Halaman

Senin, 03 Februari 2020

SUDAH TERPOLAKAH PIKIRAN BALON GUBERNUR SUMBAR TENTANG ANCAMAN BENCANA DALAM VISI MISI MEREKA ?




 Pemilihan Kepala Daerah sumatera barat  yang akan berlangsung pada 2020. menjadikan, tensi politik  di sumbar mengalami peningkatan.dimana dari tahun lalu sudah banyak baliho-baliho balon gubernur yang terpampang di setiap sudut jalanan di sumbar, sumbar adalah salah satu provinsi yang terkenal dengan adat istiadat yang  lekat akan unsur religiusnya, tetapi sumbar juga kaya akan potensi bencanya dimana memiliki tatanan geologi sangat kompleks. Kondisi ini disebabkan letaknya yang berada pada daerah tumbukan dua lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan dan lempeng Eurasia di bagian Utara yang ditandai dengan terdapatnya pusat-pusat gempa tektonik di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan sekitarnya.
Akibat pergeseran kedua lempeng besar tersebut selanjutnya menimbulkan gejala tektonik lainnya yaitu busur magmatik yang ditandai dengan munculnya rangkaian pegunungan bukit barisan beserta gunung apinya dan sesar/patahan besar Sumatera yang memanjang searah dengan zona tumbukan kedua lempeng yaitu Utara-Selatan.dampak negatif wilayah Sumatera Barat secara geologi merupakan wilayah yang berpotensi untuk terjadinya bencana alam beraspek geologi berupa gempa tektonik. Baik yang berpusat di darat yaitu pada jalur patahan sesar Sumatera atau yang lebih dikenal dengan Patahan Semangko. Selain ancaman gempa dan tsunami sumbar juga tiap tahunnya dilanda banjir dan tanah longsor.
Dalam rekapitulasi data bencana dari BPBD sumbar menyebutkan untuk tahun 2019 saja sumbar mengalami total kejadian bencana sebanyak 750 dalam berbagai bentuk bencana yang mendominasi adalah banjir, tanah longsor dan banjir bandang,dengan peristiwa bencana yang sedemikian banyaknya tentu akan mengganggu faktor ekonomi. Sebagai contoh untuk bencana gempa tahun 2009 di sumbar menurut data kerugian materi yang dihimpun Satkorlak PB Sumbar mencapai Rp 4.815.477.418.268. Terganggunya laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah pascabencana alam merupakan salah satu dampak negatif terjadinya bencana alam. Bencana alam menyebabkan terjadinya penyusutan kapasitas produksi dalam skala besar yang berdampak kepada kerugian finansial.Untuk memulihkan kondisi ekonomi suatu wilayah pascabencana dibutuhkan kapasitas pendanaan yang tidak jarang melebihi kemampuan suatu wilayah dimana bencana alam terjadi. Selain itu, bencana tidak hanya berdampak kepada daerah dimana bencana terjadi tetapi dapat berdampak lebih luas kepada ekonomi secara nasional.
            Dengan potensi bencana yang selalu mengancam sumbar seharusnya calon-calon gubernur sumbar yang akan memegang kekuasaan di sumbar harus memahami apa saja potensi bencana dan dampak materi serta non materi dari bencana yang akan terjadi dengan anggaran APBD sumbar pada tahun 2020 yang telah di sahkan DPRD dan pemprov sumbar sebesar Rp 7,3 Triliun dibandingkan dengan kerugian gempa pada tahun 2009  Rp 4 triliun lebih maka tentu akan mengganggu ekonomi sumbar, maka calon-calon gubernur sumbar seharusnya memiliki visi dan misi yang jelas terhadap penanggulangan bencana, menurut seorang filsuf Prancis michel Foucault, Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi.jadi hendaknya calon-calon gubernur sumbar yang akan berlaga dalam pilkada 2020 ini mempunyi visi dan misi yang jelas dalam antisipasi bencana kerena setelah memegang kekuasaan mereka harus menentukan susunan aturan serta hubungan yang real dalam antisipasi bencana di sumbar.

DUNIA ARAB MENERAPKAN DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN AGAMA dan KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA


PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Agama dan demokrasi adalah dua hal yang sangat berbeda secara pengertiannya maupun refleksinya terhadap penganutnya tapi disini kita akan melihat hubungan keterikatan agama dan demokrasi dan factor pembeda yang mempengaruhi hubungan agama dan demokrasi. Secara pengertian, dasarnya demokrasi adalah ciptaan manusia yang pada harafiahnya berusaha ingin membuat tatanan hidup manusia itu lebih teratur. Namun disisi lain, manusia pada hakikatnya memiliki agama yang menjadi dasar dan tujuan hidup agar terarah dan berpedoman pada kebaikan sesuai dengan hukum Tuhan.Hubungan antara agama dan demokrasi, sebagai sebuah kondisi ideal, demokrasi tentu dicita-citakan oleh banyak kalangan.
Tetapi upaya menuju demokrasi yang ideal merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Proses menuju demokrasi inilah yang disebut sebagai demokratisasi. Demokratisasi biasanya diawali dengan adanya liberalisasi (meluasnya kebebasan). Dalam tahap ini media massa agak diberi kelonggaran sehingga tidak menghadapi ancaman pembredelan, masyarakat cukup leluasa melakukan partisipasi sosial melalui organisasi dan wahana lain, serta mulai berkembang penghargaan terhadap keragaman (pluralisme).
 Di Timur Tengah, Islam[1] sendiri menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. konsep aktivisme agama sebagai dasar untuk memahami bagaimana Islam menjadi dasar sebuah gerakan sosial. Aktivisme adalah praktik atau perilaku yang tidak biasa, dilakukan secara kolektif atau individu, secara institusional atau formal, untuk menyebabkan perubahan sosial. Terminologi tersebut menggambarkan fenomena yang selaras dengan perilaku aktif yang berlandaskan dasar-dasar agama. Islam, dalam hal ini menjadi aktivisme Islam, menggambarkan bagaimana perilaku tidak biasa diciptakan oleh kelompok Muslim di era modern. Politik bisa menjadi salah satu aspek yang disasar. Terlepas dari Islam sebagai ideologi, secara umum terdapat dua interpretasi yang berusaha diciptakan untuk memahami pergerakan politik agama di era modern. Kelompok tradisional menggambarkan Islam sebagai gerakan reaktif atas nilai-nilai modern yang lekat dengan budaya Barat, umumnya anti terhadap demokrasi. Kelompok ini hirau mengenai pentingnya revivalisme agama. Bagaimana agama diupayakan untuk berjaya layaknya pencapaian di era sebelumnya dan pengidentifikasian diri melalui gambaran di masa lalu mengenai kelahiran agama yang bersifat "quasi-religious",serta bagaimana kita melihat agama dan demokrasi melalui teori sosiologi menurut Max weber
1.2  Rumusan Masalah
Dari judul dan penjelasan di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu bagaimana melihat dunia  arab dalam menerapkan demokrasi dalam kehidupan agama dan kehiduapan sosial budaya Arab itu sendiri serta melihat permasalahan ini melalui  teori sosiologi agama menurut max weber
1.3  Metodologi
Hukum Islam tentang agama dan demokrasi dapat kita lihat, yaitu:
  1. Al i’tibar al qodha’ (memberikan suatu hukum yang didasarkan pada bukti-bukti nyata)
Disini dapat saya jelaskan agama dan demokrasi dalam Islam. Demokrasi merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam, karena sistem ini meletakkan rakyat sebagai sumber hukum atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota parlimen). Maka dengan demikian, landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah Ta’ala, tapi kepada rakyat dan para wakilnya.
  1. Al i’tibar ad diyaty (memberikan suatu hukum yang didasarkan pada tujuan)
Islam adalah agama yang sangat terbuka dan akomodatif terhadap segala perkembangan kebudayaan manusia dengan konsep-konsep yang dikembangkannya. Demokrasi, bagi Islam, bukanlah sesuatu yang asing karena di dalamnya terkandung konsep kesetaraan diantara seluruh manusia. Tiada suatu bukti yang jelas dan transparan yang dapat dijadikan indikator bahwa konsep demokrasi menyalahi dan bertentangan dengan syura. Masalahnya sekarang adalah bagaimana umat Islam mengisi demokrasi itu sejalan denga syariat Islam. Wallahu A’lam.

2. PEMBAHASAN
2.1  Pengertian agama serta bagaimana sejarah dan pengertian demokrasi.
  1. Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti “tradisi”. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan bereligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.Agama sebagai pedoman kehidupan yang mengatur hubungan kita manusia terhadap Tuhan Sang Pencipta serta mempedomani agama tersebut melalui manusia pilihan Tuhan yaitu nabi sebagai utusan dan pembawa pesan dari Tuhan kepada manusia yang disebut wahyu. Didalam wahyu berisi tentang perintah dan aturan kehidupan Tuhan terhadap manusia.
  1. Sejarah dan Pengertian Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat dan Cratos/Kratien/Kratia yang artinya kekuasaan pemerintahan. Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran Yunani tentang hubungan Negara dengan hukum, yang dipraktikkan antara abad 6 SM sampai abad 4 M. Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung, yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warganegara berdasarkan prosedur mayoritas.
Disini saya juga akan menjelaskan macam-macam sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaannya ada berbagai macam perbedaan antar satu Negara dengan Negara yang lainnya yang disesuaikan dengan kebudayaan dan kehidupan sosial di masyar[2]akatnya. Namun, semua konsep menggunakan istilah demokrasi yang menurut asal katanya berarti rakyat berkuasa atau “government or rule by the people”, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang:
  1. Atas dasar penyaluran kehendak rakyat.
Dalam hal ini dapat dibedakan atas demokrasi langsung dan demokrasi tidak  langsung.
  1. Atas dasar prinsip ideologi.
Berdasarkan pemahaman ini, ada dua prinsip demokrasi berdasarkan ideologi yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi liberal dan demokrasi rakyat disebut juga demokrasi Proletar yang berhaluan Marxisme dan Komunisme.
2.2  Sosiologi Agama, Menurut Max Weber Dan Relevansinya 
Istilah ”Sosiologi” dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini. Secara sederhana ”sosiologi” berarti studi mengenai masyarakat dipandang dari satu segi tertentu. Baik Comte maupun Herbert Spencer (1820-1903), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisa sosiologis, sedang beraneka ragam kelembagaan dan interrelasi antar lembaga itu merupakan sub unit dari analisa. Karena itu pusat perhatian sosiologi adalah tingkah laku manusia; namun tidak terkonsentrasi pada tingkah laku individual tetapi juga secara kolektifnya—namun lebih banyak segi kolektifnya dan relasinya dengan masyarakat. Dengan demikian sosiologi merupakan studi mengenai tingkah laku masyarakat dalam konteks sosial. Menurut Weber, dalam memahami sosio budaya maka diperlukan metode khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang melibatkan dirinya dengan suatu penafsiran dan tindakan manusia secara sensitif. Buku Weber yang terkenal berjudul The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1904), [3]mengawali karirnya sebagai sejarawan ekonomi dan ahli sosiologi. Dalam buku ini Weber membahas masalah hubungan antara berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi, di kalangan masyarakat Barat sejak abad ke-16 hingga sekarang. Weber sampai pada kesimpulan bahwa kebangkitan kapitalisme didukung oleh sikap yang ditentukan oleh Protestanisme asetik. Jadi bukan (kekuatan) ekonomi yang menentukan agama, tetapi agamalah yang menentukan arah perkembangan ekonomi.
Weber menyatakan bahwa para pemimpin reformasi protestan tidak bermaksud menegakkan pondasi semangat untuk suatu masyarakat kapitalis dan seringkali mengecam kecenderungan kapitalis di jaman mereka. Namun, revolusi industri dan pertumbuhan bisnis berskala besar jauh lebih cepat berkembang di daerah Protestan daripada di daerah Katolik, dan daerah-daerah yang berbau Protestan jauh lebih giat dalam pengembangan bisnis.
Lebih lanjut Weber mengatakan bahwa bekerja adalah nilai intrinsik, bukan sekedar konsekuensi dari tuntutan hukum atas diri Adam. Saya kira perlu disepakati juga bahwa Calvinisme kata Weber bukan ajaran Katholik atau Lutheran, menekankan kebebasan untuk memilih panggilan, bukan kewajiban untuk menerima ketetapan yang diberikan kepada manusia ketika dilahirkan. Kedua aspek dari doktrin panggilan ini, yakni kesungguhan dalam bekerja dan hak serta tugas individu untuk memilih bidang kegiatannya, jelas akan membantu perkembangan ekonomi bila keduanya tidak hanya diajarkan, tetapi dipraktekkan secara aktual. Weber berkeyakinan bahwa kedua aspek tersebut secara merata dipraktekkan di mana saja doktrin Calvinisme tentang takdir (predestination) dipegangi secara sungguh-sungguh. Yang menarik dari uraian Weber adalah ketika membicarakan agama dari sudut fungsi.
 Weber menyebut fungsi manifes dan laten agama. Fungsi agama adalah memperkuat hukum/aturan moral masyarakat baik secara langsung maupun tidak. Definisi fungsional sering menimbulkan kesalahfahaman antara fungsi manifes dan fungsi laten. Robert Merton mengatakan fungsi manifes adalah fungsi yang diakui dan diharapkan untuk mencapai tujuan. Sedangkan fungsi laten adalah akibat yang tidak diharapkan. Salah satu fungsi manifes gereja adalah mempersatukan komunitas dalam semangat persaudaraan; sedangkan fungsi latennya adalah membagi komunitas berdasarkan ras dan kelas. Walaupun mengkhotbahkan ”di hadapan Allah semua orang adalah sama”, namun gereja memamerkan perbedaan kekayaan yang nampak pada para anggota yang berpakaian bagus dan yang sangat sederhana pada hari Minggu.
Bahkan ketika berbicara aspek kelas, ras dan etnis dalam agama, menurut Weber institusi agama dari sebuah masyarakat tercipta dan didominasi oleh golongan penguasa dalam masyarakat tersebut dan fungsi agama memeberi dorongan moral serta jalan keluar secara psikologi dengan tetap mempertahankan struktur kelas. Bahkan meminjam bahasa Karl Max agama adalah ”candu” bagi orang-orang yang tertindas dan teraniaya dalam mempertahnkan hidupnya. Sedangkan Durkheim memandang agama sebagai potensi yang menciptakan pergerakan dan dapat mengubah tatanan sosial. Dengan adanya perbedaan sudut pandang ini tidak mengherankan jika sebagian pekerjaan empiris dalam sosiologi agama berkaitan antara masalah hubungan agama dengan kelas sosial.
Dalam konteks agama Kristen Weber memperkenalkan istilah ”asketisisme dunia bathin” untuk mengimbangi para aktivis puritan dengan pendeta Katholik. Pendeta yang semakin dekat dengan dunia maka semakin kecil pula pengaruhnya; sedangkan bila aktivis Puritan semakin dekat maka dia akan semakin besar pengaruhnya. Tentang ”rasional” kata Weber tidak sama dengan ”berdasarkan empirik” atau ”ilmiah”, sebab efektifitas sarana untuk mendapatkan keselamatan tidak dapat dinilai dengan bukti empirik. Dalam konteks magi (sihir) dan mistisisme sebagai hal-hal yang irrasional, meskipun dari sudut pandang pelakunya efektif untuk mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan oleh pelaku tersebut.
Persoalan Nabi juga dibahas oleh Weber, para nabi (tokoh agama) kata Weber, menyaingi para pendeta sebagai ”pengemban sistematisasi dan rasionalisasi etika keagamaan”. Nabi itu sama dengan pendeta dalam tugas rasionalisasi yang dilakukannya, tetapi sama dengan ahli sihir dalam hal dia terpanggil untuk terlibat dalam tugasnya berdasarkan sifat-sifat karismatik pribadi. ”Pendeta menyatakan memiliki otoritas karena kebaikan pelayanannya dalam tradisisi yang suci, sedangkan para nabi didasarkan atas wahyu pribadi (yang diterima dari Tuhan) dan karismanya.
Agama jika dipandang dari sudut sosiologis tidak ditimba dari ”pewahyuan” yang datang dari ”dunia luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari masa lampau maupun kejadian sekarang. Artinya definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sehingga dari sudut fungsionalnya agama dapat didefinisikan sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, di lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Dengan demikian agama dilihat dari sudut daya guna dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Agama sebagai sistem budaya, merupakan konsep antropologis yang diungkapkan oleh Clifford Geertz. Dalam pandangan antropologi, pengalaman agama dianggap sebagai suatu kreasi manusia untuk menuju jalan hidup yang bervariasi, sesuai latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai yang dianut. Dalam tulisannya yang lain Abdullah Ali mengatakan Weber menggambarkan agama sebagai fenomena yang rumit dan kompleks, yang dapat memenuhi beberapa fungsi sekaligus. Ia menggambarkan dimensi-dimensi agama berdasarkan pendapat Glock dan stark
  1. Dimensi kepercayaan atau keyakinan beragama disebut juga sebagai dimensi ideologi,
  2. Dimensi ritual berkaitan dengan praktek pelaksanaan agama,
  3. Dimensi pengalaman keagamaan,
  4. Dimensi pengetahuan dan
  5. Dimensi konsekuensi beragama.
Nurchalish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, sedangkan budaya—meskipun berdasarkan agama, dapat berubah. Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Dalam Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Harun Nasution mengutip hasil penelitian Abd al-Wahab Khallaf, yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Quran yang mengatur hidup kemasyarakatan berjumlah 5,8 % dari seluruh ayat al-Quran[4].
2.3  Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam dan hubungan serta yang bertentangan.
Prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam dan hubungannya meliputi:
  1. Syura.
Merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159.
  1. al-‘adalah
adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS. As-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58, dan seterusnya.
  1. al-Musawah
adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya.
  1. al-Amanah
adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada yang lain ditegaskan Allah SWT dalam Surat An-Nisa’:58.
  1. al-Masuliyyah
adalah tanggungjawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.
  1. al-Hurriyah
adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya.[5]
Hubungan yang bertentangan antara demokrasi dan Islam adalah dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.Hal-hal yang menjadi pertentangan utama demokrasi dan Islam adalah:
  1. Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk masuk agama tertentu. Namun demikian, Islam mengharamkan seorang Muslim untuk meninggalkan aqidah Islam.
  2. Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum Muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda:“…dan kami (hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan Allah.” (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit)
  3. Berkaitan dengnan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum, seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll. juga melarang cara mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba, judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.
  4. Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas, sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islam pun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan dilakukan suka sama suka. Begitu juga perzinaan asalkan dilakukan orang dewasa yang suka sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan.
Sebagian kalangan menyatakan bahwa demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara dan standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut:
  1. Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat, dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:
إِ نِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku.” (HR Bukhari)
  1. Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas.
  2. Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas.
2.4 Mengapa demokrasi sulit diterima di dunia Arab.
Disini saya akan menjelaskan tentang sulitnya demokrasi diterima di dunia Islam khususnya di dunia Arab serta contoh konflik yang terjadi atas penerimaan demokrasi itu di Negara Islam. Dari penjelasan di atas, saya berkesimpulan demokrasi yang lahir dan berkembang adalah produk Barat yang kurang sesuai dengan budaya dan sosial ekonomi dunia Islam khususnya di dunia Arab, terjadinya konflik di dunia Arab atas penerimaan demokrasi itu sendiri menjadikan konflik semakin luas dan lama. Dapat saya contohkan seperti terjadinya Arab Spring atau peristiwa musim semi di dunia Arab dimana rakyak menghendaki sistem demokrasi tetapi hal tersebut ditentang oleh penguasa yang mereka pikir itu adalah sebuah pemberontakan rakyat.
Bila dicermati secara seksama, berbagai macam persoalan yang melanda dunia Arab dalam beberapa tahun terakhir sesungguhnya bermuara pada satu persoalan utama, yaitu perpecahan (al-insyiqaq). Perpecahan ini setidaknya terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu:
  1. Pertama, perpecahan pada tingkat satu Negara.
Perpecahan pada tingkat ini bisa dilihat dari bermacam gerakan protes rakyat atas. Pada awalnya, gerakan rakyat ini membangkitkan optimism terkait demokratisasi yang kerap dikebiri oleh para penguasa di kawasan ini.
Bahkan, bangsa Arab memberi nama gerakan ini dengan istilah musim semi Arab (ar-rabiar- rabi al- al-arabi), sejalan dengan optimism yang ada. Pada umumnya, musim semi sangat ditunggu-tunggu oleh bangsa Arab mengingat cuaca pada musim ini sangat nyaman; tidak terlalu dingin, tapi juga terlalu panas seperti biasanya. Namun, secara perlahan optimism yang ada terus terkikis hingga berbalik menjadi pesimisme yang bercampur baru dengan ketakutan, kecemasan, ketidakpastian, bahkan anarkisme. Hal ini terjadi karena gerakan rakyat yang awalnya dipuja-puja itu perlahan menjadi sebuah gaya baru masyarakat Arab yang tak jarang dimanfaatkan oleh kelompok politik untuk mencapai ambisi politiknya.
  1. Kedua, perpecahan antar Negara.
Pada beberapa bagian perpecahan pada tingkat ini disebut sebagai akibat dari perpecahan pada tingkat pertama. Dengan kata lain, gerakan rakyat Arab dalam menentang pemerintahan yang ada menyebabkan terjadinya krisis politik antara satu Negara Arab dengan Negara Araba lain. Tentu perpecahan seperti ini tidak terlepas dari benturan kepentingan antara satu Negara dengan Negara yang lain.
Rezim Bashar al-Assad, contohnya, sempat mengkritik keras pemerintahan Mesir yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Mursi. Sebaliknya, Mesir di bawah kepimpinan Ikhwan Muslimin saat itu sangat keras mengkritik rezim Bashar al-Assad, apalagi kelompik Ikhwan Muslimin di Suriah menjadi bagian dalam perang melawan pemerintahan Assad.
  1. Ketiga, perpecahan Liga Arab sebagai organisasi yang menaungi Negara-negara Arab.
Pada beberapa bagian, perpecahan pada tingkat ini bisa disebut sebagai akibat lanjutan dari perpecahan-perpecahan yang terjadi di bawahnya, yaitu perpecahan pada level satu Negara dan perpecahan pada level antar Negara Arab. Peran dan posisi Negara-negara Arab Teluk (GCC) dapat dijadikan sebagai salah satu bukti dari perpecahan yang terjadi di tingkat Liga Arab
2.5 Demokrasi di Negara Arab
Dalam kondisi seperti sekarang, demokratisasi di Negara-negara Arab menjadi sebuah tanda tanya besar. Apa yang salah dari demokrasi di dunia Arab? Bisakah dunia Arab berdemokrasi? Semangat yang terpendam di balik pertanyaan-pertanyaan di atas tentu melampau kajian normative tentang demokrasi, khususnya ditinjau dari perspektif agama (Islam); apakah keduanya bisa bertemu dan saling melengkapi atau tidak? Karena bila hanya sebatas gagasan dan normative, Negara-negara Arab selama ini sangat kaya dengan pemikiran dan gagasan demokrasi.Tetapi, ketika hendak diterapkan, demokrasi di Negara-negara Arab acap berlangsung secara berdarah-darah seperti sekarang.
Alih-alih berhasil, rezim otoriter dan dictator yang sempat dihempaskan oleh upaya demokratisasi justru acap kembali lagi.Inilah istilah fenomena transisi ekstrem demokrasi di dunia Arab dengan dua pelaku utamanya, yaitu rezim nasionalis-otoriter dan kelompok militantislamis. Dalam fenomena transisi ekstrem yang terjadi, seakan dunia Arab hanya dihadapkan pada dua kemungkinan, dikuasai oleh rezim nasionalis-otoriter atau kelompok militant-Islamis.Sedangkan aspirasi rakyat yang menjadi substansi utama demokrasi acap berserakan di tengah gerakan rakyat atau terpenjara di ruang tahanan kelompok oposisi. Apa yang terjadi di Mesir dalam dua tahun terakhir dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dari fenomena transisi ekstrem demokrasi di atas.
2.6  Pandangan dan respon agama itu sendiri terhadap sistem demokrasi.
Dalam demokrasi kebebasan sangat dijunjung tinggi. Bahkan ketika kaum liberal memegang sistem ini, kebebasan pun lebih sangat bisa dilakukan tanpa memandang adanya agama. Adanya agama dalam demokrasi mampu mengontrol kebebasan itu karena ada batasan-batasan yang Tuhan beritahu kepada manusia dalam menjalankan kehidupan. Maka dari itu, sangat diperlukan kaum konservatif untuk menandingi kaum liberal di konstelasi politik ini. Karena pada dasarnya kaum konservatif dalam studinya berangkat dari individu atau kelompok yang memperjuangkan agama melalui sistem demokrasi. Namun perjuangan yang didasari dari agama sangat sulit mendapatkan dukungan penuh dari mayoritas rakyat di Negara-negara Eropa dan Amerika, karena dalam doktrinnya, tidak ada relasi antara agama dan Negara. Berbeda halnya dengan Negara-ngegara Timur yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim. Gerakan agama Islam yang masuk ke dalam sistem Negara beranggapan bahwa agama dan Negara memiliki relasi. Mengapa kebebasan dalam bernegara dapat terkontrol dengan adanya agama. Dan sekarang yang perlu kita prediksi kedepan adalah kebebasan yang berlebihan akan berdampak buruk bagi sebuah entitas Negara. Hukum agama saja dapat ditolak, apalagi hukum buatan manusia. Akan ada kekacauan dan permintaan kebebasan yang terus menerus datang ke pemerintahan. Ini tandanya agama sangat diperlukan untuk mengontrol atau membuat sistem. Agama Islam memiliki relasi dengan Negara dan tentunya tidak menolak masuk ke dalam sistem demokrasi. Karena itu, semua adalah bagian dari penyelamatan Negara.
Bayangkan jika kaum konservatif Islam tidak memperjuangkan agama melalui demokrasi, mungkin semua Negara akan menjadi bebas tanpa adanya control. Dan Negara-negara Timur yang menganut sistem demokrasi sangat bersyukur bahwa masa depan Negara dan bangsa mereka akan cerah, karena relasi antara agama dan demokrasi bisa dipertemukan.Pengalaman-pengalaman umat Islam yang berbeda dalam memahami dan mengkompromikan Islam dan demokrasi ini menjadi sesuatu yang unik. Ini artinya bahwa pemikiran tentang demokrasi bukanlah sesuatu yang monolitik apalagi hanya sekedar mencangkokkan demokrasi Barat. Paling tidak, ada tiga kecenderungan:
  1. Kelompok apologetik yang menegaskan bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip kebebasan itu inheren dalam Islam. Tidak ada alasan untuk melakukan penolakan terhadap demokrasi menegaskan pentingnya egalitarianism, kesamaan derajat kemanusiaan, menolak diskriminasi dan menjunjung tinggi hak-hak manusia.
  2. Kelompok rejeksionis yang menolak demokrasi karena demokrasi berasal dari Barat, bukan dari Islam. Bahkan demokrasi bertentangan dengan Islam karena demokrasi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sementara Islam menegeaskan kedaulatan Tuhan/Allah. Sudah dipastikan demokrasi akan meminggirkan agama/Islam.
  3. Kelompok rekonstruksionis yang berusaha untuk membaca secara kritis dan mendialogkan prinsip-prinsip Islam dengan demokrasi dalam rangka menemukan dan membangun paradigm baru demokrasi yang jauh lebih progresif. Harus ada upaya secara terus menerus untuk menyegarkan pemahaman terhadap Islam dan demokrasi. Jika tidak, maka Islam akan mengalami stagnasi atau jumud dan demokrasi akan menjadi berhala baru karena sudah terlanjur diabsolutkan. Kekuatan demokrasi justru terletak kepada kesediaan dan keterbukaannya terhadap kritik internal sekaligus melakukan perbaikan-perbaikan maksimal demi kemaslahatan dan keadilan bersama.
3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan agama prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan Islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu diantaranya:
1.    Demokrasi tersebut harus berada dibawah payung agama.
2.    Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3.    Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4.    Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya, kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5.    Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi, bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Al-Qu’ran dan sunah.
6.    Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7.    Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Terdapat beberapa prinsip dan respon dari agama terhadap demokrasi. Agama dan demokrasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena tanpa adanya agama, sebuah sistem Negara seperti demokrasi akan kehilangan eksistensinya karena membiarkan kebebasan demi kebebasan menghancurkan sistem tersebut secara perlahan. Masuknya perjuangan yang didasari karena tuntutan agama melalui demokrasi adalah bentuk dari penyelamatan Negara.
3.2  Saran
Akhirnya agar sistem atau konsep demokrasi yang beragama di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan adalah:
1.      Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang agama sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
2.      Parlimen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi oleh orang-orang beragama yang memahami dan mengamalkan agama secara baik.


DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999
Yusuf al-Qardhawi, Negara Dalam Islam, terj. Oleh Syafri Halim dari Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Robbani Press, Jakarta, 1997

Sadeq jawad Sulaiman, Demokrasi dan Syura. dalam Charles Kurzman, Islam Liberal, ten. Oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi, Paramadina, Jakarta, 2001 John Dunn , Democracy the Unfinished Journey, Oxford Press, New York

M. Imam Aziz, Agama, Demokrasi dan Keadilan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993..

Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995


[1] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999
[2] Anton dkk, (1998), kbbi, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 34
[3] Yusuf al-Qardhawi, Negara Dalam Islam, terj. Oleh Syafri Halim dari Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Robbani Press, Jakarta, 1997
[4] Nurcholish Madjid, Islam: Agama Kemanusiaan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995
[5] Sadeq jawad Sulaiman, Demokrasi dan Syura. dalam Charles Kurzman, Islam