PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Agama dan demokrasi
adalah dua hal yang sangat berbeda secara pengertiannya maupun refleksinya
terhadap penganutnya tapi disini kita akan melihat hubungan keterikatan agama
dan demokrasi dan factor pembeda yang mempengaruhi hubungan agama dan
demokrasi. Secara pengertian, dasarnya demokrasi adalah ciptaan manusia yang
pada harafiahnya berusaha ingin membuat tatanan hidup manusia itu lebih
teratur. Namun disisi lain, manusia pada hakikatnya memiliki agama yang menjadi
dasar dan tujuan hidup agar terarah dan berpedoman pada kebaikan sesuai dengan
hukum Tuhan.Hubungan antara agama dan demokrasi, sebagai sebuah kondisi ideal,
demokrasi tentu dicita-citakan oleh banyak kalangan.
Tetapi upaya menuju
demokrasi yang ideal merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Proses menuju
demokrasi inilah yang disebut sebagai demokratisasi. Demokratisasi biasanya
diawali dengan adanya liberalisasi (meluasnya kebebasan). Dalam tahap ini media
massa agak diberi kelonggaran sehingga tidak menghadapi ancaman pembredelan,
masyarakat cukup leluasa melakukan partisipasi sosial melalui organisasi dan
wahana lain, serta mulai berkembang penghargaan terhadap keragaman
(pluralisme).
Di Timur Tengah, Islam[1]
sendiri menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. konsep aktivisme agama
sebagai dasar untuk memahami bagaimana Islam menjadi dasar sebuah gerakan
sosial. Aktivisme adalah praktik atau perilaku yang tidak biasa, dilakukan
secara kolektif atau individu, secara institusional atau formal, untuk menyebabkan
perubahan sosial. Terminologi tersebut menggambarkan fenomena yang selaras
dengan perilaku aktif yang berlandaskan dasar-dasar agama. Islam, dalam hal ini
menjadi aktivisme Islam, menggambarkan bagaimana perilaku tidak biasa
diciptakan oleh kelompok Muslim di era modern. Politik bisa menjadi salah satu
aspek yang disasar. Terlepas dari Islam sebagai ideologi, secara umum terdapat
dua interpretasi yang berusaha diciptakan untuk memahami pergerakan politik
agama di era modern. Kelompok tradisional menggambarkan Islam sebagai gerakan
reaktif atas nilai-nilai modern yang lekat dengan budaya Barat, umumnya anti
terhadap demokrasi. Kelompok ini hirau mengenai pentingnya revivalisme agama.
Bagaimana agama diupayakan untuk berjaya layaknya pencapaian di era sebelumnya
dan pengidentifikasian diri melalui gambaran di masa lalu mengenai kelahiran
agama yang bersifat "quasi-religious",serta bagaimana kita melihat
agama dan demokrasi melalui teori sosiologi menurut Max weber
1.2 Rumusan Masalah
Dari judul dan penjelasan
di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu bagaimana melihat dunia arab dalam menerapkan demokrasi dalam
kehidupan agama dan kehiduapan sosial budaya Arab itu sendiri serta melihat
permasalahan ini melalui teori sosiologi
agama menurut max weber
1.3 Metodologi
Hukum
Islam tentang agama dan demokrasi dapat kita lihat, yaitu:
- Al i’tibar al qodha’ (memberikan suatu hukum yang didasarkan pada bukti-bukti nyata)
Disini
dapat saya jelaskan agama dan demokrasi dalam Islam. Demokrasi merupakan sistem
yang bertentangan dengan Islam, karena sistem ini meletakkan rakyat sebagai
sumber hukum atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota parlimen). Maka
dengan demikian, landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah Ta’ala, tapi
kepada rakyat dan para wakilnya.
- Al i’tibar ad diyaty (memberikan suatu hukum yang didasarkan pada tujuan)
Islam
adalah agama yang sangat terbuka dan akomodatif terhadap segala perkembangan
kebudayaan manusia dengan konsep-konsep yang dikembangkannya. Demokrasi, bagi
Islam, bukanlah sesuatu yang asing karena di dalamnya terkandung konsep
kesetaraan diantara seluruh manusia. Tiada suatu bukti yang jelas dan
transparan yang dapat dijadikan indikator bahwa konsep demokrasi menyalahi dan
bertentangan dengan syura. Masalahnya sekarang adalah bagaimana umat Islam
mengisi demokrasi itu sejalan denga syariat Islam. Wallahu A’lam.
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian agama serta bagaimana
sejarah dan pengertian demokrasi.
- Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata “agama” berasal
dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti “tradisi”. Kata lain untuk menyatakan
konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar
pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan
bereligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.Agama sebagai pedoman
kehidupan yang mengatur hubungan kita manusia terhadap Tuhan Sang Pencipta
serta mempedomani agama tersebut melalui manusia pilihan Tuhan yaitu nabi
sebagai utusan dan pembawa pesan dari Tuhan kepada manusia yang disebut wahyu.
Didalam wahyu berisi tentang perintah dan aturan kehidupan Tuhan terhadap
manusia.
- Sejarah dan Pengertian Demokrasi
Demokrasi berasal dari
bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan Cratos/Kratien/Kratia yang artinya
kekuasaan pemerintahan. Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran Yunani
tentang hubungan Negara dengan hukum, yang dipraktikkan antara abad 6 SM sampai
abad 4 M. Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi
langsung, yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara
langsung oleh seluruh warganegara berdasarkan prosedur mayoritas.
Disini saya juga akan
menjelaskan macam-macam sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam pelaksanaannya ada berbagai macam perbedaan antar satu Negara dengan
Negara yang lainnya yang disesuaikan dengan kebudayaan dan kehidupan sosial di
masyar[2]akatnya.
Namun, semua konsep menggunakan istilah demokrasi yang menurut asal katanya
berarti rakyat berkuasa atau “government
or rule by the people”, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang:
- Atas dasar penyaluran kehendak rakyat.
Dalam
hal ini dapat dibedakan atas demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung.
- Atas dasar prinsip ideologi.
Berdasarkan
pemahaman ini, ada dua prinsip demokrasi berdasarkan ideologi yaitu demokrasi
konstitusional dan demokrasi liberal dan demokrasi rakyat disebut juga
demokrasi Proletar yang berhaluan Marxisme dan Komunisme.
2.2 Sosiologi
Agama, Menurut Max Weber Dan Relevansinya
Istilah
”Sosiologi” dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri
disiplin ilmu ini. Secara sederhana ”sosiologi” berarti studi mengenai
masyarakat dipandang dari satu segi tertentu. Baik Comte maupun Herbert Spencer
(1820-1903), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisa sosiologis,
sedang beraneka ragam kelembagaan dan interrelasi antar lembaga itu merupakan
sub unit dari analisa. Karena itu pusat perhatian sosiologi adalah tingkah laku
manusia; namun tidak terkonsentrasi pada tingkah laku individual tetapi juga
secara kolektifnya—namun lebih banyak segi kolektifnya dan relasinya dengan
masyarakat. Dengan demikian sosiologi merupakan studi mengenai tingkah laku
masyarakat dalam konteks sosial. Menurut
Weber, dalam memahami sosio budaya maka diperlukan metode khusus dalam rangka
memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian
semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang melibatkan dirinya dengan
suatu penafsiran dan tindakan manusia secara sensitif. Buku Weber yang terkenal
berjudul The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1904), [3]mengawali karirnya sebagai
sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. Dalam buku ini Weber membahas masalah
hubungan antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya
etika dalam kegiatan ekonomi, di kalangan masyarakat Barat sejak abad ke-16
hingga sekarang. Weber sampai pada kesimpulan bahwa kebangkitan kapitalisme
didukung oleh sikap yang ditentukan oleh Protestanisme asetik. Jadi bukan
(kekuatan) ekonomi yang menentukan agama, tetapi agamalah yang menentukan arah
perkembangan ekonomi.
Weber
menyatakan bahwa para pemimpin reformasi protestan tidak bermaksud menegakkan
pondasi semangat untuk suatu masyarakat kapitalis dan seringkali mengecam
kecenderungan kapitalis di jaman mereka. Namun, revolusi industri dan
pertumbuhan bisnis berskala besar jauh lebih cepat berkembang di daerah
Protestan daripada di daerah Katolik, dan daerah-daerah yang berbau Protestan
jauh lebih giat dalam pengembangan bisnis.
Lebih
lanjut Weber mengatakan bahwa bekerja adalah nilai intrinsik, bukan sekedar
konsekuensi dari tuntutan hukum atas diri Adam. Saya kira perlu disepakati juga
bahwa Calvinisme kata Weber bukan ajaran Katholik atau Lutheran, menekankan
kebebasan untuk memilih panggilan, bukan kewajiban untuk menerima ketetapan
yang diberikan kepada manusia ketika dilahirkan. Kedua aspek dari doktrin
panggilan ini, yakni kesungguhan dalam bekerja dan hak serta tugas individu
untuk memilih bidang kegiatannya, jelas akan membantu perkembangan ekonomi bila
keduanya tidak hanya diajarkan, tetapi dipraktekkan secara aktual. Weber
berkeyakinan bahwa kedua aspek tersebut secara merata dipraktekkan di mana saja
doktrin Calvinisme tentang takdir (predestination) dipegangi secara
sungguh-sungguh. Yang menarik dari uraian Weber adalah ketika membicarakan
agama dari sudut fungsi.
Weber menyebut fungsi manifes dan laten agama.
Fungsi agama adalah memperkuat hukum/aturan moral masyarakat baik secara
langsung maupun tidak. Definisi fungsional sering menimbulkan kesalahfahaman
antara fungsi manifes dan fungsi laten. Robert Merton mengatakan fungsi manifes
adalah fungsi yang diakui dan diharapkan untuk mencapai tujuan. Sedangkan
fungsi laten adalah akibat yang tidak diharapkan. Salah satu fungsi manifes
gereja adalah mempersatukan komunitas dalam semangat persaudaraan; sedangkan
fungsi latennya adalah membagi komunitas berdasarkan ras dan kelas. Walaupun
mengkhotbahkan ”di hadapan Allah semua orang adalah sama”, namun gereja
memamerkan perbedaan kekayaan yang nampak pada para anggota yang berpakaian
bagus dan yang sangat sederhana pada hari Minggu.
Bahkan
ketika berbicara aspek kelas, ras dan etnis dalam agama, menurut Weber
institusi agama dari sebuah masyarakat tercipta dan didominasi oleh golongan
penguasa dalam masyarakat tersebut dan fungsi agama memeberi dorongan moral
serta jalan keluar secara psikologi dengan tetap mempertahankan struktur kelas.
Bahkan meminjam bahasa Karl Max agama adalah ”candu” bagi orang-orang yang
tertindas dan teraniaya dalam mempertahnkan hidupnya. Sedangkan Durkheim
memandang agama sebagai potensi yang menciptakan pergerakan dan dapat mengubah
tatanan sosial. Dengan adanya perbedaan sudut pandang ini tidak mengherankan
jika sebagian pekerjaan empiris dalam sosiologi agama berkaitan antara masalah
hubungan agama dengan kelas sosial.
Dalam
konteks agama Kristen Weber memperkenalkan istilah ”asketisisme dunia bathin”
untuk mengimbangi para aktivis puritan dengan pendeta Katholik. Pendeta yang
semakin dekat dengan dunia maka semakin kecil pula pengaruhnya; sedangkan bila
aktivis Puritan semakin dekat maka dia akan semakin besar pengaruhnya. Tentang
”rasional” kata Weber tidak sama dengan ”berdasarkan empirik” atau ”ilmiah”,
sebab efektifitas sarana untuk mendapatkan keselamatan tidak dapat dinilai
dengan bukti empirik. Dalam konteks magi (sihir) dan mistisisme sebagai hal-hal
yang irrasional, meskipun dari sudut pandang pelakunya efektif untuk mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkan oleh pelaku tersebut.
Persoalan
Nabi juga dibahas oleh Weber, para nabi (tokoh agama) kata Weber, menyaingi
para pendeta sebagai ”pengemban sistematisasi dan rasionalisasi etika
keagamaan”. Nabi itu sama dengan pendeta dalam tugas rasionalisasi yang
dilakukannya, tetapi sama dengan ahli sihir dalam hal dia terpanggil untuk
terlibat dalam tugasnya berdasarkan sifat-sifat karismatik pribadi. ”Pendeta
menyatakan memiliki otoritas karena kebaikan pelayanannya dalam tradisisi yang
suci, sedangkan para nabi didasarkan atas wahyu pribadi (yang diterima dari
Tuhan) dan karismanya.
Agama
jika dipandang dari sudut sosiologis tidak ditimba dari ”pewahyuan” yang datang
dari ”dunia luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret
sekitar agama yang dikumpulkan dari masa lampau maupun kejadian sekarang.
Artinya definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sehingga
dari sudut fungsionalnya agama dapat didefinisikan sebagai suatu institusi yang
lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, di
lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Dengan demikian agama dilihat
dari sudut daya guna dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Agama
sebagai sistem budaya, merupakan konsep antropologis yang diungkapkan oleh
Clifford Geertz. Dalam pandangan antropologi, pengalaman agama dianggap sebagai
suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup yang bervariasi, sesuai latar
belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianut. Dalam
tulisannya yang lain Abdullah Ali mengatakan Weber menggambarkan agama sebagai
fenomena yang rumit dan kompleks, yang dapat memenuhi beberapa fungsi sekaligus.
Ia menggambarkan dimensi-dimensi agama berdasarkan pendapat Glock dan stark
- Dimensi kepercayaan atau keyakinan beragama disebut juga sebagai dimensi ideologi,
- Dimensi ritual berkaitan dengan praktek pelaksanaan agama,
- Dimensi pengalaman keagamaan,
- Dimensi pengetahuan dan
- Dimensi konsekuensi beragama.
Nurchalish
Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, sedangkan
budaya—meskipun berdasarkan agama, dapat berubah. Oleh karena itu agama adalah
primer dan budaya adalah sekunder. Dalam Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya
Harun Nasution mengutip hasil penelitian Abd al-Wahab Khallaf, yang mengatakan
bahwa ayat-ayat al-Quran yang mengatur hidup kemasyarakatan berjumlah 5,8 %
dari seluruh ayat al-Quran[4].
2.3 Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam
dan hubungan serta yang bertentangan.
Prinsip-prinsip
demokrasi dalam Islam dan hubungannya meliputi:
- Syura.
Merupakan
suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit
ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali
Imran:159.
- al-‘adalah
adalah
keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai
ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat
an-Nahl:90; QS. As-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58, dan seterusnya.
- al-Musawah
adalah
kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain
sehingga dapat memaksakan kehendaknya.
- al-Amanah
adalah
sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada yang lain
ditegaskan Allah SWT dalam Surat An-Nisa’:58.
- al-Masuliyyah
adalah
tanggungjawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
- al-Hurriyah
adalah
kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan
kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya.[5]
Hubungan yang
bertentangan antara demokrasi dan Islam adalah dalam demokrasi kedaulatan
berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi (penetapan hukum)
berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti
DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan di
tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap
haram walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.Hal-hal yang menjadi
pertentangan utama demokrasi dan Islam adalah:
- Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk masuk agama tertentu. Namun demikian, Islam mengharamkan seorang Muslim untuk meninggalkan aqidah Islam.
- Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum Muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda:“…dan kami (hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan Allah.” (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit)
- Berkaitan dengnan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum, seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll. juga melarang cara mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba, judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.
- Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas, sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islam pun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka sama suka. Begitu juga perzinaan asalkan dilakukan orang dewasa yang suka sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan.
Sebagian kalangan
menyatakan bahwa demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni sama
dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa.
Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi
penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara dan
standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.Demokrasi memutuskan segala
sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah
demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut:
- Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat, dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:
إِ نِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya,
dan Dia adalah penolongku.” (HR Bukhari)
- Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas.
- Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas.
2.4
Mengapa demokrasi sulit diterima di dunia Arab.
Disini saya akan
menjelaskan tentang sulitnya demokrasi diterima di dunia Islam khususnya di
dunia Arab serta contoh konflik yang terjadi atas penerimaan demokrasi itu di
Negara Islam. Dari penjelasan di atas, saya berkesimpulan demokrasi yang lahir
dan berkembang adalah produk Barat yang kurang sesuai dengan budaya dan sosial
ekonomi dunia Islam khususnya di dunia Arab, terjadinya konflik di dunia Arab
atas penerimaan demokrasi itu sendiri menjadikan konflik semakin luas dan lama.
Dapat saya contohkan seperti terjadinya Arab Spring atau peristiwa musim semi
di dunia Arab dimana rakyak menghendaki sistem demokrasi tetapi hal tersebut
ditentang oleh penguasa yang mereka pikir itu adalah sebuah pemberontakan
rakyat.
Bila dicermati secara
seksama, berbagai macam persoalan yang melanda dunia Arab dalam beberapa tahun
terakhir sesungguhnya bermuara pada satu persoalan utama, yaitu perpecahan
(al-insyiqaq). Perpecahan ini setidaknya terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu:
- Pertama, perpecahan pada tingkat satu Negara.
Perpecahan
pada tingkat ini bisa dilihat dari bermacam gerakan protes rakyat atas. Pada
awalnya, gerakan rakyat ini membangkitkan optimism terkait demokratisasi yang
kerap dikebiri oleh para penguasa di kawasan ini.
Bahkan,
bangsa Arab memberi nama gerakan ini dengan istilah musim semi Arab (ar-rabiar-
rabi al- al-arabi), sejalan dengan optimism yang ada. Pada umumnya, musim semi
sangat ditunggu-tunggu oleh bangsa Arab mengingat cuaca pada musim ini sangat
nyaman; tidak terlalu dingin, tapi juga terlalu panas seperti biasanya. Namun,
secara perlahan optimism yang ada terus terkikis hingga berbalik menjadi
pesimisme yang bercampur baru dengan ketakutan, kecemasan, ketidakpastian,
bahkan anarkisme. Hal ini terjadi karena gerakan rakyat yang awalnya
dipuja-puja itu perlahan menjadi sebuah gaya baru masyarakat Arab yang tak
jarang dimanfaatkan oleh kelompok politik untuk mencapai ambisi politiknya.
- Kedua, perpecahan antar Negara.
Pada
beberapa bagian perpecahan pada tingkat ini disebut sebagai akibat dari
perpecahan pada tingkat pertama. Dengan kata lain, gerakan rakyat Arab dalam
menentang pemerintahan yang ada menyebabkan terjadinya krisis politik antara
satu Negara Arab dengan Negara Araba lain. Tentu perpecahan seperti ini tidak
terlepas dari benturan kepentingan antara satu Negara dengan Negara yang lain.
Rezim
Bashar al-Assad, contohnya, sempat mengkritik keras pemerintahan Mesir yang
saat itu dipimpin oleh Muhammad Mursi. Sebaliknya, Mesir di bawah kepimpinan
Ikhwan Muslimin saat itu sangat keras mengkritik rezim Bashar al-Assad, apalagi
kelompik Ikhwan Muslimin di Suriah menjadi bagian dalam perang melawan
pemerintahan Assad.
- Ketiga, perpecahan Liga Arab sebagai organisasi yang menaungi Negara-negara Arab.
Pada
beberapa bagian, perpecahan pada tingkat ini bisa disebut sebagai akibat
lanjutan dari perpecahan-perpecahan yang terjadi di bawahnya, yaitu perpecahan
pada level satu Negara dan perpecahan pada level antar Negara Arab. Peran dan
posisi Negara-negara Arab Teluk (GCC) dapat dijadikan sebagai salah satu bukti
dari perpecahan yang terjadi di tingkat Liga Arab
2.5
Demokrasi di Negara Arab
Dalam kondisi seperti
sekarang, demokratisasi di Negara-negara Arab menjadi sebuah tanda tanya besar.
Apa yang salah dari demokrasi di dunia Arab? Bisakah dunia Arab berdemokrasi?
Semangat yang terpendam di balik pertanyaan-pertanyaan di atas tentu melampau
kajian normative tentang demokrasi, khususnya ditinjau dari perspektif agama
(Islam); apakah keduanya bisa bertemu dan saling melengkapi atau tidak? Karena
bila hanya sebatas gagasan dan normative, Negara-negara Arab selama ini sangat
kaya dengan pemikiran dan gagasan demokrasi.Tetapi, ketika hendak diterapkan,
demokrasi di Negara-negara Arab acap berlangsung secara berdarah-darah seperti
sekarang.
Alih-alih berhasil, rezim
otoriter dan dictator yang sempat dihempaskan oleh upaya demokratisasi justru
acap kembali lagi.Inilah istilah fenomena transisi ekstrem demokrasi di dunia
Arab dengan dua pelaku utamanya, yaitu rezim nasionalis-otoriter dan kelompok
militantislamis. Dalam fenomena transisi ekstrem yang terjadi, seakan dunia
Arab hanya dihadapkan pada dua kemungkinan, dikuasai oleh rezim
nasionalis-otoriter atau kelompok militant-Islamis.Sedangkan aspirasi rakyat
yang menjadi substansi utama demokrasi acap berserakan di tengah gerakan rakyat
atau terpenjara di ruang tahanan kelompok oposisi. Apa yang terjadi di Mesir
dalam dua tahun terakhir dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari
fenomena transisi ekstrem demokrasi di atas.
2.6 Pandangan dan respon agama itu
sendiri terhadap sistem demokrasi.
Dalam demokrasi kebebasan
sangat dijunjung tinggi. Bahkan ketika kaum liberal memegang sistem ini,
kebebasan pun lebih sangat bisa dilakukan tanpa memandang adanya agama. Adanya
agama dalam demokrasi mampu mengontrol kebebasan itu karena ada batasan-batasan
yang Tuhan beritahu kepada manusia dalam menjalankan kehidupan. Maka dari itu,
sangat diperlukan kaum konservatif untuk menandingi kaum liberal di konstelasi
politik ini. Karena pada dasarnya kaum konservatif dalam studinya berangkat
dari individu atau kelompok yang memperjuangkan agama melalui sistem demokrasi.
Namun perjuangan yang didasari dari agama sangat sulit mendapatkan dukungan
penuh dari mayoritas rakyat di Negara-negara Eropa dan Amerika, karena dalam
doktrinnya, tidak ada relasi antara agama dan Negara. Berbeda halnya dengan
Negara-ngegara Timur yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim. Gerakan agama
Islam yang masuk ke dalam sistem Negara beranggapan bahwa agama dan Negara memiliki
relasi. Mengapa kebebasan dalam bernegara dapat terkontrol dengan adanya agama.
Dan sekarang yang perlu kita prediksi kedepan adalah kebebasan yang berlebihan akan
berdampak buruk bagi sebuah entitas Negara. Hukum agama saja dapat ditolak,
apalagi hukum buatan manusia. Akan ada kekacauan dan permintaan kebebasan yang
terus menerus datang ke pemerintahan. Ini tandanya agama sangat diperlukan
untuk mengontrol atau membuat sistem. Agama Islam memiliki relasi dengan Negara
dan tentunya tidak menolak masuk ke dalam sistem demokrasi. Karena itu, semua
adalah bagian dari penyelamatan Negara.
Bayangkan jika kaum
konservatif Islam tidak memperjuangkan agama melalui demokrasi, mungkin semua
Negara akan menjadi bebas tanpa adanya control. Dan Negara-negara Timur yang
menganut sistem demokrasi sangat bersyukur bahwa masa depan Negara dan bangsa
mereka akan cerah, karena relasi antara agama dan demokrasi bisa
dipertemukan.Pengalaman-pengalaman umat Islam yang berbeda dalam memahami dan
mengkompromikan Islam dan demokrasi ini menjadi sesuatu yang unik. Ini artinya
bahwa pemikiran tentang demokrasi bukanlah sesuatu yang monolitik apalagi hanya
sekedar mencangkokkan demokrasi Barat. Paling tidak, ada tiga kecenderungan:
- Kelompok apologetik yang menegaskan bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip kebebasan itu inheren dalam Islam. Tidak ada alasan untuk melakukan penolakan terhadap demokrasi menegaskan pentingnya egalitarianism, kesamaan derajat kemanusiaan, menolak diskriminasi dan menjunjung tinggi hak-hak manusia.
- Kelompok rejeksionis yang menolak demokrasi karena demokrasi berasal dari Barat, bukan dari Islam. Bahkan demokrasi bertentangan dengan Islam karena demokrasi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sementara Islam menegeaskan kedaulatan Tuhan/Allah. Sudah dipastikan demokrasi akan meminggirkan agama/Islam.
- Kelompok rekonstruksionis yang berusaha untuk membaca secara kritis dan mendialogkan prinsip-prinsip Islam dengan demokrasi dalam rangka menemukan dan membangun paradigm baru demokrasi yang jauh lebih progresif. Harus ada upaya secara terus menerus untuk menyegarkan pemahaman terhadap Islam dan demokrasi. Jika tidak, maka Islam akan mengalami stagnasi atau jumud dan demokrasi akan menjadi berhala baru karena sudah terlanjur diabsolutkan. Kekuatan demokrasi justru terletak kepada kesediaan dan keterbukaannya terhadap kritik internal sekaligus melakukan perbaikan-perbaikan maksimal demi kemaslahatan dan keadilan bersama.
3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan demokrasi
tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan agama prinsip
dan konsep demokrasi yang sejalan dengan Islam adalah keikutsertaan rakyat
dalam mengontrol, mengangkat dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan
sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika
suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada
sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu,
maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam,
yaitu diantaranya:
1. Demokrasi
tersebut harus berada dibawah payung agama.
2. Rakyat
diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Pengambilan
keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara
mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama
dalam musyawarah. Contohnya, kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas
yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga
ketika Umar tidak mau membagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil
pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup
mengambil pajaknya.
5. Musyawarah
atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi, bukan pada persoalan yang
sudah ditetapkan secara jelas oleh Al-Qu’ran dan sunah.
6. Produk
hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum
dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Terdapat beberapa prinsip
dan respon dari agama terhadap demokrasi. Agama dan demokrasi adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Karena tanpa adanya agama, sebuah sistem Negara
seperti demokrasi akan kehilangan eksistensinya karena membiarkan kebebasan
demi kebebasan menghancurkan sistem tersebut secara perlahan. Masuknya
perjuangan yang didasari karena tuntutan agama melalui demokrasi adalah bentuk
dari penyelamatan Negara.
3.2 Saran
Akhirnya agar sistem atau
konsep demokrasi yang beragama di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan
adalah:
1. Seluruh
warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang agama
sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
2. Parlimen
atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi oleh orang-orang beragama yang
memahami dan mengamalkan agama secara baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Fathurrahman
Jamil, Filsafat Hukum Islam, Logos,
Jakarta, 1999
Yusuf al-Qardhawi, Negara Dalam Islam, terj. Oleh Syafri
Halim dari Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Robbani Press, Jakarta, 1997
Sadeq jawad
Sulaiman, Demokrasi dan Syura. dalam
Charles Kurzman, Islam Liberal, ten. Oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi,
Paramadina, Jakarta, 2001 John Dunn , Democracy the Unfinished Journey, Oxford
Press, New York
M. Imam Aziz, Agama, Demokrasi dan Keadilan, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993..
Nurcholish Madjid,
Islam: Agama Kemanusiaan, Yayasan
Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995
[1] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta,
1999
[2]
Anton dkk, (1998), kbbi, Jakarta:
Balai Pustaka, hal. 34
[3] Yusuf al-Qardhawi, Negara Dalam Islam, terj. Oleh Syafri
Halim dari Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Robbani Press, Jakarta, 1997
[4] Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan, Yayasan Wakaf
Paramadina, Jakarta, 1995
[5] Sadeq jawad Sulaiman, Demokrasi dan Syura. dalam Charles
Kurzman, Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar