada dasarnya agama
mengajarkan kepada manusia kedamaian dan kesetiakawanan satu sama lain, saling
hormat menghormati, membangun kesetiakawanan baik dalam seagama maupun penganut
agama di luar agama yang dianutnya.
Namun
dalam keseharian kita, tidak sedikit menemukan kekerasan oleh seseorang yang menganut
suatu agama, baik terhadap seagama maupun kepada orang yang lain yang menganut
agama yang berbeda. al-Qur’an merupakan kitab universal, maka ayat-ayatnya
harus dipahami secara holistik-komprehensif dan tidak diambil secara
sepotong-sepotong atomistik. Oleh
sebab itu, ditawarkan pendekatan pemahaman dengan cara munasabah antar ayat,
pendekatan lain yang ditawarkan adalah dengan melihat latar belakang
kesejarahan asbab nuzul terhadap
turunnya ayat-ayat tertentu. Oleh karena itu dengan teoriteori tersebut
diharapkan al-Qur’an akan menjadi Kitab rujukan di semua tempat dan sepanjang
waktu untuk mencapai kedamaian dan kemaslahatan. Sehingga pada akhirnya
al-Qur’an akan menjadi Rahmatan lil a’alamin sepanjang masa.
Daftar
Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme https:// kbbi.web.id/radikal
Adeed dawisha, (1986) the Arab and Radicals.
Karen Amstrong, (2000) The
Battle for God.
Edy Kristiyanto OPM, Perspektif-perspektif Historis Tentang
Radikalisme Religius dalam Agama
Katolik, Dalam Radikalisme Agama, Bakhtiar
Efendy (ed), Jakarta: PPIM-IAIN, 1998.
Abudin Nata,(2001) Peta Keberagamaan Pemikiran Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yusril Ihza Mahendra, Fundamentalisme, Faktor dan Masa
Depannya, dalam M. Wahyu Nafis,Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam,
Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. 1.
Abd. A’la, “Pembumian Jihad dalam Konteks Indonesia Kekinian:
Pengentasan Masyarakat dari Kemiskinan dan Keterbelakangan”, dalam Harmoni:
Jurnal Multikultural dan Multireligius (Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Volume VIII,
Nomor 32, Oktober-Desember 2009,
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan
Universal Islam untuk Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003).
Ali Jumu’ah, “al-Jihad fi al-Islam”, dalam H{aqiqat
al-Islam fi ‘Alam Mutagayyir (Kairo: Kementerian Wakaf Mesir, 2003)
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) radikalisme
https://kbbi.web.id/radikal
[4] M. Amin Rais, Op cit. hal. 4.
[5] Edy Kristiyanto OPM, Perspektif-perspektif
Historis Tentang Radikalisme Religius dalam Agama Katolik, Dalam Radikalisme
Agama, Bakhtiar Efendy (ed), Jakarta: PPIM-IAIN, 1998, hal. 45.
[6] Abudin Nata, Peta Keberagamaan
Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001, Cet. 1.,
hal. 19.
[7] Yusril Ihza Mahendra, Fundamentalisme,
Faktor dan Masa Depannya, dalam M. Wahyu Nafis, Rekonstruksi dan
Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. 1, hal. 98.
[9] Abd. A’la, “Pembumian Jihad
dalam Konteks Indonesia Kekinian: Pengentasan Masyarakat dari Kemiskinan dan
Keterbelakangan”, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2009), Volume VIII, Nomor 32, Oktober-Desember 2009, hlm. 55.
[10] Seyyed Hossein Nasr, The
Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 313-314.
[11] 52Ali Jumu’ah, “al-Jihad fi al-Islam”, dalam H{aqiqat al-Islam fi ‘Alam Mutagayyir (Kairo:
Kementerian Wakaf Mesir, 2003), hlm. 700.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar