Halaman

Minggu, 08 April 2018

Radikalisme agama dalam prespektif Al`Quran


Radikalisme agama dalam prespektif Al`Quran



Abstract
In the name of religion, then the radicalism be legitimised in a variety of actions. Starting from the disbelieve people who do not agree to do the killing of enemies who do not trust her radicalism is familiar or flow of radical in politics and understand the flow or want a change or renewal with the way the social and political violence or drastic or extreme attitudes in the political formula of flow issues raised here is how the view or perspective Quran against Radicalism as well as how the attitude of Muslims toward radicalism religion itself is essentially a religion teaches human peace and solidarity with each other, respect each other's respect, build solidarity both within the same faith or religion outside the religion adhered. But in our everyday life, not least finding violence by someone who embraced a religion, both to the same faith as well as to those others who adhere to a different religion. the Qur'an is the book of universal, then the texts must be understood holistically-comprehensive and not taken in bits and pieces atomistic interpretation. Therefore, understanding approach is offered by way of intercultural munasabah verse, another approach has to offer is by looking at the historical background of asbab nuzul against the decline of certain passages.
Keywords: Radicalism, Religion, Quran Prespective, Politics




Abstrak
Atas nama agama, kemudian radikalisme diabsahkan dalam berbagai tindakan. Mulai dari mengkafirkan orang-orang yang tak sepaham sampai melakukan pembunuhan terhadap musuh yang tidak seideologi dengannya radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik dan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis atau sikap ekstrem dalam aliran politik Rumusan masalah yang diangkat disini adalah bagaimana pandangan atau prespektif Al Quran terhadap Radikalisme serta bagaimana sikap umat muslim terhadap radikalisme agama itu sendiri Pada dasarnya agama mengajarkan kepada manusia kedamaian dan kesetiakawanan satu sama lain, saling hormat menghormati, membangun kesetiakawanan baik dalam seagama maupun penganut agama di luar agama yang dianutnya.Namun dalam keseharian kita, tidak sedikit menemukan kekerasan oleh seseorang yang menganut suatu agama, baik terhadap seagama maupun kepada orang yang lain yang menganut agama yang berbeda. al-Qur’an merupakan kitab universal, maka ayat-ayatnya harus dipahami secara holistik-komprehensif dan tidak diambil secara sepotong-sepotong atomistik. Oleh sebab itu, ditawarkan pendekatan pemahaman dengan cara munasabah antar ayat, pendekatan lain yang ditawarkan adalah dengan melihat latar belakang kesejarahan asbab nuzul terhadap turunnya ayat-ayat tertentu.
Kata Kunci : Radikalisme,Agama,Prespektif Al’Quran,Politik





A.    Latar Belakang
Radikalisme suatu pembahasan yang selalu menarik untuk di angkat apalagi di masukan unsur agama di dalamnya sejak kejadian Serangan sebelas September  adalah serangkaian empat serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di New York City dan Washington, D.C. pada 11 September 2001. Pada pagi itu, 19 pembajak dari kelompok militan Islam, al-Qaeda, membajak empat pesawat jet penumpang. Para pembajak sengaja menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York City kejadian ini awal terjadinya perang terhadap radikalisme agama khusus nya islam yang di pelopori oleh Amerika Serikat tapi perlu diketahui bahwa Sejarah kekerasan dan radikalisme sering kali membawa nama agama. Hal ini dapat dipahami karena agama memiliki kekuatan yang dahsyat, yang melebihi kekuatan politik, sosial, dan budaya. Agama bahkan bisa diangkat sampai pada tingkat supranatural.
Atas nama agama, kemudian radikalisme diabsahkan dalam berbagai tindakan. Mulai dari mengkafirkan orang-orang yang tak sepaham sampai melakukan pembunuhan terhadap musuh yang tidak seideologi dengannya.dalam [1]kamus besar bahasa Indonesia radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik dan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis atau sikap ekstrem dalam aliran politik disini penulis juga ingin mengangkat definisi radikalisme menurut [2]Adeed Dawisha dalam bukunya The Arab radicals mendefinisikan radikalisme sebagai sikap jiwa yang membawa kepada tindakan-tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan politik mapan dan menggantikannya dengan sistem baru. lebih lanjut, istilah radikal mengacu kepada gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan yakni negara-negara atau rejim-rejim yang bertujuan melemahkan otoritas  politik dan legitimasi negara-negara dan rejim-rejim lain.jadi radikalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan pergantian terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya, jika perlu dilakukan dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Atau menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat dan secara teoritis [3]radikalisme tidak identik dengan kekerasan, termasuk penyandingannya dengan kelompok agama tertentu.
Fenomena radikalisme agama bukanlah fenomena yang lahir saat ini saja. Radikalisme agama telah lahir sejak abad 16-19 M, di mana perebutan hegemoni agama antara Islam versus Kristen sangat kentara di sana. Fenomena radikalisme agama juga bukan hanya milik Islam, maupun Kristen, tetapi juga dalam Hindu dan Yahudi, Kaum radikal dalam beragama bisa jadi memang memiliki pandangan hidupnya sendiri, yang barangkali berbeda dengan lainnya. Dengan cara pandang sendiri, mereka tidak jarang melihat gejala sosial yang terjadi sesuai dengan cara pandangnya, jika tidak sesuai maka akan sangat mungkin ditolak, bahkan dilawan. Perlawanan inilah yang kadang menjadi bentuk riil dari kaum radikal.
Kaum radikal melawan siapa saja yang dianggap berada di luar, atau berbeda dengan pandangan hidupnya. Pandangan dan gaya hidup yang tidak sama dengan kelompoknya akan dengan mudah dianggap sebagai musuh paling nyata, sehingga tidak segan-segan untuk dimusnahkan. Dari sini kemudian berkembanglah cara pandang yang sangat intoleran, tertutup dan memutlakkan apa yang menjadi pandangannya.
1.      Rumusan masalah
Rumusan masalah yang penulis ingin diangkat disini adalah bagaimana pandangan atau prespektif Al Quran terhadap Radikalisme serta bagaimana sikap umat muslim terhadap radikalisme agama itu sendiri.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian radikalisme
Secara etimologis, radikalisme berasal dari kata radix, yang berarti akar.Seorang radikal adalah seseorang yang menginginkan perubahan terhadap situasi yang ada dengan menjebol sampai keakar-akarnya. A radical is a person who favors rapid and sweeping changes in laws of goverments. Seorang radikal adalah seorang yang menyukai perubahan-perubahan secara cepat dan mendasar dalam hukum dan metode-metode pemerintahan. Jadi radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap yang mendambakan perubahan dari status quo dengan jalan menghancurkan status quo secara total, dan dengan menggantinya dengan suatu yang baru sama sekali berbeda. Biasanya cara yang digunakan adalah revolusioner artinya menjugkir balikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violenceri) dan aksi-aksi ekstrim[4].
Secara sosilogis bisa diterangkan bahwa radikalisme kerap kali muncul bila terjadi banyak kontradiksi dalam orde sosial yang ada. Bila masyarakat yang mengalami anatomi atau kesenjangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan para masyarakat tidak mempunyai daya lagi untuk mengatasi kesenjangan itu, maka radikalisme dapat muncul ke dalam permukaan. Dengan kata lain akan timbul proses radikalisme dalam lapisan-lapisan masyarakat, terutama di kalangan anak muda.
2.      Latar Belakang Munculnya Radikalisme Agama
Kiranya bukanlah sebuah organisasi kalau dikatakan bahwa radikalisme agama sama dengan radikalisme social, hanya dapat dipahami dalam kontek sosial tertentu.Apakah dengan motivasi atau lebih tepat dengan kerangka pengertian simbolik bahasa agama, atau dengan motivasi pembebasan politik atau misalnya kepercayaan akan datangnya ratu adil, sekelompok orang akan menjadi radikal dan ekstrem sebagai reaksi atas sebuah situasi dan dalam sebuah konteks. Oleh karena itu, sebuah penelitian tentang radikalisme agama sudah tentu memerlukan pengetahuan sejarah, khususnya sejarah agama yang bersangkutan.[5]
Jika kita hubungkan dengan fakta sejarah memang dapat dijumpai adanya kelompok-kelompok dalam Islam yang berpandangan Fundamentalisme (radikalisme),walaupun tidak sepenuhnya muncul sebagai reaksi terhadap modernisasi, melainkan juga karena latar belakang politik, teologi dan lain sebagainya. Dalam bidang teologi misalnya kita jumpai Khawarij, kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap khalifah Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah serta para pendukungnya dari tokoh yang bertikai ini mengambil jalan penyelesaian dengan cara arbitrase (damai) yang berakhir dengan kemenangan dari pihak Muawiyah. Kelompok ini kemudian menuduh orangorang yang terlibat dalam arbitrase sebagai kafir.[6]
Kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigit dan literalis seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis Protesten, ternyata ditemukan juga dikalangan penganut agama-agama lain di abad ke dua puluh ini. Karena itu tidaklah mengherankan jika para sarjana orientalis dan islamis Barat kemudian menyebut kecenderungan serupa di kalangan masyarakat muslim sebagai "Fundamentalis Islam". Disamping dihubungkan dengan Islam, istilah fundamentalisme juga dihubungkan dengan agama-agama bukan Krestan yang lain, sehingga muncul istilah kaum "Fundamentalis Sikhs", dan sebagainya.
Tetapi berbeda dengan kaum fundamentalisme Protestan yang memang menyebutkan dirinya fundamentalis, kelompok-kelompok dengan kecenderungan serupa di dalam agama-agama lain malah menolak disebut sebagai kaum fundamentalis. Kelompok-kelompok seperti itu, di Timur Tengah, lebih suka menyebut diri mereka dengan istilah-istilah seperti Ushuliyah Islamiyah (asas-asas Islam), Ba'ats Islam (Kebangkitan Islam) atau Harakah Islam (gerakan Islam), sementara kelompok-kelompok yang kurang menyukai mereka menyebutnya Muta'asshibin (kelompok fanatik) juga Muthathrrifin (kelompok radikal/ekstrim).[7]Dari gambaran-gambaran di atas tampaknya ada  empat faktor yang menyebabkan lahirnya kaum fundamentalis atau radikalis:
a.       Faktor modernisasi yang dapat dirasakan dapat menggeser nilainilai agama dan pelaksanaanya dalam agama.
b.      Pandangan dan sikap politik yang tidak sejalan dengan sikap dan politik yang dianut penguasa.
c.       Ketidakpuasan mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan sebagainya yang berlangsung di Indonesia.
d.       Sifat dan karakter dari ajaran Islam yang dianutnya cenderung bersifat rigid (kaku)
Dari faktor tersebut maka latar belakang radikalisme lahir dan berkembang karena rasa tidak puas dan rasa keadalilan maka muncul nya rasa ketidak adilan tersebut dan telah memuncak maka terjadianya penolakan dan ingin nya perubahan kearah yang lebik baik tapi secara radikal dan keras  demi mencapai tujuan tersebut hal itu yang membuat terjadinya konflik.
3.      Faktor-faktor radikalisme
Banyaknya gerakan-gerakan radikalisme keagamaan yang akhir-akhir ini muncul ini karena adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab. Antara lain:
a.       Faktor pemikiran
Merebaknya dua trend paham yang ada dalam masyarakat Islam, yang pertama menganggap  bahwa agama merupakan penyebab kemunduran ummat Islam. sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. pemikiran ini merupakan produk sekularisme yang secara filosofi anti terhadap agama.sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan penentangannya terhadap alam relaitas yang dianggapnya sudah tidak dapat ditolerir lagi, dunia saat ini dipandanganya tidak lagi akan mendatangkan keberkahan dari Allah swt, penuh dengan kenistaan, sehingga satu-satunya jalan selamat hanyalah kembali kepada agama. Namun jalan menuju kepada agama itu dilakukan dengan cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal yang berbau modernitas.pemikiran ini merupakan anak kandung dari pada paham fundamentalisme.Kedua corak pemikiran inilah yang jika tumbuh subur dimasyarakat akan melahirkan tindakan-tindakan yang kontra produkti bagi bangsa bahkan agama yang dianutnya. Kedua trend pemikiran yang satunya menolak agama dan yang kedua mengajak kepada paham agama yang keras, justru akan melahirkan reaksi yang bertentangan dengan misi diciptakannya manusia olehAllah swt di semesta ini sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.
b.      Faktor ekonomi
Gilliam Nock pengarang buku 'perwajahan dunia barumengatakan terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi didunial iberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin.jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat Negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional.Karena boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror.
c.       Faktor politik
Stabilitas politik yang di imbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar.namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.
d.      Faktor sosial
Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. ada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
e.       Faktor pendidikan
Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan,keramahan,membenci pengerusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Dan retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama.
Dari faktor-faktor tersebut maka radikalisme dapat di jelaskan bahwa ketidakadilanlah yang membuat seseorang atau kelompok berubah menjadi radikal maka keadilan dan pemerataan suatu alat yang bisa membangun persatuan dan menjauhi seseorang maupun kelompok untuk berfikir dan bertindak radikal.
4.      Akar Radikalisme dalam Islam.
Di suatu subuh, 14 Ramadan 40 H, tiga orang militan yang merencanakan pembunuhan terhadap tiga orang tokoh penting kaum muslim di Mekah ketika itu, berusaha mencari saat yang tepat untuk melakukan pembunuhan. Mereka adalah Amr bin Bakr, al-Barak bin Abdullah, dan Abdurrahman bin Muljam yang semuanya merupakan anggota dari kaum Khawarij, kelompok yang keluar dan memisahkan diri dari mainstream muslim, yang tidak puas dengan kepemimpinan umat ketika itu. Mereka pada awalnya adalah pengikut dari salah seorang dari tiga pemimpin yang sedang mereka rencanakan pembunuhannya itu, yakni Ali bin Abi Thalib, khalifah yang sah pada saat itu, tetapi mereka tidak setuju pada kesediaan sang khalifah untuk menerima tahkim (arbritase) antara sang khalifah dengan musuhnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, melalui orang yang ditunjuknya, yakni Amr bin Ash. Mereka juga menilai Mu’awiyah sebagai pemberontak terhadap kepemimpinan yang sah sehingga ia pun harus diperangi.[8]
Mereka menggunakan argumentasi al-Qur’an bahwa la hukma illa Allah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) yang dielaborasi dari Q.S. al-Ma’idah 5: 44. Karena tidak ditaatinya hukum Allah itu, maka terjadi chaos (fitnah) sehingga memunculkan dualisme pemerintahan di tengah kaum muslim. Dan, karena tidak mau mengikuti hukum Allah, sang khalifah pun dituduh kafir, sebagaimana juga Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash. Maka, selain khalifah, mereka pun mengirimkan orang untuk membunuh Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Ash. Pada akhirnya mereka gagal membunuh Mu’awiyah dan Amr bin ‘Ash, dan hanya berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib ketika sedang Shalat Subuh di masjid. Dua sampai tiga hari sang khalifah masih bisa bertahan hidup sebelum akhirnya wafat. Sebelum menghembuskan nafas, dia sempat memberikan wasiat kepada kedua anaknya, Hasan dan Husain, yang isinya antara lain bahwa “orang-orang (Khawarij) ini masih akan terus dilahirkan dari tulang-tulang sulbi ayah mereka.Gerakan kaum Khawarij yang muncul di akhir masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan prinsip-prinsipnya yang radikal inilah kemudian yang sering dijadikan contoh gerakan fundamentalisme klasik dalam sejarah Islam dan juga menandai terbentuknya gejala takfirisme (takfiriyah) dalam Islam. Suatu doktrin yang mengkafirkan sesama muslim yang berbeda dengan mereka, bahkan sampai menghalalkan darahnya.
Lebih jauh dari itu, mereka juga mengembangkan doktrin khusus elaboratif tentang takfir yang cukup berdasar pemahaman mereka terhadap teks-teks keagamaan al-Qur’an dan hadis dan pemikiran kaum salaf. doktrin takfirisme ini tidak hanya terbatas pada tataran wacana, tetapi juga dikaitkan dengan anggapan bahwa yang bersangkutan dipandang telah keluar dari agama murtad sehingga boleh dimusnahkan di dunia, dan di akhirat mereka dianggap celaka sebagai akibat dari perbuatan kufur tersebut.dari rekaman sejarah tersebut dapat dilihat bahwa fundamentalisme Islam lebih banyak menekankan, atau setidaknya membenarkan, penggunaan radikalisme atas nama agama. Islam dianggap mengajarkan para pemeluknya yang fanatik untuk melakukan tindakan kekerasan tersebut sebagai manifestasi dari keimanan. Pandangan teologis radikal tersebut diikuti oleh sikap politik yang ekstrem dan radikal pula sehingga menganggap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir dan boleh dibunuh. Bahkan, mereka kemudian membagi wilayah menjadi dua, yaitu wilayah dar al-Islam yang harus dilindungi dan wilayah dar al-kuffar yang harus diperangi dan dihancurkan.
Pada masa pra-modern, gerakan fundamentalisme radikal muncul pada abad 12 H di Semenanjung Arabia di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1792) yang kemudian dikenal sebagai gerakan Wahabi. Inilah yang kemudian membentuk Salafisme awal, dengan Ibnu Taimiyah sebagai tokoh utamanya. Meski mereka mengklaim mengikuti kaum Salaf, figur-figur terkemuka dari generasi awal Islam hingga abad kedua hijriah, tetapi pada praktiknya Salafisme cenderung mengikuti Mazhab Hanbali yang cenderung ketat dan literal.
Dari paparan historis di atas, dapat dikatakan bahwa radikalisme dan fundamentalisme Islam, sebagaimana juga fundamentalisme dalam agama lain, memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan kelompok lain.
a.       Skripturalisme, yaitu pemahaman harfiah dan tektualis atas ayat-ayat al-Qur’an. Karenanya mereka menolak hermeneutika sebagai cara dalam memahami al-Qur’an.
b.      Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap akan merusak kesucian teks.
c.       Penolakan terhadap pendekatan historis dan sosiologis yang dipandang akan membawa manusia melenceng jauh dari doktrin literal kitab suci.
d.      Memonopoli kebenaran atas tafsir agama, di mana mereka menganggap dirinya yang paling berwenang dalam menafsirkan kitab suci dan memandang yang lainnya sebagai kelompok yang sesat.
Ketika teks-teks keagamaan dipahami secara dangkal, maka tidak menutup kemungkinan akan melahirkan paham dan gerakan radikal. Karena itulah, untuk menangkal gerakan radikal, salah satu langkah yang diperlukan adalah pemahaman yang benar dan komprehensif atas teks-teks keagamaan tersebut.
5.      Telaah atas Ayat-ayat Kekerasan dalam al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an yang sering kali disalah pahami dan dijadikan dalil bagi tindakan-tindakan radikal adalah ayat-ayat jihad dan ayat-ayat perang. Karena itu, menjadi penting untuk memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan konteks dan maksud pensyariatannya. Berikut ini Penulis akan diuraikan tentang kedua kelompok ayat tersebut.
1.      Ayat-ayat jihad.
Bagi sebagian kelompok, jihad terkadang diartikan perang melawan musuh Islam, sehingga tindakan kekerasan terhadap segala sesuatu yang dianggap musuh Islam, merupakan perbuatan jihad yang mulia. Akibatnya, kata jihad menjadi sesuatu yang mengerikan dan mengakibatkan Islam menjadi tertuduh. Islam dipandang oleh orang di luar Islam dan Barat sebagai agama teroris. Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa istilah jihad merupakan salah satu konsepsi Islam yang paling sering disalahpahami, khususnya di kalangan para ahli dan pengamat Barat. Padahal, jika kita telusuri kata jihad dalam al-Qur’an sebagaimana akan dijelaskan dalam paparan berikut berbeda dengan radikalisme dan peperangan. Jihad selain merupakan salah satu inti ajaran Islam, juga tidak bisa disederhanakan dan diindentikkan dengan perang Perang selalu merujuk kepada pertahanan diri dan perlawanan yang bersifat fisik, sementara jihad memiliki makna lebih luas. Di sisi lain, qital sebagai terma keagamaan baru muncul pada periode Madinah, sementara jihad telah menjadi dasar teologis sejak periode Mekah.[9]
Menurut Seyyed Hossein Nasr, dari 36 ayat al-Qur’an yang mengandung (sekitar) 39 kata ja-hada dengan berbagai derivasinya, tidak lebih dari 10 ayat yang terkait dengan perang. Selebihnya kata tersebut merujuk pada segala aktivitas lahir dan batin, serta upaya intens dalam rangka menghadirkan kehendak Allah di muka bumi, yang pada dasarnya merupakan pengembangan nilai-nilai moralitas luhur, dari mulai penegakan keadilan hingga kedamaian dan kesejahteraan umat manusia. Dengan kata lain, jihad adalah kesungguhan hati untuk mengerahkan segala kemampuan untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pada tataran ini, pengabdian (ibadah) yang tulus dan penuh kesungguhan serta hubungan antar sesama manusia yang dilandasi kejujuran dan ketulusan adalah bagian dari jihad.[10]
jihad pada jalan Allah memiliki spektrum yang luas, yang tidak terbatas pada perang melawan musuh-musuh Allah, tetapi juga:
a.       perjuangan untuk melindungi kaum duafa dari kekufuran, kefakiran, kemiskinan dan ketertinggalan.
b.      mendorong kaum muslim untuk mengamalkan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
c.       membangun berbagai sarana dan prasarana dakwah, pendidikan, pusat penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d.      membangun kualitas hidup kaum muslim sehingga menjadi umat yang cerdas dalam aspek intelektualitas, emosional, dan spiritualitas.
e.        mendorong umat Islam untuk peduli terhadap pelbagai masalah sosial dan kemanusiaan guna mewujudkan perdamaian bagi seluruh manusia.
f.       menyadarkan umat Islam tentang perlunya menjaga kesehatan secara kuratif, preventif, dan promotif, termasuk kesehatan lingkungan agar mereka menjadi komunitas yang sehat, serta memiliki andil dalam pembangunan kualitas manusia yang unggul
Dalam konteks Indonesia kekinian, misalnya, persoalan umat dan bangsa yang cukup menantang untuk dijadikan lahan jihad adalah masalah korupsi, penjarahan kekayaan negara, kemiskinan dan keterbelakangan, dan isu-isu lain.
2.      Ayat-ayat perang.
Selain ayat-ayat jihad, ayat-ayat yang kerap kali dijadikan dasar pengembangan untuk mengidentifikasi Islam sebagai agama pro-kekerasan dan mendukung aksi terorisme adalah ayat-ayat perang. Karena itu, dalam paparan berikut ini ayat-ayat tersebut akan dikaji sesuai dengan konteks dan maknanya dalam perspektif Al-Qur’an.
Kata qital perang dengan berbagai bentuknya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 12 kali. Secara bahasa, qital berasal dari qa-ta-la yang membentuk kata benda, al-qatl yang bermakna melenyapkan ruh dari tubuh seseorang. Adapun menurut Ibnu Manzur, kata qa-ta-la memiliki beberapa makna yaitu
1.      la‘ana (mengutuk)
2.      al-muqa>talah (saling membunuh)
3.       al-muha>rabah (saling membinasakan antara dua orang)
Menurut al-Qur’an, perang merupakan alternatif terakhir dari berbagai pilihan yang harus diupayakan dalam mewujudkan perdamaian yang merupakan pesan esensial al-Qur’an. Ketika perdamaian ini ada yang mengganggu dan tidak dihargai dan ketika kaum muslim dizalimi, maka Allah mengizinkan kaum muslim untuk memeranginya. Ia semacam pintu darurat yang hanya diizinkan dalam kondisi tertentu.Q.S. al-Hajj [22]: 39-40 adalah ayat pertama kali yang turun terkait dengan perintah perang dalam Islam, setelah selama lebih dari sepuluh tahun di Mekah, kaum muslim dianiaya. Sebelum diizinkan untuk berperang, mereka diperintahkan untuk menahan diri (Q.S. an-Nisa’ [4]: 77) dan tetap bersabar dan berteguh hati (Q.S. al-Baqarah [2]: 109; Q.S. al-Ankabut [29]: 59, dan Q.S. an-Nahl [16]: 42). Setelah kaum muslim terusir dari kampung halaman mereka dan orang-orang yang tetap tinggal bahkan mengalami perlakuan yang lebih kejam, barulah Allah mengizinkan mereka untuk berperang.
Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan Syalabi, siapa yang mendalami ayat tersebut akan melihat bahwa Islam sebenarnya tidaklah menginginkan peperangan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata kerja pada awal ayat yang menggunakan term mabniy majhul uzina di mana pelaku fa‘il nya yang dalam hal ini Allah disembunyikan. Ini menggambarkan betapa Allah tidak senang dengan peperangan. Secara fitrah, memang manusia cenderung tidak menyukai perang dan kekerasan (Q.S. al-Baqarah [2]: 216). Karenanya, ketika ayat ini turun, ada kaum muslim ada yang belum cukup yakin dengan ayat ini untuk dijadikan alasan untuk melakukan peperangan.
Dari sini, maka hubungan Islam dengan dunia luar dibangun atas dasar perdamaian. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti ada pihak yang memerangi Islam dan mengganggu agama, maka perang pun kemudian dibenarkan. Bahkan, perang dalam rangka membela agama bukan hanya dibenarkan oleh Islam. Agama Kristen yang sering digambarkan sebagai agama yang sangat toleran dan penuh kasih juga membolehkan perang dalam situasi manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22]: 35-38, Lukas [12]: 49-52).
Setelah ayat tersebut, kemudian Allah menurunkan ayat yang menegaskan tentang diperbolehkannya perang sebagai penguat ayat di atas, yakni Q.S. al-Baqarah [2]: 190. Pemberian izin perang dalam ayat ini tidaklah mutlak, melainkan bersyarat bahwa peperangan itu dilakukan kepada orang yang memerangi saja dan tidak melampaui batas. Nabi saw. dan para penerusnya, ketika mengirimkan pasukan perang, selalu memberikan intruksi agar tidak menyerang penduduk sipil, yakni kaum wanita, orang tua, dan umat beragama yang sedang beribadah, atau memusnahkan hasil panen dan ternak mereka. Artinya, Islam melihat peperangan lebih sebagai tindakan defensif. Ofensif hanya dipandang legitimate untuk membela kebebasan beragama (Q.S. al-Hajj [22]: 39-41), melawan penyerangan dan membela diri (Q.S. al-Baqarah [2]: 190), membela orang-orang yang tertindas atas penindasan kelompok lain, pengkhianatan terhadap perjanjian, dan penganiayaan (fitnah) sebagaimana dijelaskan ayat-ayat yang lalu dan ayat-ayat ini: Q.S. an-Nisa’ [4]: 75, Q.S. al-Baqarah [2]: 251, Q.S. al-Anfal [8]:55-57, Q.S. al-Anfal [8]: 39, dan Q.S. al-Baqarah [2]:191-193.
Jika Q.S. al-Anfal [8]: 190 berbicara tentang kapan peperangan diizinkan untuk dimulai oleh kaum muslim, maka ayat 193 menjelaskan kapan peperangan harus mereka hentikan serta konsekuensi yang dipikul oleh yang enggan menghentikannya. Ia dapat dimulai saat ada musuh yang menyerang. karena tujuan peperangan adalah menghentikan penganiayaan.
Begitu pentingnya penghentian peperangan dan keinginan al-Qur’an untuk mencipatakan perdamaian, sampai Allah mengingatkan dalam Q.S. al-Anfal [8]: 61. Ketika perang selesai pun, al-Qur’an ataupun hadis memberikan berbagai ketentuan menyangkut perlakuan terhadap tawanan perang dan hubungan baru dengan kaum non-muslim. Perang tentu saja tidak dilihat sebagai alat dalam agama untuk mengubah agama masyarakat lain. Syekh Ali Jumu’ah, Mufti Agung Mesir, menyebutkan enam syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yakni:
1.      cara dan tujuannya jelas dan mulia.
2.      perang hanya dibolehkan terhadap pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil)
3.      perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih perdamaian .
4.      melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi.
5.       memelihara lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, dan merusak rumah/bangunan;
6.      menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[11]
Dengan demikian, kendati perang qital mendapat legitimasi, ayat-ayat mengenai keharusan kaum muslim untuk berpegang pada etika-moral luhur dan jihad dalam makna luas tetap berlaku. Bahkan, melalui pengaitan qital dengan jihad, umat Islam dituntut untuk tetap berpegang teguh dengan keluhuran akhlak kendati saat melakukan perlawanan yang bersifat fisik.
C.    Kesimpulan
Ekspresi radikalisme beragama memang dirasakan sangat mengerikan. Mulai dari mengkafirkan orang-orang yang tak sepaham, sampai menyerang orang-orang di tempat-tempat hiburan, membunuh para dokter dan perawat dalam klinik aborsi, tidak segan-segan menyerang dan membunuh musuh yang tak seideologi. Bahkan menggulingkan dan membunuh presiden sekalipun demi agama.Pada dasarnya agama mengajarkan kepada manusia kedamaian dan kesetiakawanan satu sama lain, saling hormat menghormati, membangun kesetiakawanan baik dalam seagama maupun penganut agama di luar agama yang dianutnya.
Namun dalam keseharian kita, tidak sedikit menemukan kekerasan oleh seseorang yang menganut suatu agama, baik terhadap seagama maupun kepada orang yang lain yang menganut agama yang berbeda. al-Qur’an merupakan kitab universal, maka ayat-ayatnya harus dipahami secara holistik-komprehensif dan tidak diambil secara sepotong-sepotong atomistik. Oleh sebab itu, ditawarkan pendekatan pemahaman dengan cara munasabah antar ayat, pendekatan lain yang ditawarkan adalah dengan melihat latar belakang kesejarahan asbab nuzul terhadap turunnya ayat-ayat tertentu. Oleh karena itu dengan teoriteori tersebut diharapkan al-Qur’an akan menjadi Kitab rujukan di semua tempat dan sepanjang waktu untuk mencapai kedamaian dan kemaslahatan. Sehingga pada akhirnya al-Qur’an akan menjadi Rahmatan lil a’alamin sepanjang masa.












Daftar Pustaka
       Kamus Besar Bahasa  Indonesia (KBBI) radikalisme https:// kbbi.web.id/radikal
       Adeed dawisha, (1986)  the Arab and Radicals.
       Karen Amstrong, (2000) The Battle for God.
       Edy Kristiyanto OPM, Perspektif-perspektif Historis Tentang Radikalisme Religius dalam Agama
       Katolik, Dalam Radikalisme Agama, Bakhtiar Efendy (ed), Jakarta: PPIM-IAIN, 1998.
       Abudin Nata,(2001) Peta Keberagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
       Yusril Ihza Mahendra, Fundamentalisme, Faktor dan Masa Depannya, dalam M. Wahyu Nafis,Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. 1.
       Abd. A’la, “Pembumian Jihad dalam Konteks Indonesia Kekinian: Pengentasan Masyarakat dari Kemiskinan dan Keterbelakangan”, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Volume VIII, Nomor 32, Oktober-Desember 2009,
       Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003).
       Ali Jumu’ah, “al-Jihad fi al-Islam”, dalam H{aqiqat al-Islam fi ‘Alam Mutagayyir (Kairo: Kementerian Wakaf Mesir, 2003)











[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme https://kbbi.web.id/radikal
[2] Adeed dawisha the Arab and Radicals (1986) hal 12
[3] Karen Amstrong, The Battle for God, (2000) hal 25
[4] M. Amin Rais, Op cit. hal. 4.
[5] Edy Kristiyanto OPM, Perspektif-perspektif Historis Tentang Radikalisme Religius dalam Agama Katolik, Dalam Radikalisme Agama, Bakhtiar Efendy (ed), Jakarta: PPIM-IAIN, 1998, hal. 45.
[6] Abudin Nata, Peta Keberagamaan Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001, Cet. 1., hal. 19.
[7] Yusril Ihza Mahendra, Fundamentalisme, Faktor dan Masa Depannya, dalam M. Wahyu Nafis, Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. 1, hal. 98.
[8] 2Haidar Bagir, “Takfirisme: Asal Usul dan Perkembangannya”,hal 21
[9] Abd. A’la, “Pembumian Jihad dalam Konteks Indonesia Kekinian: Pengentasan Masyarakat dari Kemiskinan dan Keterbelakangan”, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Volume VIII, Nomor 32, Oktober-Desember 2009, hlm. 55.
[10] Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 313-314.
[11] 52Ali Jumu’ah, “al-Jihad fi al-Islam”, dalam H{aqiqat al-Islam fi ‘Alam Mutagayyir (Kairo: Kementerian Wakaf Mesir, 2003), hlm. 700.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar