ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi,
berkembang pula pola perilaku masyarakat. masyarakat di era sekarang lebih memandang
informasi sebagai kebutuhan.perkembangan terakhir di perpustakaan pada era
sekarang menuntut proses temu kembali mengalami inovasi yang melahirkan
tren-tren terbaru seperti web dan digital telah membawa sebuah revolusi besar
dalam pencarian informasi,fenomena Pengguna perpustakaan digital pada zaman
sekarang di sebut pula dengan digital native, Kebutuhan informasi yang lebih
beragam dan mutakhir yang dapat diakses secara cepat dan akurat merupakan
tuntutan masyarakat sebagai pengguna yang harus dipenuhi oleh perpustakaan,dalam
penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif
dengan pendekatan studi pustaka yaitu mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah
yang bertujuan dengan objek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat
kepustakaan atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah
yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam, Perpustakaan
sebagai lembaga penyedia informasi, harus paham mengenai masyarakat pengguna
yang dilayaninya, terutama dengan kehadiran digital native. Perpustakaan harus
meningkatkan strategi pelayananya.
Kata kunci :
Teknologi informasi,perpustakaan digital,digital native.
Kemajuan
teknologi dan informasi telah membawa kepada kemajuan dalam berbagai bidang
mudahnya mengakses informasi secara cepat telah membawa pencarian informasi
mencakup area studi yang luas, dan akibatnya juga mempengaruhi tren temu kembali informasi. perkembangan
terakhir di perpustakaan pada era sekarang menuntut proses temu kembali
mengalami inovasi yang melahirkan tren-tren terbaru seperti web dan digital
telah membawa sebuah revolusi besar dalam pencarian informasi.[1]
Pada
perpustakaan konvensional, pengguna harus datang ke perpustakaan untuk
mendapatkan sumber informasi yang dibutuhkan. Sedangkan dalam perpustakaan
digital, perpustakaan yang datang menyediakan layanan kepada pengguna melalui
jaringan internet. Selain itu, dengan adanya jaringan, maka lebih banyak
perpustakaan yang dapat dimanfaatkan. Dalam jaringan tersebut ada resource sharing, yaitu tersedianya
banyak sumber yang dibagi oleh berbagai lembaga dan adanya sambungan ke
sumber-sumber informasi tertentu dalam jumlah banyak. Sumber-sumber informasi
dalam perpustakaan digital dapat selalu diperbarui oleh pustakawan dengan cepat
sehingga informasi yang disajikan selalu baru. Sumber informasi yang ditawarkan
oleh penerbit secara online juga dapat selalu diperbarui dalam waktu cepat.
Selain itu, format-format baru sumber informasi juga dapat diwadahi dalam
perpustakaan digital ini.
Perkembangan
perpustakaan digital dapat membantu proses manajemen sistem informasi
perpustakaan melalui fungsi otomasi, sehingga proses pengelolaan perpustakaan
lebih efektif dan efisien. Fungsi otomasi perpustakaan menitikberatkan pada
bagaimana mengontrol sistem administrasi layanan secara otomatis
terkomputerisasi. Pengembangan perpustakaan digital akan dapat menghemat biaya
yang besar pada akhirnya. Namun keberhasilannya tergantung pada kemampuan
perangkat-perangkat yang digunakan, infrastruktur peralatan teknologi informasi
dan sumber daya manusia yang mendukung. Pengguna perpustakaan digital pada
zaman sekarang di sebut pula dengan digital native. Marc Prensky pada tahun 2001 yang memperkenalkan
istilah “digital natives” dan “digital immigrants”. Menurutnya, “digital
natives” atau “pribumi digital” adalah orang yang lahir ke dunia yang sudah
sarat dengan teknologi digital dan sebab itu mereka sangat fasih menggunakan
teknologi tersebut. Sedangkan “digital immigrants” atau “pendatang
digital” adalah orang yang lahir ke dunia yang masih analog tetapi kemudian
tumbuh dalam lingkungan yang digital.[2]
Kebutuhan
informasi yang lebih beragam dan mutakhir yang dapat diakses secara cepat dan
akurat merupakan tuntutan masyarakat sebagai pengguna yang harus dipenuhi oleh
perpustakaan. jaringan kerja (networking), restrukturisasi (restructuring),
otomasi tingkat global, prioritas akses informasi daripada kepemilikan,
digitalisasi, akses pengguna terhadap sumber informasi secara on-line maupun
off-line, dan penyediaan layanan yang lebih berorientasi pada pengguna,
merupakan contoh-contoh yang mempengaruhi perpustakaan Hal-hal itu telah
mendorong adanya paradigma baru yang mengubah pola kegiatan perpustakaan.
Perpustakaan yang tidak tanggap terhadap perubahan paradigma tersebut lambat
laun akan ditinggalkan oleh pengguna-nya.
Evolusi era digital yang mempercepat perkembangan perpustakaan digital
telah mendorong perubahan yang signifikan dalam layanan perpustakaan yang
ditawarkan kepada pengguna. Perubahan itu sangat penting bagi perpustakaan
untuk menyadari pentingnya peningkatan kompetensi pustakawannya agar dapat
mengimbangi paradigma baru perpustakaan yang lebih berorientasi pada kebutuhan
pengguna.[3]
Bagi pengguna, perkembangan
perpustakaan digital memudahkan dalam pencarian sumber informasi yang
diinginkan dengan menggunakan katalog online yang dapat diakses melalui
internet, sehingga dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Katalog online
memungkinkan orang untuk menelusur informasi dari jarak jauh dan tidak harus
datang ke perpustakaan, sehingga bisa menghemat waktu pengguna. Dengan
perpustakaan digital, layanan tidak pernah tutup karena semua sumber informasi
dapat diakses setiap saat tanpa harus ditunggui oleh petugas perpustakaan.
Dalam pemanfaatan teknologi dan informasi tersebut tentunya diperlukan strategi
dan inovasi yang tepat dari para pustakawan dan pengelola perpustakaan untuk
meningkatkan mutu layanan perpustakaan yang berorientasi pada kebutuhan
informasi pengguna (user oriented). Munculnya berbagai isu pemanfaatan
teknologi dan informasi di perpustakaan, seperti digital library, institutional
repository, open access movement, electronic library, cyber library, dan
repackaging information, diharapkan dapat menjadi peluang bagi pustakawan untuk
meningkatkan layanan informasi digital dan mempromosikan berbagai sumber daya
digitalnya ke masyarakat.
B. METODE
PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka
yaitu mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan objek
penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan atau telaah yang
dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan
kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan perpustakaan yang relevan. studi
kepustakaan atau studi literatur, selain dari mencari sumber data sekunder yang
akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu
yang berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat
kesimpulan dan generalisasi yang pernah dibuat sehingga situasi yang diperlukan
diperoleh.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian
perpustakaan
Perpustakaan
merupakan suatu pusat informasi atau dapat dikatakan sebagai sumber pencarian
informasi bagi siapapun pengguna perpustakaan, bahkan zaman sekarang dengan
adanya perkembangan teknologi canggih dapat lebih mudah dan cepat dalam
pencarian informasi yang dibutuhkan, sehingga dapat dijadikan pusat dari segala
pusat informasi, terutama dibidang pengembangan pengetahuan/pendidikan.
Sebenarnya sudah sejak beberapa ratus bahkan ribuan tahun yang lalu manusia
membangun perpustakaan, berusaha untuk menghimpun berbagai informasi, namun
zaman dulu mungkin kemasannya hanya dalam bentuk tercetak saja seperti halnya
dalam bentuk buku-buku.
Seiring
dengan perkembangan zaman, apalagi zaman sekarang ini semakin canggih, sehingga
kemasan informasinya tidak saja dalam bentuk buku/tercetak melainkan dalam
bentuk non-cetak, dan dalam pencarian informasinyapun lebih mudah dan cepat.
Sekarang ini informasi yang terdapat di perpustakaan pada umumnya sudah lebih
lengkap, karena fasilitasnya pun lebih lengkap, baik dalam bentuk tercetak
maupun non-cetak. Informasi yang terhimpun, baik bentuk tercetak maupun
non-cetak yang kemudian mengolahnya dan menyebarkannya, karena untuk keperluan
studi, penelitian, bacaan umum, dan untuk keperluan lainnya, ini merupakan
tugas perpustakaan mencakup semua isinya. Untuk lebih lanjut mengenai pengertian
perpustakaan maka dapat dilihat dalam pengertian berikut, perpustakaan dapat
diartikan yakni perpustakaan merupakan suatu unit kerja yang substansinya
merupakan sumber informasi yang setiap saat dapat digunakan oleh pengguna jasa
perpustakaan[4].Definisi
diatas mengisyaratkan bahwa perpustakaan memiliki spesifiksi tersendiri
mengenai fungsi dan peranannya. Dapat dilihat dari pengertiannya yang perlu
digaris bawahi yaitu:
1. Perpustakaan
sebagai unit kerja
2. Perpustakaan
sebagai tempat pengumpul, penyimpan, dan pemelihara berbagai koleksi bahan
pustaka.
3. Bahan
pustakaan itu dikelola dan diatur secara sistematis dengan cara tertentu. Untuk
digunakan oleh para pemustaka/pengguna
4. Bahan
pustaka digunakan oleh pengguna secara kontinu.
5. Perpustakaan
sebagai sumber informasi.
Perpustakaan
juga dapat dikatakan tempat mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi
bagi para pengguna jasa perpustakaan. Selain itu, perpustakaan juga merupakan
sarana atau media untuk meningkatkan niali-nilai kognitif serta kemampuan
membaca guna mencerdasakan kehidupan bangsa sekaligus memberdayakan masyarakat
dalam melaksanakan pembangunan. Pada umumnya perpustakaan mempunyai koleksi
baik yang tercetak seperti buku, dokumen, majalah, surat kabar, maupun koleksi
terekam seperti rekaman suara (kaset), film, CD ROM, slide, video, dan
lain-lain.
Banyak
orang yang mengatakan bahwa perpustakaan adalah sumber dari segala sumber
informasi yang tersimpan dan terjaga dengan baik, sumber informasi tersebut
disimpan kedalam beberapa media diantaranya, koleksi tercetak yaitu buku,
koleksi diigital yang tersimpan dalam komputer maupun dalam CD, slide, dan
masih banyak lagi. Mengingat hal tersebut sebelumnya kita harus memahami dulu
mengenai informasi tersebut baik mengenai pengertian, fungsi, jenis-jenis informasi
dan lain sebagainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perpustakaan adalah
tempat menyimpan informasi yang disusun secara sistematis dalam penyimpannanya
serta menentukan metode yang telah ditentukan sebelumnya.
Membicarakan
mengenai ilmu informasi menurut beberapa pakar dapat di katakan bahwa
pengertian dari ilmu informasi tersebut antara lain : ilmu yang mengkaji
informasi dengan pengertian informasi mencangkup pengertian yang luas,
informasi menyangkut pengertian data karena terdapat berbagai disiplin ilmu
yang mengkasi informasi dalam arti luas maka antara berbagai ilmu yaitu
kemampuan dalam komunikasi dan ilmu perpustakaan dan Dokumentasi. Karena
perpustakaan mengolah informasi yang sudah ditebitkan, baik secara grafis
maupun elektronik maka ada ilmu lain yang juga mengkaji informasi sebagai objek
utama, merupakan kajian dan pemanfaatan dan transper informasi. Dengan demikian
ilmu perpustakaan atau ilmu komunikasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan
informasi.
2. Perkembangan
temu kembali informasi
Sistem
temu kembali informasi berasal dari kata Information Retrieval System (IRS).
Temu kembali informasi adalah sebuah media layanan bagi pengguna untuk
memperoleh informasi atau sumber informasi yang dibutuhkan oleh pengguna.
Sistem temu kembali informasi merupakan sistem informasi yang berfungsi untuk
menemukan informasi yang relevan dengan kebutuhan pemakai. Sistem temu kembali
informasi berfungsi sebagai perantara kebutuhan informasi pengguna dengan
sumber informasi yang tersedia. Pengertian yang sama mengenai sistem temu
kembali informasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan dan memasok
informasi bagi pemakai sebagai jawaban atas permintaan atau berdasarkan
kebutuhan pemakai. [5]Dapat
dinyatakan bahwa sistem temu kembali informasi memiliki fungsi dalam
menyediakan kebutuhan informasi sesuai dengan kebutuhan dan permintaan
penggunanya. jadi sistem temu kembali informasi adalah kegiatan yang bertujuan
untuk menyediakan dan memasok informasi bagi pemakai sebagai jawaban atas
permintaan atau berdasarkan kebutuhan pemakai dan berfungsi dalam menyediakan
kebutuhan informasi sesuai dengan kebutuhan dan permintaan penggunanya[6].Disini
akan di jelaskan perkembangan sistem temu kembali yaitu:
- Periode Peningkatan Kebutuhan (Increased
Demand) 1940 – 1950an.
Hans Peter Luhn
Periode
ini adalah saat terjadinya perang Dunia ke 2 dimana muncul keperluan untuk
laporan dan dokumen teknis dari penelitian yang menyangkut persenjataan.
Akibatnya pertumbuhan laporan meningkat pesat dan membuat laporan tersebut
sulit ditemukan apabila dibutuhkan. Padahal pada saat itu sudah menggunakan
skema klasifikasi dan subject heading (urutan abjad dan
hirarkis) namun cara lama tersebut dianggap tidak bisa mengatasi permasalahan
dan juga pengerjaannya dilakukan secara manual jadi tidak efisien. kejadian ini
membuat Vannevar Bush risau dan mengajak orang berpikir bagaimana membuat
sistem simpan dan temu kembali yang efisien. Beberapa tahun kemudian tepatnya
pada tahun 1948, Hans Peter Luhn menciptakan electronic searching selector dan
karena penemuannya itu, dia dianggap sebagai orang pertama yang membuat
aplikasi komputer untuk bidang temu kembali informasi. Lalu perkembangan
selanjutnya pada tahun 1951, Alberto F. Tompson dan Mortimer Taube
memperkenalkan coordinated indexes yang berbasis uniterm (keyword)
dan mengaplikasikan logika boolean yang diterapkan pada bidang komputer.
2.
Periode Pertumbuhan Pesat (Rapid Growth) antara 1950an – 1980an.
Calvin Mooers
Periode
ini adalah masa dimana temu kembali informasi berkembang dengan pesat. Masa ini
diawali oleh Hans Peter Luhn pada tahun 1957 sampai 1959 dengan menemukan mesin
yang dapat menemukan informasi berdasarkan kecocokan kata (keyword matching),
mengurutkan informasi secara sistematis (sorting) serta dapat melakukan
analisis isi (content analysis). Pada tahun yang sama yaitu 1959, Calvin
Mooers membuat istilah temu kembali informasi (information retrieval)
dan membuat pengelompokan informasi yang dikenal dengan law for
information retrieval system. Tujuan awalnya adalah untuk memungkinkan
pencarian (searching) secara cepat pada sejumlah data yang banyak.
Selanjutnya, Maron dan Kuhn di tahun 1961 membahas lebih jauh tentang relevansi
antar dokumen dalam permasalahan pengurutan (sorting) dan pemberian
peringkat dalam pengelolaan dukumen. pada tahun sekitar 60an sampai 70an juga
telah muncul penelitian awal tentang temu kembali informasi berbasis teks untuk
corpora abstrak ilmiah serta dokumen hukum dan bisnis dan juga
pengembangan model temu kembali dengan teknik Boolean dasar dan ruang vektor.
Pada
perkembangan selanjutnya pada tahun 1971, Gerard Salton Membuat sistem yang
dinamakan SMART. Ia juga melakukan pendekatan awal dan melakukan pengelompokan
(clustering) terotomasi. Salton juga memperkenalkan pembuatan indeks
untuk dokumen, telah banyak peneliti yang berkontribusi di bidang temu kembali
informasi ini dengan menerapkan berbagai metode statistik. Pada tahun 1973
untuk pertama kalinya diselenggarakan konferensi international untuk penelitian
dan pengembangan di bidang temu kembali informasi. Pada tahun-tahun berikutnya,
penelitian tentang teknologi temu kembali informasi di web mulai dilakukan.
Setelah itu muncul mesin pencari untuk melakukan pencarian lokasi dokumen
berisi informasi yang relevan dengan informasi yang dicari. Lalu muncul juga
pada tahun 80an teknologi penyediaan informasi melalui jaringan terpasang (online
database) yang dapat menyimpan dokumen dalam skala besar, misalnya DIALOG,
LexisNexis dan MEDLINE.
3.
Periode Penghapusan Mitos (Demystified Phase) antara 1980an – 1990an
CD ROM
Saat
komputer pribadi (PC) dan keping penyimpan data (CD-ROM) semakin lama kapasitas
penyimpanannya semakin besar. Ketika sistem online sudah
semakinberkembang, para pengguna sebenarnya tidak bisa memakainya secara
langsung. Jadi, perlu ada para perantara (intermediaries) yang
menggunakannya, antara lain karena sistem itu mahal dan sulit digunakan oleh
orang awam. Maka lalu ada istilah end-users (orang yang tidak
melakukan pencarian, tetapi minta bantuan pustakawan untuk melakukan
pencarian). Keadaan baru berubah setelah PC dan CD-ROM ditemukan. Berbagai
sistem informasi dibuat menjadi semakin mudah digunakan (user friendly),
sehingga mitos tentang betapa sulitnya melakukan pencarian secara terpasang (online
search) pun perlahan sirna. Setiap orang lalu dapat melakukan
pencarian tanpa harus meminta bantuan kepada pustakawan.
4. Periode Jaringan (The Networked
Era) tahun 1990an – sekarang
Text Retrieval Conference
ketika
teknologi telematika memungkinkan para pencari informasi ‘mengunjungi’ berbagai
pusat penyimpanan data dan informasi yang berbeda-beda untuk melakukan
pencarian secara bersamaan, atau dikenal juga dengan istilah pencarian
berpencar (distributed searching). Perkembangan Internet pun akhirnya
melahirkan fenomena pencarian tanpa bantuan siapa pun terhadap berbagai sumber
informasi digital yang nyaris tak terhingga jumlahnya. Pada perjalanan sejarah
selanjutnya kemajuan dalam penelitian banyak dilaporkan pada berbagai
konferensi, misalnya pada konferensi TREC (Text Retrieval Conference) pada
tahun 1992 yang membahas tentang standarisasi pengujian untuk mengevaluasi
teknik temu kembali informasi.
3. Digital
Native
Secara simultan
perubahan juga terjadi pada faktor demografi (sosiokultural), periode
kelahiran/usia penduduk mempunyai karakteristik dan perilaku yang berbeda-beda.
Periode tertentu dikelompokkan sebagai golongan penduduk atau lazim disebut
generasi dengan nama sesuai periodenya.[7]
Generasi yang lahir pada periode terakhir diidentifikasi dengan sebutan digital
native (ada pendapat yang menyebutnya Google generation), istilah yang
dipopulerkan pertama kali oleh Marc Prensky awal tahun 2001. Digital native
adalah kelompok generasi yang lahir pada era digital, sementara generasi yang
lahir pada era sebelumnya namun akrab dengan teknologi digital disebut digital
immigrant Dengan meminjam klasifikasi
generasinya gambaran yang lebih jelas sebagaimana tabel berikut:
Klasifikasi Generasi
|
Veterans
|
Baby Boomers
|
Generation X (GenXers)
|
Generation
Y
(Millenials/Nexters)
|
Digital Natives Generation
|
||||||
D i
|
g
|
i
|
t
|
a l I m m i
|
g
|
r
|
a n t
|
||||
Tahun
Lahir
|
1922-1943
|
1943-1960
|
1961-1980
|
1980
- 2000
|
2001 – 20…
|
||||||
dan
Usia
|
Usia
69-90
|
Usia
52-69
|
Usia
32-51
|
Usia
12 – 32
|
(11 - …)
|
||||||
Karakteristik
|
Tertarik pd. ke- amanan dan ke- mapanan, hormat pd
kekuasaan.
Taat pd aturan, tugas sebelum bersenang2
|
Orientasi mengabdi dan masa depan
|
Pilihan
pd smart tech, fleksibel, dapat
mengatasi masa lah, adaptable,
bergantung pd diri sendiri
|
Hidup terencana, optimis, percaya diri, smart street
|
Narsis, Terbuka (identitas € social media),
Control & bebas, Proses belajar (ingin
tahu & coba-coba)
(perilaku anak-anak, pikiran dewasa)
|
||||||
Karier
|
Pensiun
|
Penurunan karier (menjelang
pensiun)
|
Puncak karier
|
Pendidikan menengah – awal karier
|
Pendidikan dasar
– Perguruan tinggi
|
perkembangan dan penyebaran
teknologi informasi dan komunikasi, serta definisi tentang digital native, maka rentang usia yang dapat dikelompokkan sebagai digital native generations adalah 0
sampai 22 tahun atau generasi yang dilahirkan tahun 1990-an sampai sekarang.
Sedangkan generasi yang lahir sampai dengan sebelum akhir 1980-an sebagai digital immigrant.
Pada era digital, generasi yang akan
dilahirkan telah akrab dengan perangkat digital sejak mereka masih dalam
kandungan. Proses “digitalisasi” generasi
ini diawali dari calon orang tua yang sudah melek teknologi digital mewariskan
‘gen’ digital ke generasi penerusnya melalui perilaku mereka. Perilaku tersebut
diantaranya: janin dikenalkan dengan musik ketika masih dalam kandungan, calon
bayi dibuatkan blog atau situs jejaring sosial. Sehingga ketika bayi lahir ke
dunia dalam waktu yang tidak begitu lama akan akrab dengan dunia digital.
Berbagai macam peralatan digital seperti komputer, videogame, digital music
player, kamera video, telepon seluler serta berbagai macam boneka dan
perangkat yang khas era digital menjadi ‘mainan’ wajib bagi mereka. Bagi digital native generations, penggunaan internet apakah melalui PC,
laptop atau telepon seluler bukan menjadi hal yang mewah dengan kata lain
generasi ini sangat akrab dengan internet.
Perkembangan TI memicu percepatan
pertumbuhan generasi dalam dunia digital dengan perbandingannya 1 : 7, artinya
satu tahun di dunia nyata sama dengan tujuh tahun di dunia digital. Dampak dari hal ini generasi
sekarang menjadi cepat dewasa, ‘galau’ dengan dunianya dan makin renggang dalam hubungan
keluarga. Pelarian dari keadaan ini mereka banyak
melakukan aktivitas yang berkaitan dan atau menggunakan
gadget. Hal ini didukung oleh banyaknya remaja yang memiliki berbagai jenis
gadget, sebagaimana ditunjukkan hasil riset Frontier Consulting Group berikut:
handphone 98,4%, laptop 57,6%, kamera digital 34,3% dan pc 30,1%. Berdasarkan
hasil riset yang sama aktivitas yang dilakukan DNG: menggunakan internet 94,2%,
membaca buku pengetahuan 87,1%, main game 67,9%, baca majalah, 46,8% dan baca
komik 34,1
Berdasarkan usia seperti disebutkan
sebelumnya, sebagian dari digital native
generation saat ini telah memasuki jenjang pendidikan tinggi. Merujuk pada
survai global yang dilakukan oleh OCLC (Online Computer Library Center)
ciri khas mahasiswa dari generasi digital native adalah:
1.
89%
mahasiswa (digital native generation) perguruan
tinggi menggunakan mesin pencari sebagai langkah awal penelusuran informasi
(hanya 2% menelusur melalui web perpustakaan)
2.
93%
puas atau sangat puas ketika mereka menggunakan mesin pencari (84% puas
terhadap penelusuran dengan bantuan pustakawan)
3.
mesin
pencari lebih cocok dengan gaya hidup mahasiswa (digital native generation) dari pada perpustakaan konvensional atau
online
4.
mahasiswa
(digital native generation) masih
menggunakan perpustakaan, tetapi semakin berkurang sejak mereka melakukan penelusuran
melalui internet
5.
perpustakaan
tetap diasosiasikan dengan buku oleh digital
native generation, meskipun perpustakaan telah melakukan investasi besar
untuk menambah sumber-sumber digital.
4. Pustakawan di era digitalisasi.
Karena layanan informasi berbasis
teknologi telah banyak diimplementasikan oleh perpustakaan, maka pustakawan
mempunyai peran baru. Perubahan itu sedang berlangsung, khususnya bagi
perpustakaan yang telah mengimplementasikan perpustakaan digital. Kemajuan
tehnologi telah mendorong para pustakawan harus meningkatkan kemampuannya dalam
bidang teknologi agar mereka dapat memenuhi tuntutan pengguna dan peran
pustakawan akan semakin komplek.[8]Kegiatan
perpustakaan seperti seleksi, pengadaan buku dan jurnal yang secara tradisional
masih harus tetap dilakukan oleh para pustakawan yang bekerja di bagian
pengadaan, Namun tugas tersebut sekarang harus bertambah dengan menyeleksi
koleksi digital yang tersedia atau sumber – sumber yang tersedia secara
elektronik baik yang gratis maupun yang harus berlanganan. Apabila kita
mengadakan koleksi secara elektronik, misalnya jurnal elektronik, maka para
pustakawan bagian seleksi harus memilih jurnal mana yang cocok dan sesuai
dengan kebutuhan pengguna.
Pustakawan bagian pemrosesan bahan
pustaka juga harus mampu merubah peran mereka dari yang semula hanya memproses
buku, sekarang mereka harus belajar tentang bagaimana cara memproses koleksi
CD-ROM, koleksi Audivisual dsb.Kebutuhan pengguna tentang katalog tidak cukup
hanya disediakan melalui OPAC saja, mereka berharap lebih dari apa yang
biasanya dikerjakan oleh pustakawan[9].
Mereka berharap tidak hanya melihat bibliografi data saja, mereka ingin dapat
melihat sebuah informasi berupa abtrak bahkan sampai ke “full-text” nya.Para
pustakawan yang bekerja di bagian pelayanan seperti pelayanan referensi,
internet dsb. Juga menghadapi tuntutan dari pengguna untuk menyesuaikannya.
Mereka masih tetap harus melakukan pekerjaan rutin seperti biasa, tetapi juga
harus mampu memenuhi permintaan pengguna melalui internet. Para pengguna sering
memerlukan pelayanan khusus, permintaan informasi melalui e-mail, telepon dsb.
Semua ini memerlukan keahlian khusus untuk memenuhinya.Secara singkat dapat
dikatakan bahwa perpustakaan sedang dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa
tuntutan pengguna akan informasi sudah luar biasa termasuk informasi secara
elektronik.
Namun perpustakaan masih banyak mengalami kendala seperti
terbatasnya dana, lambatnya perubahan sistem birokrasi dsb. Untuk itu jalan
terbaik untuk mengatasi persoalan itu adalah dengan cara : pertama memanfaatkan
dan mengembangkan pustakawan yang ada secara optimal untuk mengikuti
perkembangan teknologi informasi; kedua penambahan staf baru dengan cara
seleksi yang ketat dan kriteria punya izajah perpustakaan dan juga mempunyai
pengetahuan teknologi informasi; ketiga mendorong para pimpinan perpustakaan
untuk “melek” teknologi informasi dan juga mau menerapkannya di perpustakaan
serta adanya perubahan manajemen.
5. Perpustakaan di era digital
Berdasarkan
UU No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan menyebutkan bahwa perpustakaan adalah
institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam
secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan,
penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Dari definisi
di atas dapat dipahami bahwa perpustakaan merupakan salah satu lembaga penyedia
informasi yang diperuntukan untuk para penggunanya, baik untuk keperluan
pendidikan, penelitian, maupun yang lainnya.
Perkembangan perpustakaan di era ini
sangat cepat, sesuai dengan cirinya “Library is the growing organism”
(perpustakaan merupakan organisasi yang berkembang). Perkembangan ini tentunya
tidak bisa lepas kaitanya dengan teknologi informasi. Munculnya teknologi
Informasi di dunia perpustakaan menjadi langkah awal menuju reformasi dunia
perpustakaan sendiri. Perpustakaan yang dulunya serba manual (segala kebutuhan
pemustaka dilayani oleh pustakawan), di mana katalogisasi sebagai tulang pokok
kualitas pelayanan perpustakaan. Kini
perpustakaan harus berganti arah yaitu pelayanan yang berbasis teknologi
informasi[10].
Seiring dengan perkembangan
teknologi informasi yang semakin canggih, perpustakaan dituntut untuk lebih
aktif, dinamis, cepat, tepat dan akurat dalam segala hal baik dalam pelayanan
maupun penelusuran sumber informasi. Hal ini dilakukan untuk menghadapi net
generasi yang menuntut pelayanan yang serba cepat dan lebih aktif. Selain itu,
penyesuaian ini dilakukan untuk mempertahankan eksistensi perpustakaan di
tengah maraknya lembaga lain yang bidangnya menyerupai perpustakaan.dalam
layanan informasi perpustakaan, semula pengguna hanya dapat menemukan informasi
yang ada di perpustakaan tersebut secara manual, kemudian berkembang dengan
memanfaatkan komputer dan intranet dapat ditelusur melalui OPAC, dan berkembang
lagi dapat diakses melalui internet atau yang sekarang dikenal dengan istilah
Library 1.0.
Dengan cara ini pemakai sudah banyak
yang terpuaskan karena dapat dengan cepat menemukan informasi yang mereka
butuhkan.Kemudian muncul yang namanya library 2.0 yang sebenarnya berawal dari
web 2.0. Web 2.0 sendiri pada dasarnya merupakan istilah pemasaran yang
diperkenalkan oleh penggiat internet (komersial dan nonkomersial) untuk menandai
tren dan pola penyebaran informasi yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Inti dari library 2.0 adalah perubahan orientasi kepada pemakai. Yaitu suatu
model yang menganjurkan perubahan yang beralasan dan terus menerus, dengan
mengundang partisipasi pemakai dalam mengkreasikan layanan, baik secara fisik
maupun maya sesuai dengan keinginan mereka, yang didukung oleh evaluasi layanan
secara konsisten. Layanan tersebut juga berusaha untuk mendapatkan pengguna
baru dan layanan yang lebih baik dan terbaru melalui penawaran pengembangan
kepada pemakai. Setiap komponen berusaha sendiri untuk meningkatkan layanan
yang lebih baik kepada pengguna.
Sejalan dengan perkembangan
teknologi dan hadirnya jaringan internet di Indonesia, perpustakaan menghadapi
tantangan yang semakin berat. Seakan internet menjadi pesaing dunia
perpustakaan. Melalui internet kita bisa mengakses informasi dalam bentuk teks,
gambar, audio maupun video, yang bisa diakses di manapun kita berada. Bahkan
akhir-akhir ini banyak ebook yang secara gratis bisa di akses melalui internet.
Kebanyakan orang bahkan lebih suka memanfaatkan internet dari rumah dari pada
harus datang ke perpustakaan. Melihat
kondisi ini, perpustakaan harus mulai berbenah, agar tetap eksis. Konsep
library 2.0 kini sudah mulai ditinggalkan. Kini munculah istilah baru yang
dinamakan library 3.0. Konsep ini memang belum terlalu dikenal di Indonesia,
namun sudah banyak diterapkan di dunia internasional. konsep library 3.0
merupakan tranformasi lanjutan setelah konsep library 2.0. Dengan tranformasi
web yang akan berciri semantik serta ontologi maka web juga berkembang menjadi
Web.3.0. Melalui web Semantic ini, berbagai perangkat lunak akan mampu mencari,
membagi, dan mengintegrasi informasi dengan cara yang lebih mudah. Layanan opac
di konsep one stop service.
Virtual Reference Service untuk melayani
pengguna yang jauh dari perpustakaan. GeoTagging ini membantu pengguna untuk
menemukan informasi spesifik yang terletak di lokasi tertentu. Ontologies
adalah teknik untuk memberikan hubungan semantik kaya antara istilah dan
pikiran pengetahuan. Ubiquitous contents, konsep ini mengarah pada berbagai
bentuk informasi dapat diakses dimana saja tanpa terbatas waktu dan dapat
mengggunakan perangkat apa saja. Menurut
Ida dalam Keswara (2013), konsep perpustakaan 3.0 ini merupakan interaksi
antara user dan perpustakaan secara online, termasuk dalam berjejaring dan
terkoneksi antarperpustakaan sehingga semua informasi dapat diakses tanpa harus
menunggu pustakawan dan perpustakaan sebagai pusat informasi juga wajib
berkembang seiring perkembangan teknologi informasi (TI).
6. Tantangan
Dan Strategi Yang Dihadapi Perpustakaan
Perkembangan teknologi informasi
berpengaruh pada perilaku pengguna perpustakaan. Seiring dengan perubahan
perilaku pengguna, perpustakaan sebisa mungkin harus bisa mengikuti arus dari
pengguna, agar perpustakaan tidak ditinggalkan nantinya. Perpustakaan dikatakan
berhasil, mana kala perpustakaan itu mampu memenuhi kebutuhan para penggunanya.
Pengguna potensial perpustakaan, terutama perpustakaan perguruan tinggi adalah
NetGen/generasi Z, yang dalam layanan selalu menuntut kecepatan, ketepatan, dan
wujudnya kebanyakan digital. Melihat kondisi seperti ini, perpustakaan harus
tanggap baik untuk peningkatan layanan, maupun fasilitas yang dibutuhkan
pengguna.Perkembangan komputer semakin canggih, bahkan akhir-akhir ini muncul
yang namanya ipad, tablet, handpone pintar, dan sejenisnya. Teknologi ini
semakin memudahkan seseorang dalam mengakses informasi.
Perpustakaan sebagai salah satu
penyedia informasi setidaknya harus mampu mengimbangi teknologi seperti ini,
agar kiprahnya tidak semakin tergeser. Penggunaan teknologi informasi di
perpustakaan merupakan salah satu alternatif bagi pihak perpustakaan. Informasi
yang disediakan perpustakaan harus mudah diakses, baik dari perpustakaan
sendiri maupun dari manapun kita berada. Perpustakaan, terutama di Indonesia
sebaiknya mulai mengarah ke library 3.0, sebuah konsep yang sudah berjalan di
luar negeri. Dalam konsep ini terdapat web semantic, yang melalui web ini
berbagai perangkat lunak akan mampu mencari, membagi, dan mengintegrasi
informasi dengan cara yang lebih mudah. Hal ini di samping untuk memberikan
pelayanan terhadap NetGen, juga sebagai bentuk perwujudan pemanfaatan teknologi
di perpustakaan[11].
Peningkatan layanan perpustakaan,
sudah menjadi kewajiban dari setiap perpustakaan. Untuk menghadapi NetGen
selain menerapkan konsep library 3.0, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan
perpustakaan, yaitu:
1. Optimasi sistem automasi perpustakaan
dan pengembangan perpustakaan digital.
2. Mulai memperhatikan pengadaan sumber
elektronik atau koleksi digital
3. Peningkatan pengetahuan,
keterampilan hard skills dan soft skills pustakawan Peningkatan fasilitas bagi
generasi digital seperti, colokan listrik, wifi/hotspot, kecepatan data
internet, perabotan yang informal dan santai, fasilitas audio video.
4. Dalam mendesain penataan ruangan
hendaknya memberikan ruang lebih bagi pemustaka agar dapat saling berinteraksi
dan kolaborasi.
Strategi pelayanan perpustakaan juga
harus dikembangkan, karena NetGen menuntut pelayanan yang cepat dan mudah,
biasanya mereka menyukai sesuatu yang bisa diakses secara online. Beberapa
strategi pelayanan yang bisa diterapkan, antara lain:
1. Net generation merupakan pengguna
yang cerdas dan mandiri dalam menggunakan teknologi informasi. Layanan perpustakaan harus mempertimbangkan
hal ini.
2. Menyediakan layanan perpustakaan
yang dapat diakses melalui mobile phone, misalnya pertanyaan sederhana tentang
jam layanan perpustakaan, memesan project room, dll.
3. Layanan informasi dan referensi
melalui chatting, bukan email saja. Net
generation merupakan pengguna yang multitasking, jadi mereka dapat bertanya dan
menunggu jawaban dari pustakawan sambil mengerjakan aktifitas yang lain.
4. Mengembangkan program literasi
informasi melalui tutorial, latihan, dan panduan yang mudah dipahami oleh
pengguna dengan permainan yang interaktif dan menarik. Net generation merupakan
pengguna yang cerdas dan terampil dalam menggunakan teknologi informasi. Namun mereka tetap membutuhkan arahan dari
pendidik (dalam hal ini dosen dan pustakawan) agar tidak tenggelam dalam
hal-hal yang bersifat non-edukatif, tetapi juga dapat memanfaatkan teknologi
informasi untuk keperluan akademisnya, dengan memanfaatkan sumber informasi
yang berkualitas dapat dipertanggungjawabkan dan memanfaatkannya secara etis.
Dalam
meningkatkan layanan perpustakaan, tentu tidak dapat lepas dengan peran
pustakawan. Dalam hal pustakawan juga harus meningkatkan kinerjanya, agar mampu
memberikan layanan yang maksimal. Dengan penerapan konsep library 3.0
Pustakawan dituntut harus proaktif terhadap penggunaan alat dan teknologi
terbaru untuk menciptakan sistem perpustakaan virtual. Menurut Shapiro dan
Hughes dalam Pendit (2007), ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki
pustakawan dalam era digitalisasi yaitu:
a. Tool literacy, yaitu kemampuan
memahami dan menggunakan alat teknologi informasi, baik secara konseptual
maupun praktikal, keteranpilan pmenggunakan perangkat lunak, perangkat keras,
multimedia, dsbnya.
b. Resource literacy, yaitu kemampuan
memahami bentuk, format, lokasi, dan cara mendapatkan informasi terutama dari
jaringan informasi yang selalu berkembang.
c. Social-structural literacy, pemahaman yang
benar bagaimana informasi dihasilkan oleh berbagai pihak dalam masyarakat.
d. Reserach literacy, kemampuan
menggunakan peralatan berbasis teknologi informasi sebagai alat riset
e. Publishing literacy, kemampuan
menerbitkan informasi dan ide ilmiah pada kalagan luas dengan memanfaatkan
komputer dan internet
f. Emerging technology literacy,
kemampuan terus menerus menyesuikan diri dengan perkembangan teknologi dan
bersama komunitasnya menentukan arah pemanfaatan teknologi informasi untuk
kepentingan pengembangan ilmu.
g. Critical literacy, kemamuan mengevaluasi
sercara kritis terhadap untung ruginya menggunakan teknologi telematikan dalam
kegiatan ilmiah.
Dengan kolaborasi yang bagus antara
perpustakaan, pustakawan, sistem serta konsep sebuah perpustakaan, diharapkan
perpustakaan akan lebih disegani oleh masyarakat pengguna sehingga perpustakaan
nantinya diharapkan benar-benar menjadi pusat informasi dari segala penjuru.
D. Kesimpulan.
Terkait dengan perkembangan
teknologi informasi, berkembang pula pola perilaku masyarakat. Masyarakat di
era ini lebih memandang informasi sebagai kebutuhan. Informasi tersebar
dimana-mana baik melalui media internet, buku, televisi, maupun radio.
Pengaksesan informasi sekarang ini lebih mudah, dengan bantuan hand phone
pintar, ipad, tablet, maupu komputer kita sudah bisa mengakses informasi.Dunia
perpustakaan saat ini cenderung interaktif, dengan pemustaka yang sebagian
besar adalah kaum digital native.
Untuk menghadapi masalah kesenjangan
terkait dengan pelayanan perpustakaan, pustakawan sebaiknya mempersiapkan dan
memperkuat kompetesi dasar dan kompetensi tingkat tinggi mereka.Sebaiknya pendidikan
perpustakaan mengajarkan cara menjual pelayanan perpustakaan dan gagasan baru
untuk para pemangku kepentingan. Ketrampilan evaluasi praktis dapat juga diajarkan,
ini tidak selalu mudah untuk menyebutkan mana yang dapat dilaksanakan dan mana
yang tidak.Teknologi itu datang dan pergi Perubahan tidak bisa dihindari, tapi
pustakaan dapat mengatasinya, dan dapat belajar dengan mudah, dapat mengikuti
perubahan yang terjadi pada profesi yang mereka tekuni, dapat merencanakan dan
mengevaluasi pelayanan yang mereka berikan, dan mampu menjaga gagasan pelayanan
mereka, tentu akan memenuhi tantangan pemustaka yang sedang berubah ini dan
pustakawan harus mau belajar tanpa henti untuk tidak ketinggalan dalam
teknologi informasi. Era digital harus menjadi patokan agar perpustakaan dapat
memberikan pelayanan yang baik kepada pemustaka dalam pemenuhan informasi, hal
ini membuat peran perpustakaan menjadi sangat penting dalam meningkatkan
pelayanan, perpustakaan harus mampu memenuhi kebutuhan pemustaka, perpustakaan
dituntut dapat bergerak cepat untuk memenuhi kebutuhan pengguna agar pengguna
mau menggunakan layanan perpustakaan.
Daftar Pustaka
Van Rijsbergen,C.J .and Agosti
,M.,The contex of Information , Computer
Journal,35 (2),1992,193.
Prensky, Marc (I). “Digital natives,
digital immigrants”. On the Horizon 9(5). , October 2001. ,22
Dato ’Zawiyah bt Baba. (2003). “Competencies development pragramme for
library professionals: case study of the National Library of Malaysia (NLM)”.
Paper presented at The CONSAL XII, 19-23 Obtober, 2003, Brunei Darussalam.
Basuki, Sulistyo., 1991. Pengertian Ilmu Perpustakaan, Gramedia.
Jakarta 9
Swe, Thinn Mya Mya, “Intelligent Information Retrieval within
Digital Library using DomainOntology”, Proceedings of the International
Conference on Applied Computer Science, Myanmar: University of Computer
Studies, t.
Rahman, Arif, “Sistem Temu-Balik Citra Menggunakan Jarak HistogramDalam Model Warna
YIQ”, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi, ISSN: 1907-5022,
Yogyakarta: SNATI, 2009.
Prasetiawan, Imam Budi. 2011.Keberaksaraan Informasi (Information
Literacy) bagi SDM Pengelola Perpustakaan di Era Keterbukaan Informasi.
Jakarta: Pelatihan Penmgelola Perpustakaan di lingkungan Kementrian
Perindustrian.
Sismalib. 2013. “Tantangan
dan Strategi Perpustakaan Dalam Penyediaan Layanan Bagi Generasi Digital”
di unduh dari http://sismalib. com
[1] Van Rijsbergen,C.J .and Agosti
,M.,The contex of Information , Computer
Journal,35 (2),1992,193.
[2] Prensky, Marc (I). “Digital
natives, digital immigrants”. On the Horizon 9(5). , October
2001. ,22
[3] Dato ’Zawiyah bt Baba. (2003). “Competencies development pragramme for
library professionals: case study of the National Library of Malaysia (NLM)”.
Paper presented at The CONSAL XII, 19-23 Obtober, 2003, Brunei Darussalam.
[4] Basuki,
Sulistyo., 1991. Pengertian Ilmu
Perpustakaan, Gramedia. Jakarta 9
[5]
Swe, Thinn Mya Mya, “Intelligent Information Retrieval within
Digital Library using DomainOntology”, Proceedings of the International
Conference on Applied Computer Science, Myanmar: University of Computer
Studies, t.
[6]
Rahman, Arif, “Sistem Temu-Balik Citra Menggunakan Jarak
HistogramDalam Model Warna YIQ”, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi
Informasi, ISSN: 1907-5022, Yogyakarta: SNATI, 2009.
[7] Djunaedi, Achmad.2013. Memahami Perbedaan Karakteristik Antar
Generasi. MIP: Bahan kuliah Isu-Isu Kontemporer.
[8] Keswara, Ratih. 2013. “Perpustakaan 3.0 solusi kurangnya
pustakawan”.44
[9]
Prasetiawan, Imam Budi.
2011.Keberaksaraan Informasi (Information
Literacy) bagi SDM Pengelola Perpustakaan di Era Keterbukaan Informasi.
Jakarta: Pelatihan Penmgelola Perpustakaan di lingkungan Kementrian
Perindustrian.
[10] Priyatma, Johanes Eka. 2014. Perpustakaan 3.0 Perpustakaan Masa Depan dan
Masa Depan Perpustakaan. Yogyakarta: Seminar Tantangan Perpustakaan di Era
Digital (Digital Natives go to the Libraries: a Challenge) Universitas Sanata
Dharma.
[11] Sismalib. 2013. “Tantangan dan Strategi Perpustakaan Dalam
Penyediaan Layanan Bagi Generasi Digital” di unduh dari
http://sismalib. com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar