ANALISIS PERAN
PERPUSTAKAAN UMUM SEBAGAI RUANG PUBLIK DARI PERSPEKTIF TEORI SOSIAL PUBLIC SPHERE JURGEN HABERMAS
SEPTEVAN NANDA
YUDISMAN
NIM: 17200010067
ABSTRAK
Perpustakaan umum memainkan peranan penting yang unik didalam masyarakat
industri netral, perpustakaan menyediakan sekaligus informasi dan perbedaan
pandangan di suatu tempat dimana warga masyarakat dapat mengetahuinya tanpa
paksaan tentang berbagai isu mutakhir yang menjadi perhatian mereka. Peran yang
sangat berharga dan penyediaan berbagai gagasan segar ini barangkali adalah
merupakan suatu pelayanan terhebat kepada warga masyarakat yang diberikan oleh
perpustakaan yang tidak dapat dipenuhi jenis institusi lain. melalui perpustakaan
warga masyarakat dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan memperoleh
berbagai informasi yang sesuai dengan dengan kebutuhan profesinya dan bidang
tugas masing-masing, yang pada akhirnya bermuara pada tumbuhnya warga
masyarakat yang terinformasi dengan baik, berkualitas dan demokratis. ruang publik tidak terlepas dari gagasan yang diusung oleh seorang filsuf
ternama di jerman yaitu Jurgen Habermas. Gagasan tentang Ruang publik merupakan sebuah gagasan yang dipopulerkannya
melalui buku yang berjudul Struktur wandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen
zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft. Edisi bahasa Inggris buku
ini, The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a
Category of Bourgeois Society, diterbitkan pada 1989.Jurgen habermas memaparkan
bagaimana sejarah dan sosiologi ruang publik
melalui bukunya tersebut dan buku civil society. Jurgen Habermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan media untuk
mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di
Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi tentang buku baru
yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. ruang publik
yang kemukakan oleh jurgen habermas bahwa ruang publik merupakan media untuk
mengomunikasikan informasi dan juga pandangan ini relevan dengan peran
perpustakaan sebagai media komunikasi antara pengarang melalui buku atau hasil
tulisannya dengan pembaca yang bertujuan mendapatkan informasi atau juga atau
juga antara pembaca dengan pembaca dalam mendiskusikan tentang sebuah buku yang
terbitkan. Dengan kata lain perpustakaan merupakan salah satu media komunikasi
sebagaimana yang diungkapkan Habermas mengenai Ruang publik.
Kata Kuci : Perpustakaan Umum,Jurgen Habermas,Ruang
Puplik
A.
PENDAHULUAN
Sejak
zaman raja Ashurbanipal, perpustakaan dinyatakan terbuka untuk semua kawula
kerajaan. Pada zaman yunani, penguasa Athena bernama Peisistratus (sekitar
tahun 600-528 SM) serta kaisar Agustus (63 SM-14) dari kerajaan Romawi membuka
perpustakaan yang terbuka untuk umum. Malahan seorang ilmuan roma bernama
Plinius[1] menyatakan menjadikan
bakat manusia dan kekuatan mental sebagai milik umum. Kedua kekuatan itu
dituangkan dalam bentuk buku yang disimpan diperpustakaan.
Pada
zaman modern prinsip bahwa perpustakaan terbuka untuk umum baru berkembang
dengan mulai dibukanya perpustakaan umum. Ini baru terjadi sekitar abad ke-19.
Karena prinsip terbuka bagi umum ini, UNESCO mengeluarkan manifesto
perpustakaan umum pada tahun 1973 yang menyatakan bahwa perpustakaan harus
terbuka bagi semua anggota masyarakat dengan tidak memandang perbedaan usia,
kelamin, pekerjaan, keyakinan, warna kulit maupun agama.
Membincangkan
tentang ruang publik tidak terlepas dari gagasan yang diusung oleh seorang
filsuf ternama di jerman yaitu Jurgen Habermas. Gagasan tentang Ruang
publik merupakan sebuah gagasan yang
dipopulerkannya melalui buku yang berjudul Struktur wandel der
Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft.
Edisi bahasa Inggris buku ini, The Structural Transformation of the Public
Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, diterbitkan pada
1989.
Jurgen
habermas memaparkan bagaimana sejarah dan sosiologi ruang publik melalui bukunya tersebut dan buku civil society. Menurutnya, ruang publik
di Inggris dan Prancis sudah tercipta sejak abad ke 18. Pada zaman tersebut di
Inggris orang biasa berkumpul untuk berdiskusi secara tidak formal di
warung-warung kopi (coffee houses). Mereka di sana biasa mendiskusikan
persoalan-persoalan karya seni dan tradisi baca tulis. Dan sering pula terjadi
diskusi-diskusi ini melebar ke perdebatan ekonomi dan politik. Sementara di
Prancis, contoh yang diberikan Jurgen Habermas, perdebatan-perdebatan semacam
ini biasa terjadi di salon-salon. Warga-warga Prancis biasa mendiskusikan
buku-buku, karya-karya seni baik berupa lukisan atau music di sana.
Selanjutnya
Jurgen Habermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan media untuk
mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di
Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi tentang buku baru
yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat
bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang
disebut dengan masyarakat madani. Secara sederhana masyarakat madani bisa
dipahami sebagai masyarakat yang berbagi minat, tujuan, dan nilai tanpa
paksaan, yang dalam teori dipertentangkan dengan konsep negara yang bersifat
memaksa. Dalam perkembangannya Ruang publik dimana proses komuikasi menyangkut
ruang yang bersifat fisik seperti
lapangan, warung-warung kopi dan salon
dan juga yang bersifat non fisik seperti media massa.
Menurut
hemat penulis Dari defenisi ruang publik yang kemukakan oleh jurgen habermas
bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga
pandangan ini relevan dengan peran perpustakaan sebagai media komunikasi antara
pengarang melalui buku atau hasil tulisannya dengan pembaca yang bertujuan
mendapatkan informasi atau juga atau juga antara pembaca dengan pembaca dalam
mendiskusikan tentang sebuah buku yang terbitkan. Dengan kata lain perpustakaan
merupakan salah satu media komunikasi sebagaimana yang diungkapkan Habermas
mengenai Ruang publik.
Dalam
pedoman Umum Penyelenggaraan perpustakaan umum tahun[2] dijelaskan bahwa
perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan dipemukiman penduduk
(kota atau desa) diperuntukkan bagi semua lapisan dan golongan masyarakat
penduduk pemukiman tersebut untuk melayani kebutuhannya akan informasi dan
bahan bacaan.
Selanjutnya
pengertian perpustakaan umum menurut Badan standardisasi Nasional perpustakaan
umum adalah perpustakaan yang kegiatannya diselenggarkan oleh pemerintah daerah
kabupaten atau kotamadya yang mempunyai tugas pokok melaksanakan pengembangan
perpustakaan diwilayah kabupaten atau kotamadya serta melaksanakan layanan
perpustakaan kepada masyarakat umum yang tidak membedakan usia, ras, agama,
status sosial ekonomi dan gender.
Perpustakaan
umum yang didukung beberapa peraturan pemerintah dan UNESCO merupakan salah
satu sarana penunjang pembelajaran seumur hidup bagi masyarakat, sekaligus
melayani dan menyediakan akses informasi dan pengetahuan yang mudah dan cepat
bagi masyarakat luas disamping menjadi agen kebudayaan.[3] Ini membuktikan persamaan
konsep perpustakan dengan konsep ruang publik sebagaimana di ungkapkan
diatas disebutkan bahwa perpustakaan
merupakan wadah perjuangan melawan kebodohan dan ketertinggalan pengetahuan.
Perpustakaan umum merupakan wadah pendidikan informal sepanjang hidup untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Sedangkan menurut IFLA, khususnya yang
mencakup perpustakaan kelurahan dan pemukiman/satelit, adalah perputakaan yang
didirikan oleh badan pemerintah pusat maupun daerah atau oleh organisasi lain
dan terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya tanpa diskriminasi.[4] Dari pernyataan ini
relevan dengan konsep aksesibilitas dan kesamarataan.di perpustakaan informasi
terbuka untuk umumtanpa membedakan status sosial, jenis kelamin dan pendidikan.
Masyarakat mendapatkan hak yang sama dalam pemanfaatannya.
UNESCO
Public Library Manifesto (1994) menyebutkan bahwa[5] perpustakaan umum
merupakan pusat informasi lokal yang bertujuan agar semua jenis pengetahuan dan
informasi mudah diakses dan digunakan oleh masyarakat umum. Tujuan utama
pendiriannya adalah menciptakan kebiasaan dan kegemaran membaca pada anak-anak
sedini mungkin, menunjang kegiatan belajar masyarakat baik formal maupun
informal, memberikan kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas, bertindak
selaku agen kultural atau sebagai pusat utama kehidupan budaya bagi masyarakat
sekitarnya, mendukung pemberantasan buta huruf untuk semua umur.
Sedangkan
sutarno[6] mengungkapkan bahwa
perpustakaan umum ditengah masyarakat adalah otak/pikiran masyarakat, yaitu
sebagai lembaga pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan, membantu masyarakat
menjadi individu yang seimbang, terintegrasi, berguna dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu perpustakaan jenis ini biasanya juga disebut Universitas Rakyat
atau Universitas Masyarakat.
Secara
umum tujuan didirikannya perpustakaan umum adalah memberikan kesempatan bagi
umum untuk memanfaatkan bahan pustaka atau sumber informasi yang dimiliki
perpustakaan, untuk meningkatkan pengetahuan yang berguna dalam memperbaiki kehidupan
masyarakat. dalam panduan Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (1992:6)dinyatakan
bahwa tujuan perpustakaan umum di rinci ke dalam 3 (tiga) jenis yaitu tujuan
umum, tujuan fungsional, tujuan operasional. Didalam ketiga tujuan tersebut
salah satu poin penting yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat untuk
memecahkan masalah, bertanggun jawab dan berpartisipasi aktif dalam
pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan umum merupakan ruangan yang
demokratis sabagai wadah masyarakat ikut berperan dalam pembangunan nasional..
Penulis
tertarik untuk mengkaji permasalahan perpustakaan umum dari persepetif ilmu
sosial ini dengan alasan ilmu informasi dan perpustakaan bukan merupakan ilmu
yang berdiri sendiri. Seperti yang di kemukankan oleh umi rodliyah[7] ilmu informasi dan
perpustakaan merupakan kajian interdisipliner terhadap informasi yang sangat
berdekatan dan saling berhubungan dengan berbagai disiplin ilmu diantaranyanya
psikologi, komunikasi, sosiologi, statistik, linguistic, sibernetika, ilmu organisasi,
komputer, ekonomi politik dan kebijakan publik.
Pendapat
tersebut diangkat karena adanya kedekatan dan kesamaan konsep diantara ruang
publik yang digambarkan habermas dan perpustakaan yang dikemukankan oleh
sumaryanto dalam tesisnya yaitu:[8]
a. Keduanya
mengandaikan fungsi sebagai wadah perjuaangan. Ruang publik sebagai wadah
perjuangan melawan himpitan kekuasaan, sedangkan perpustakaan sebagai wadah
perjuangan melawan kebodohan dan
ketertinggalan pengetahuan.
b. Keduanya
memiliki unsur khas: aksesibilitas, kesamarataan, independensi, diskursus.
c. Keduanya
mengalami transformasi. Dalam ruang publik borjuis menjadi distorsi,
refeodalisasi, pembusukan sedangkan dalam dunia perpustakaan terjadi
komersialisasi (distorsi dari fungsinya semula), pembusukan terhadap perannya
yang ideal.
Menurut
sumaryanto ketiga hal tersebut diatas memungkinkan perpustakaan umum dikaji
dengan menggunakan perspektif ruang publik.
Ruang
publik dan kepublikan perpustakaan dapat dikenali dari ciri-cirinya sebagai
berikut:[9]
a. Ruang
publik merupakan wilayah sosial yang bebas dari adanya sensor dan dominasi.
Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki ruang tersebut. Mereka
sebetulnya adalah pribadi-pribadi. Bukan orang dengan kepentingan bisnis dan
professional. Bukan pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk
suatu publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan,
melainkan soal-soal kepentingan umum, yang dibicarakan tanpa paksaan. Dalam
situasi ini individu-individu berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki
jaminan untuk berkumpul dan berserikat dan menyatakan serta menyampaikan di
depan umum pendapat-pendapat yang mereka miliki secara bebas dan tanpa tekanan.
b.
Ruang publik berfungi sebagai tempat yang
independen dari pemerintah (meskipun pendanaannya berasal dari pemerintah ) dan
yang otonom dari partisan kekuatan ekonomi tertentu, didedikasikan pada pada
debat rasional (yang tidak diarahkan demi kepentingan tertentu, disamarkan atau
dimanipulasi) dan terbuka bagi siapa saja serta terbuka untuk diinspeksi
masyarakat. dalam ranah publik inilah opini dibentuk.
c. Ruang
publik merupakan ruang penciptaan opini non pemerintah (sphere of non governmental opinion-making) sebuah ruang abstrak
maupun ruang fisik yang menjadi ajang pembentukan pendapat anggota-anggota
masyarakat diluar kendali pemerintah. Konsep ruang publik ini menganggap bahwa
pemerintah bukan satu-satunya pihak yang dapat memonopoli kebenaran atau pengambilan
keputusan. Secara idealnya, sebuah masyarakat memiliki hak dan kemampuan untuk
berdebat, bersepakat, dan berkeputusan tentang hal-hal penting yang menyangkut
diri mereka. Pemerintah lalu tinggal melaksanakan saja keputusan masyarakat
tersebut. Konsepsi perpustakaan semestinya sejalan dengan konsepsi ruang
publik.
d. Perpustakaan
Umum semestinya merupakan bentuk ideal dari ruang publik karena dalam suatu
perpustakaan umum terdapat ruang fisik perpustakaan yang terbuka untuk umum,
mrenjadi tempat bagi semua orang untuk membaca berdiskusi dan mengambil
keputusan tentang berbagai hal.
e. Ruang
publik merupakan jembatan yang menghubungkan antara kepentingan pribadi dari
individu-individu dalam kehidupan keluarga dengan tuntutan serta kepentingan
kehidupan sosial dan publik yang muncul dalam konteks kekuasaan Negara. Ruang
publik terdiri dari organ-organ penyedia informasi dan perdebatan politisi
seperti surat kabar dan jurnal.
f. Informasi
merupakan bagian paling utama dari ruang publik. Dalam ruang publik orang
secara eksplisit menjelaskan posisinya melalui argumentasi dan pandangan mereka
diumumkan ke publik secara luas sehingga publik dapat memiliki akses penuh.
Perlu dicatat disiniperan media komunikasi dan institusi informasi seperti
perpustakaan dan lembaga statistik.[10]
g. Ruang
publik yang ideal adalah seperti ketika kita membayangkan para anggota dewan
yang terbuka dan jujur sedang berdebat tentang kasus-kasus dimasyarakat di
ruang siding didukung dengan informasi memadai yang disiapkan antaralain oleh
pustakawan yang berdedikasi dan tidak berpihak kepada salah satu partisan,
semuanya transparan bagi masyaarakat karna dukunganpublikasi yang
bertanggungjawab dan infrastruktur pers
yang disiapkan guna melaporkan secara tekun dan seksama apa yang sedang
terjadi.
Dari latar
belakang diatas maka peneliti tertarik untuk mengkaji peran perpustakaan umun
sebagai ruang publik dan menelaah kepublikannya dari perspektif Public Sphere Jurgen Hubermas
B.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif dengan pendekatan studi pustaka yaitu mengumpulkan data atau
karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan objek penelitian atau pengumpulan data
yang bersifat kepustakaan atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan
suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan
kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan perpustakaan yang relevan. studi
kepustakaan atau studi literatur, selain dari mencari sumber data sekunder yang
akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu
yang berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat
kesimpulan dan generalisasi yang pernah dibuat sehingga situasi yang diperlukan
diperoleh.
C. PEMBAHASAN
1.
PERPUSTAKAAN
Menurut
Laugu[11] karya dalam bidang
perpustakaan dan kepustakawanan, baik berupa kajian refleksi maupun karya
penelitian, yang mencoba mengaitkan teori sosial kritis masih tergolong langka,
bahkan dalam bahasa Indonesia. Kebanyakan ahli atau pemerhati perpustakaan
masih asyik dengan kajian yang bersifat positivistik-kuantitatif yang hasilnya
hanya bersifat evaluatif dan teknis. Dalam penelitian ini akan diuraikan
sejumlah topic kajian mengenai kepustakawanan yang menggunakan teori sosial
kritis yang kemungkinan bisa menjadi landasan teoritis bagi penelitian ini.
Kajian
pertama oleh Richard Miller.[12] Menggambarkan konsepsi
dominan dari pengetahuan ilmiah dikenal dengan istilah positivism yang
mengatakan bahwa semua prihal berada di bawah hukum umum (general law) sehingga, menurutnya setiap kebenaran suatu peristiwa
harus mengandung karakteristik umum dari suatu situasi yang menyebabkan
peristiwa tersebut dan mengikuti hukum empiris yang bersifat umum.
Oleh
karena itu pandangan positivistic ini membentuk peran perpustakaan dalam dua
idealisme, yaitu akses dan netralitas. Idealism akses merupakan esensi yang
harus diwujudkan oleh perpustakaan yang bertujuan menyediakan kumpulan
informasi dan pengetahuan yang terorganisir untuk memberikan akses fisik,
bibliografik, dan intelektual kepada masyarakat pengguna. Secara ideal,
perpustakaan tidak memiliki kepentingan apa-apa dalam konten kumpulan informasi
dan pengetahuan tersebut. Ia tidak membeda-bedakan kebenaran, objektivitas, dan
nilai yang terkandung di dalamnya, tetapi dia hanya berkepentingan membuat
kumpulan informasi dan pengetahuan tersebut agar tersedia bagi penggunanya.
Jesshe Shera sistem yang didesain untuk memelihara dan memfasilitasi penggunaan
informasi. adapun idealisme kedua, yaitu
netralitas, merupakan esensi tugas perpustakaan sebagaimana, menurutnya,
prinsip sains yang harus netral. Oleh karena itu, bagi Jhon Buschman dan
Michael Carbone dalam keidealan netralitas semacam itu, perpustakaan harus
melayani hak dan kepentingan orang melalui netralitas jasa dan koleksi yang
disediakan.
Pandangan
positivistic tersebut telah meresap lama dalam pengalaman panjang praktik dan
kajian perpustakaan dan kepustakawanan sehingga upaya keluar dari kotak
positivistik semacam itu membutuhkan sebuah prodes yang relative lama dam
pekerjaan yang juga relative berat. Meskipun sudah dilakukan upaya melampaui
batas-batas pandangan positivistic tersebut masih tetap berada pada proses yang
agak lamban.
Secara
histori, semua lembaga berupaya melegimitasi versi pengetahuan dan kebenaran
terkini dengan mengawasi cara teks diatur satu satu sama lainnya. Klaim pengetahuan ilmiah berpijak pada
dukungan kelembagaan yang diperkuat oleh keseluruhan strata praktik seperti
sistem buku, penerbitan, dan perpustakaan. perpustakaan sebagai lembaga untuk
mengatur teks,menjadi satu komponen dalam legitimasi tatanan wacana tertentu.
Ia memperkuat sekelompok aturan yang sesuai dengan kebenaran dan kepalsuan yang
dipisahkan. Oleh karena itu perpustakaan oleh Umberti Eco dapat
dikonseptualisasi sebagai labirin teks yang berisi banyak kemungkinan untuk
pengaturan baru pada koleksi perpustakaan yang bukan hanya seperti yang diatur
dan dipaksakan oleh perpustakaan tersebut. Kemungkinan itu disebut sebagai
fantasi oleh Foucault dan dalam konteks ini perpustakaan biasanya diposisikan
sebagai sesuatu yang berlawanan dengan sistem organisasi yang diterapkan oleh
perpustakaan secara kaku.
Perpustakaan
sebagai situs merepresentasikan berbagai kemungkinan pertarungan yang tergambar
dalam pendekatan Foucault diatas dapat dilihat secara jelas dalam kaitannya dengan
kekuasaan yang beroperasi di perpustakaan pada masa sebelum masehi sebagaimana
dalam tulisan Erskine berjudul Culture
And Power In Ptolemaic Egyp: The Museum And Library Of Alexandria, ia
menunjukkan bahwa perpustakaan sebagai lembaga yang berkiprah dan menentukan
sejarah kehidupan intelektual masyarakat, terutama para pemegang kekuasaan,
seperti para raja dan pembantu-pembantunya, secara otomatis menempatkan
perpustakaan sebagai lembaga yang memuat dan memainkan ideologi dan kebijakan
yang bersifat politis. Asumsi ini dibangun berdasarkan temuan pada sejarah
perkembangan inteletual mesir aawal ketika ia menghubungkan perkembangan
kebudayaan dan intelektual yang dimotori oleh Aristoteles sebagai guru para
raja mesir dengan pengelolaan perpustakaan yang berawal dari masa Alexander
muda. Dalam penelusuran ini perpustakaan ditentukan sebagai produk inteletual
yang mengandung kompetisi di kalangan para pengganti Alexander, seperti
prolemi, yang kemudian menjadikannya sebagai lembaga penyebar ideologi bagi mereka
yang terlibat dalam kekuasaan yang salah satunya melalui proses preservasi
informasi tentang hubungan silsilah keluarga kerajaan. Hubungan silsilah
keluarga alexander dengan Ptolemi sebagai pewaris sah kerajaan mesir
dipublikasikan untuk untuk memperkuat kedudukan ptolemi dalam kepemimpinannya
dimesir pada saat itu. Publikasi ini memberikan pengaruh ideologis kepada
kepada masyarakat untuk mendukung
kekuasaan keluarga ptolemi sebagai pewaris tahta Alexander secara turun
temurun. Fungsi perpustakaan dalam kaitan ini bukan saja membantu memberikan
kaitan politik dan dinasti dengan Alexander, melainkan juga memberikan kepada
masyarkat yunani di mesir sebuah kaitan budaya dengan masa lalu ke-Yunaniannya.
Kajian ini memberikan petunjuk bahwa eksistensi perpustakaan bukan sekedar
bekerja murni untuk pengetahuan, melainkan juga mengandung banyak tujuan lain,
seperti relasi budaya, politik, ideologis dan kekuatan.
Kajian
serupa di tulis oleh glynn (2005) berjudul The
New York Society Library: Books, authority, and Publics in Colonial and Early
Republican New York, yang mengungkapkan bahwa perpustakaan masyarakat New
York yang didirikan pada tahun 1754 telah dilibatkan dalam praktik politik oleh
faksi yang bertarung untuk mencapai dominasi mereka. Oleh karena itu, koleksi
yang dimiliki dan dikembangkan sarat ideologis sebagai upaya mendapatkan
dukungan masyarakat karena perpustakaan sebagai sumber informasi dan
pengetahuan pada saat itu telah mendapatkan tempat di masyarakat sebagai ruang
untuk mendapatkan bacaan yang lengkap. Dinamika ideologisasi perpustakaan pada
saat itu menjadi saluran oleh pelaku utama ideology New York untuk mnggerakan
masyarakatnya, baik dalam politik maupun keagamaan. Oleh karena itu, sejarah
perpustakaan masyarakat New York sepanjang tahun 1840-an dianggap sebagai babak
penting dalam pengembangan masyyarakat Amerika sebagai masyarakat modern dan
liberal seperti saat ini.
Jhon
E. Buschman (2003) dalam karyanya yang berjudul dismantling the public sphere: situating and sustaining librarianship
in the age of the public philosophy. Ia melihat bahwa dunia perpustakaan menghadapi
krisis budaya yang harus dibongkar. Krisis budaya dimaksud adalah
ketertinggalan kajian perpustakaan karena keterbatasan pisau teoritiknya,,
disamping keengganannya menggunakan pendekatan lain yang bersifat kritis. Oleh
Karena itu ia mengajukan sebuah pengkajian yang bersifat filosofis yang mengacu
pada teori kritis, seperti Habermas, untuk menemukan dan membongkar penyebab utama krisis tersebut.
Upaya ini merupakan sebuah pembelaan terhadap perpustakaan dan kepustakawanan
dalamrangka mendukung perpustakaan sebagai wahana penting untuk menciptakan
akses informasi yang demokratis. Perjuangan untuk mencapai taraf demokratis
dalampengelolaan perpustakaan membutuhkan sebuah pendekatan yang multidisiplin
untuk mengungkap persoalan-persoalan yang membatasi penelitian perpustakaan
dankepustakawanan pada taraf teknis dan manajerial.
Pada
tataran itu, ia mengajukan pembahasannya dalam dua bagian, yaitu pertama, kerangka analitis tentang filsafat publik baru
dan ruang publik; dan kedua, kajian
spesifik tentang perpustakaan dan pembongkaran ruang publik. Bagian pertama
merupakan upaya membaca perpustakaan dalam bingkai budaya melalui tiga fokus
perhatian. Pertama. Perpustakaan
telah dianggapnya telah mengalami krisis budaya karena kajiannya telah
mengalami kevakuman akibat terbatasnya pendekatan yang digunakan dalam membaca
fenomena perpustakaan dan kepustakawanan sehingga upaya sehingga keluar dari
krisis tidak lain adalah pendekatan kajian yang multidisiplin. Fokus kedua berkaitan dengan pendekatan
filsafat publik baru yang dapat melahirkn analisis kritis terhadap perpustakaan
sebagai lembaga budaya publik yang selama ini terabaikan. Fokus ketiga adalah keinginan untuk membaca
perpustakaan sebagai ruang publik yang menjadi ruang lahirnya komunikasi
demokrasi antaranggota masyarakat, dalam hal ini pemustaka.
2. KONSEPSI
RUANG PUBLIK JURGEN HABERMAS
Penulis ini menggunakan teori Public Sphere Jurgen
Habermas sebagai pijakan untuk menganalisis peran perpustakaan umum kota
Yogyakarta sebagai ruang publik.
RUANG PUBLIK
|
Transformasi
|
diskursus
|
Wahana perjuangan
|
Pembusukan
|
- Ruang publik dipahami sebagai wahana perjuangan kaum borjuis melawan otoritas penguasa. Ini identic dengan perpustakaan sebagai wahana perjuangan melawan kebodohan dan perannya dalam pencerahan masyarakat, penyebaran keadilan dan kebenaran.
- Ruang publik mengedepankan diskursus sebagai prosedur mencapai opini publik. Prinsip diskursus di perpustakaan terjadi antara pengguna dan pustakawan misalnya dalam menentukan bahan perpustakaan yang harus dibeli. Antara pengguna dan penyensor dalam upaya menemukan consensus mengenai bahan-bahan yang disensor; antara sesama pengguna misalnya dalam acara diskusi, bedah buku dan sebagainyaa; dan juga diskursus antara pengguna dan penulis yang sekaligus membuat pendapat dan opini yang dituliskan dalam suatu buku yang sifatnya masih subjektif menjadi lebih publik dan ditanggapi oleh pembacanya.
- Transformasi yang terjadi di ruang publik borjuis (depolitisasi, refeodalisasi, pembusukan) analog dengan perubahan layanan perpustakaan (yang menunjukkan kecenderungan ke komersialisasi, otorisasi penuh pustakawan/ pemerintah di dalam menentukan arah layanan, dan pembusukan layanan)
- Pembusukan terhadap ruang publik ideal terjadi melalui lobi-lobi dan kerja humas yang merupakan lonceng kematian bagi ruang publik ideal analog pembusukan layanan perpustakaan yang juga dilakukan melalui lobi-lobi dan kerja humas meluluhlantahkan layanan perpustakan dalam pengertiam yang ideal.
Konsepsi pemikiran habermas mengenai ruang publik
tertuang dalam karyamya yang berjudul The
Struvtural Transformation Of The Publik Sphere: An Inquiry Into A Category Of
Bourgeois Society (1989), yang merupakan karya terjemahan dari yang
diterbitkan dalam bahasa jerman tahun 1962. Secara ringkas dapat dikatakan ada
dua tema pokok yang dikemukakan Habermas dalam buku tersebut yakni pertama,
analisisnya mengenai asal mula ruang publik borjuis; kedua, perubahan
structural ruang publik di zaman modern di tandai dengan bangkitnya
kapitalisme, industri kebudayaan, dan makin kuatnya posisi
organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang ekonomi serta kelompok bisnis
besar dalam kehidupan publik, pada analisis yang kedua tersebut organisasi
ekonomi besar dan institusi pemerintah mengambil alih ruang publik, sementara
warga Negara cukup senang menjadi konsumen barang, jasa, administrasi politik
dan tontonan publik
Ruang publik borjuis dipahami sebagai ruang
orang-orang privat yang berkumpul sebagai publik “the sphere of private people come together as a public”.[13] Ruang publik terjadi karena
orang-orang privat berkumpul sebagai sebuah publik dan mengartikulasikan
kebutuhan masyarakat kepada Negara.[14] Habermas menelusuri sejarah pembagian antara
yang publikdan yang privat dalam bahasa dan filsafat.
Ruang publik borjuis yang muncul di awal abad ke-18
menurut habermas berfungsi sebagai mediasi antara urusan privat individu di
dalam kehidupan keluarga, ekonomi, kehidupan sosial dilawankan dengan tuntutan
dan urusan kehidupan sosial dan publik. Ini juga mencakup mediasi kontradiksi
antara kepentingan borjuis di satu pihak dan kepentingan warga Negara lainnya
di lain pihak. Tujuannya adalah mengatasi kepentingan dan opini privat guna
menemukan kepentingan bersama dan mencapai consensus sosiall.
Ruang publik terdiri atas organ informasi dan debat
politik seperti surat kabar, jurnal, dan institusi-institusi diskusi politik
seperti parlemen, klub politik, salon-salon kesusastraan, pertemuan-pertemuan
umum, rumah minum dan kedai kopi, ruang-ruang pertemuan, dan ruang publik
lainnya dimana terjadi diskusi sosial-politik. Di tempat-tempat tersebut,
kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik di
junjung tinggi. Kepublikan yang terjadi dalam ruang publik dengan sendirinya
mengandung daya kritis terhadap proses-proses pengambilan keputusan yang tidak
bersifat publik.
3.
Perpustakaan Umum
Menurut sulistyo Basuki[15]
Peerpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan oleh dana umum
dengan tujuan melayani umum. Ciri-ciri pepustakaan umum adalah sebagai berikut:
1.
Terbuka untuk
umum artinya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang tanpa memandang perbedaan
jenis kelamin, agama, kepercayaan, ras, usia, pandangan politik, dan pekerjaan.
2.
Dibiayai oleh
dana umum. Dana umum adalah dana yang berasal dari masyarakat. biasanya
dikumpulkan melalui pajak dan dikelola oleh pemerintah. Dana ini kemudian
digunakan untuk mengelola perpustakaan. karena danaberasal dari umum maka
perpustakaan umum harus terbuka untuk umum.
3.
Jasa yang
diberikan pada hakekatnya bersifat Cuma-Cuma. Jasa yang diberikan mencakup jasa
referensi artinya jasa memberikan informasi, peminjaman, konsultasistadi
sedangkan keanggotaan bersifat Cuma-Cuma artinya tidak perlu membayar. Pada
beberapa perpustakaan umum diindonesia masih ada yang memungut biaya untuk menjadi
anggota, namun hal ini semata-mata karena administrasi belak, bukanlah prinsip
utama.
Perpustakaaan amat penting bagi kehidupan kultural
dan kecerdasan bangsa, karena perpustakaan umum merupakan satu-satunya pranata
kepustakawanan yang dapat diraih umum. Demikian pentingnya peranan perpustakaan
umum bagi kecerdasan bangsa sehingga UNESCO mengeluarkan manisfesto
perpustakaan pada tahun 1972. Adapun Manisfesto
Perpustakaan Umum Unesco menyatakan bahwa perpustakaan umum mempunyai 4
tujuan utama yaitu:
1. Memberikan kesempatan bagi umum untuk membaca bahan
pustaka yang dapat membantu meningkatkan mereka ke arah yang lebih lebih baik.
2. Menyediakan sumber informasi yang cepat, tepat dan
murah bagi masyarakat, terutama informasi mengenai topic yang berguna bagi mereka
sedang hangat dalam kalangan masyarakat.
3. Membantu warga untuk mengemmbangkan kemampuan yang
dimilikinya sehingga yang bersangkutan dapat bermanfaat bagi masyarakat
sekitarnya, sejauh kemampuan tersebut dapat dikembangkan dengan bantuan bahan
pustaka. Fungsi ini sering disebut sebagai pendidikan perpustakaan umum, lebih
tepat pendidikan berkesinambungan ataupun pendidikan seumur hidup. Pendidikan
sejenis ini hanya dapat dilakukan oleh perpustakaan umum karena perpustakaan
umum merupakan satu-satunya pranata kepustakawanan yang terbuka untuk umum.
Perpustakaan nasional juga terbuka untuk umu namun untuk memanfaatkanya tidak
selalu terbuka langsung bagi perorangan, adakalanya harus melalui perpustakaan
lain.
4. Bertindak sebagai agen kultural artinya perpustakaan
umum merupakan pusat utama kehidupan budaya bagi masyarakat sekitarnya.
Perpustakaan umum bertugas menumbuhkan apresiasi budaya masyarakat sekitar
dengan cara menyelenggarakan pameran budaya, ceramah, pemutaran film, dan
penyediaan informasi yang dapat meningkatkankeikutsertaan, kegemaran dan
apresiasi masyarakat terhadap segala bentuk seni budaya.
Yang
termasuk kelompok perpustakaan umum adalah:
- Perpustakaan wilayah
2. Perpustakaan propinsi
3. Perpustakaan umum kotamadya
- Perpustakaan umum kabupaten
- Perpustakaan umum kecamatan
- Perpustakaan umum desa
- Perpustakaan umum untuk anggota masyarakat yang memerlukan media khusus seperti perpustakaan untuk tuna netra
- Perpustakaan umum untuk anggota masyarakat yang memerlukan bacaan khusus karena faktor usia misalnya perpustakaan anak.
- Perpustakaan keliling.
4.
Ruang Publik dan Perpustakaan
Berbagai komentar tentang informasi dari sejumlah
pakar yang sempat dicatat Frank Webster[16]
antara lain berisi bahwa informasi zaman sekarang ini cenderung ternodai. Tidak
terlepas dari campur tangan pihak yang menyajikannya atau yang mengemasnya
sedemikian rupa untuk mendukung suatu posisi, atu memanipulasinya untuk tujuan
tertentu. Atau membuatnya menjadi komoditas yang laku dijual. Yang sifatnya
menghibur. Dalam versinya yang paling ekstrim, keadaan diatas dapat dianggap
sebagai rusaknya proses demokratisasi akibat tidak memadainya informasi yang
disuguhkan kepada publik karena apabila masyarakat tidak memperoleh informasi
yang handal lalu akan sulit tercapai masyarakat yang ideal, cerdas, arif dan
berpengetahuan luas – demokrasi dalam pengertian sejati.
Perpustakaan
umum dilihat dengan memakai perspektif Ruang Publik (public sphere) yaitu sebagai berikut:
Perpustakaan umum sebagai wahana belajar.Ruang
publik borjuis seperti digambarkan dalam buku The Structural Transformation
of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society,merupakan
suatu arena yang independen dan otonom, yang mengangkat debat rasional sebagai
prosedur untuk menghasilkan opini publik, suatu ruang yang terbuka yang dapat
diakses dan diamati masyarakat luas. Ruang publik seperti ini dilator belakangi
oleh perjuangan para pengusaha kapitalis guna melepaskan ketergantungannya dari
gereja dan Negara. Sejalan dengan perjuangan seperti yang tergambar di ruang
publik tersebut, perpustakaan umum didirikan sebagai wahana belajar seumur
hidup bagi pengguna, suatu usaha membebaskan diri dari ketidaktahuan dan segala
dampak yang muncul sebagai akibatnya. Untuk dapat menjadi wahana belajar yang
memadai segala potensi perpustakaan harus diarahkan demi kemudahan pengguna
untuk melaksanakan kegiatan belajar. Dengan menggunakan perspektif ruang
publik,
1. potensi pertama,
yang harus dimiliki perpustakaan adalah sifatnya yang independen, beik terhadap
pemerintah maupun kekuatan-kekuatan lainnya. Independen memungkinkan
perpustakaan menyusun program-programnya yang murni untuk kepentingan
perpustakaan tanpa terlalu banyak mendapatkan campur tangan pihak lain termasuk
pihak pemberi dan.
- Potensi kedua adalah menjadikan perpustakaan sebagai wahana pemublikan pemikiran maupun pandangan yang sebelumnya masuh bersifat subyektif yaitu melalui diskursus di perpustakaan. perpustakaan menempatkan bahan perpustakaan di rak untuk dibaca, ditanggapi, dijadikan bahan diskusi dan sebagai kegiatan mengkonstruksi pengetahuan baru. Di perpusakaan diskursus dapat terjadi dalam dua bentuk yangni diskursus langsung antar para pengguna perpustakaan misalnya dalam bentuk diskusi, acara bedah buku dan diskursus tidak langsung misalnya ketika pengguna membaca buku di perpustakaan kemudian menanggapinya dengan tulisan yang berkaitan dengan bahan yang dibacanya.
- Potensi ketiga adalah kesiapan pengguna perpustakaan dan pustakawan untuk merasionalkan kebijakan-kebijakan, praktik-praktik layanan yang ada selama ini dan menjadikan kepentingan pengguna sebagai hal utama. Perpustakaan perlu menyerap, dan mempertimbangkan dan memenuhi masukan, kritikan dari masyarakat dan memenuhi tuntutan akuntabilitas public. Menanggapi secara positif masukann dan kritikan dari pengguna merupakan salah satu cara perpustakaan umum lebih mendekatkan dirinya dengan keinginan penggunanya sepreti contoh dalam kegiatan akuisisi.
5. Peran
Perpustakaan Umum dalam Pemberdayaan Masyarakat
Perpustakaan umum memainkan peranan penting yang
unik didalam masyarakat industri netral, perpustakaan menyediakan sekaligus
informasi dan perbedaan pandangan di suatu tempat dimana warga masyarakat dapat
mengetahuinya tanpa paksaan tentang berbagai isu mutakhir yang menjadi
perhatian mereka. Peran yang sangat berharga dan penyediaan berbagai gagasan
segar ini barangkali adalah merupakan suatu pelayanan terhebat kepada warga
masyarakat yang diberikan oleh perpustakaan yang tidak dapat dipenuhi jenis
institusi lain. melalui perpustakaan warga masyarakat dapat memberdayakan diri
mereka sendiri dengan memperoleh berbagai informasi yang sesuai dengan dengan
kebutuhan profesinya dan bidang tugas masing-masing, yang pada akhirnya
bermuara pada tumbuhnya warga masyarakat yang terinformasi dengan baik,
berkualitas dan demokratis. UNESCO di dalam Public Library Manifesto-nya pada
tahun 1994 meyebutkan bahwa perpustakaan umum merupakan gerbang pengetahuan
lokal yang menyediakan suatu kondisi dasar untuk belajar sepanjang hayat,
pengambilan keputusan independen dan pengembangan budaya baik perorangan maupun
kelompok masyarakat. hal ini menggambarkan bahwa perpustakaan umum merupakan
wadah perjuangan membebaskan masyarakat dari kebodohan dengan perannya sebagai
tempat pembelajaran sepanjang hayat bagi masyarakat dalambahasa inggris disebut
dengan long life education, seyogyanya
perpustakaan umum mampu mengasup ilmu kepada masyarakat yang tidak mampu
mengenyam pendidikan di dunia pendidikan formal. Perpustakaan umum merupakan
lembaga independen dimana pemerintah tidak ikut campur tangan didalamnya.
Yang menjadai pertanyaan besar adalah apakah peran
seperti itu sudah berjalan dan berkelanjutan. Hal ini belum bisa dijawab dengan
pasti dikarenakan belum adanya penelitian yang dilakukan tentang hal itu baik
untuk tingkat nasional maupun lokal. Tetapi secara umum perpustakaan umum
dinegara Indonesia terutama yang dengan mudah terlihat di sejumlah kota besar
pada dasarnya belum berkembang dengan memuaskan. Hal ini mudah diidentifikasi,
sudah merupakan suatu kenyataan bahwa warga masyarakat yang tidak pernah ke
perpustakaan, dan bahkan banyak di antaranya tidak mengetahui letak atau lokasi
perpustakaan umum di kota mereka. Dengan kata lain , perpustakaan kita mungkin
tidak berhasil menarik perhatian warga masyarakat untuk mengunjunginya.
Keadaan ini diperkirakan terutama disebabkan oleh
lemahnya manajemen perpustakaan umum, dimana para perpustakaan tidak membuat dokumen
perencanaan yang bersifat strategis dan tidak berupaya secara maksimal untuk
mengangkat isu strategis yang berkaitan dengan pelayanan perpustakaan umum ke
permukaan sehingga menjadi perhatian publik dan para pengambil keputusan di
tingkat lembaga induknya. Peran perpustakaan umum penting untuk dievaluasi
implementasinya mengingat semakin bertambahnya penduduk miskin dinegara kita
sebagai akibat dari krisis ekonomi yang kita alami. Menurunnya tingkat
pendapatan anggota masyarakat memberikan implikasi terhadap berbagai aspek
kehidupan, dan yang paling mengkhawatirkan terutama dalam bidangg pendidikan,
dimana informasi dan pengetahuan akan semakin terasa mahal bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Didukung dengan
makin bermunculnya lembaga-lembaga penyedia informasi yang berorientasi
komersial maka akan semakin memperlebar gap diantara masyarakat ekonomi
menengah dan ekonomi bawah. Informasi dizaman sekarang memang sudah menjadi
komoditas yang sangat unggul dalam percaturan ekonomi dan bisnis. Mereka yang
memiliki dan menguasai informasi lebih unggul dalam penguasaan ekonominya
dibandingkan dengan mereka yang tidak menguasainya.
Hal ini akan terlihat bahwa masyarakat yang tidak
mampu mengadopsi informasi akan semakin terlindas oleh orang-orang yang
menguasai informasi. seharusnya perpustakaan umum yang memiliki peran pelayanan
informasi terbuka bagi masyarakatnya bsa dimanfaatkan atau menjembatani
kesenjangan yang ada sehingga akan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Perpustakaan merupakan contoh lembaga yang paling baik untuk menggambarkan
keterbukaan informasi, terutama perpustakaan umum.[17]
Perpustakaan sejak dulu telah melepaskan diri dari aspek-aspek komersial. Sifat
perpustakaan umum adalah memberikan akses informasi secara bebas kepada segenap
anggota masyarakat di semua tingkatan.
6. Perpustakaan
sebagai tempat pendidikan seumur hidup
Fungsi utama dari perpustakaan umum adalah untuk
membantu orang, terutama orang-orang muda dan anak-anak, menjadi melek informasi.
dalam hal ini termasuk memberitahukan mereka bagaimana menemukan informasi, dan
juga mengembangkan kebiasaan membaca. Perpustakaan umum membantu orang dewasa
untuk belajar sepanjang hayat dan belajar kembali untuk perubahan karir.
Perpustakaan umum juga berperan dalam memelihara dan mempromosikan kebudayaan.
Di Negara yang lebih maju, walaupun buku kaset video
dan audio, CD dan bahan lainnya dengan harga terjangkau tersedia disudut kota,
tetapi masyarakat masih tetap banyak berkunjung ke perpustakaan umum. Diingris,
pembelian buku terbesar adalah perpustakaan umum. Perpustakaan umum menjadi
tempat bertemunya para warga kota dan melalui tempat ini mereka mengetahui
banyak hal tentang kebijakan yang diambil oleh para pemimpin mereka, dan juga
berbagai hal yang diperjuangkan oleh para wakil mereka diparlemen.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh University of
Minnessota dan Gallup Organization di Amerika Serikat pada tahun 1994,
menunjukkan bahwa peran perpustakaan umum dalam pendidikan semakin penting pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih rendah dan berpenghasilan rendah.
Peran utama perpustakaan umum tersebut diranking berdasarkan jawaban para
responden, sebagai berikut: (1) Sebagai pusat dukungan pendidikan bagi siswa
semua umur (88%); (2) Sebagai pusat belajar bagi orang dewasa (85%); (3)
Sebagai pusat belajar dan penemuan bagi anak-anak pra-sekolah (83%); (4)
Sebagai pusat penelitian bagi ilmuwan dan peneliti (68%); (5) Sebagai suatu
pusat untuk informasi masyarakat (66%); (6) Sebagai suatu pusat informasi untuk
masyarakat bisnis (55%); (7) Sebagai suatu tempat yang menyenangkan untuk
membaca, berfikir atau bekerja (52%); dan (8) Sebagai pusat membaca yang
bersifat rekreasi (51%).
Craeford dan Gorman seperti dikutip oleh Awcock,
mengemukakan beberapa prinsip atau asas baru untuk perpustakaan (seperti yang
pernah dibuat oleh Ranganathan pada tahun 1930an), yaitu:
a. Perpustakaan melayani seluruh umat manusia.
b. Hargai semua bentuk pengetahuan dikomunikasikan.
c. Gunakan
teknologi secara tepat untuk meningkatkan pelayanan.
d. Lindungi akses bebas terhadap pengetahuan.
e. Hormati masa lalu dan ciptakan masa depan.
7. Kesimpulan
Pada zaman modern prinsip bahwa perpustakaan terbuka
untuk umum baru berkembang dengan mulai dibukanya perpustakaan umum. Ini baru terjadi
sekitar abad ke-19. Karena prinsip terbuka bagi umum ini, UNESCO mengeluarkan
manifesto perpustakaan umum pada tahun 1973 yang menyatakan bahwa perpustakaan
harus terbuka bagi semua anggota masyarakat dengan tidak memandang perbedaan
usia, kelamin, pekerjaan, keyakinan, warna kulit maupun agama.
Membincangkan tentang ruang publik tidak terlepas
dari gagasan yang diusung oleh seorang filsuf ternama di jerman yaitu Jurgen
Habermas. Gagasan tentang Ruang publik
merupakan sebuah gagasan yang dipopulerkannya melalui buku yang berjudul
Struktur wandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der
Bürgerlichen Gesellschaft. defenisi ruang publik yang kemukakan oleh jurgen
habermas bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi
dan juga pandangan ini relevan dengan peran perpustakaan sebagai media
komunikasi antara pengarang melalui buku atau hasil tulisannya dengan pembaca
yang bertujuan mendapatkan informasi atau juga atau juga antara pembaca dengan
pembaca dalam mendiskusikan tentang sebuah buku yang terbitkan.
Dengan kata lain perpustakaan merupakan salah satu
media komunikasi sebagaimana yang diungkapkan Habermas mengenai Ruang publik.
Fungsi utama dari perpustakaan umum adalah untuk membantu orang, terutama
orang-orang muda dan anak-anak, menjadi melek informasi. dalam hal ini termasuk
memberitahukan mereka bagaimana menemukan informasi, dan juga mengembangkan
kebiasaan membaca. Perpustakaan umum membantu orang dewasa untuk belajar
sepanjang hayat dan belajar kembali untuk perubahan karir. Perpustakaan sejak dulu telah melepaskan diri dari
aspek-aspek komersial. Sifat perpustakaan umum adalah memberikan akses
informasi secara bebas kepada segenap anggota masyarakat di semua tingkatan.
Daftar
Pustaka
Sulistyo Basuki, Pengantar
Ilmu perpustakaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991),
Pedoman umum penyelenggaraan perpustakaan umum,
2000,
Laksmi, manajemen lembaga informasi teori dan praktik,
(Jakarta: penaku, 2011),
Sutarno, seperempat
abad perpustakaan umum pemerintahan propinsi DKI, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2003),
Nurdin Laugu, Representasi
kuasa dalam pengelolaan perpustakaan, (Yogyakarta: Gopernus Press, 2015)
Jurgen
Habermas. The Structural Transformation
of the public sphere: an ingury into a category of bourgeois society,
(Cambridge: MIT Press, 1991)
[1]
Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu perpustakaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991), 34
[2] Pedoman umumpenyelenggaraan
perpustakaan umum, 2000,5
[3] Laksmi, manajemen lembaga informasi teori dan
praktik, (Jakarta: penaku, 2011), 44
[4] Ibid, 49
[5] Ibid, 49
[6] Sutarno, seperempat abad perpustakaan umum
pemerintahan propinsi DKI, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 32
[7] Ummi Rodliyah, Reposisi Ilmu Informasi Perpustakaan, dalam
http://pemasaran.wikispaces.com/file/view/REPOSISI+ILMU+INFORMASI+DAN+PERPUSTAKAAN.pdf diakses pada
tanggal 20 mei 2017
[8] Y. Sumaryanto, Ruang Publik Jurgen Habermas Dan Tinjauan
Atas Perpustakaan Umum Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia, 2010), 15
[9]
Ibid, 15
[10]
Frank Webster, Theories of the
information society, (London: Routledge, 1995), 102
[11]
Nurdin Laugu, Representasi kuasa dalam
pengelolaan perpustakaan, (Yogyakarta: Gopernus Press, 2015),12
[12]
Ibid, 12
[13] Jurgen Habermas.
The Structural Transformation of the public sphere: an ingury into a category
of bourgeois society, (Cambridge: MIT Press, 1991), 27
[14]
Ibid, 176
[15]
Suistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991), 46
[16]
Frang Webster, Theories of the
information society,( London: routledge, 1995), 101
[17]
Pawit M. Yusup, Ilmu Informas, komunikasi, dan kepustakaan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), 361