Halaman

Kamis, 26 Agustus 2021

PENGARUH DUNIA PENDIDIKAN AFGANISTAN DIBAWAH REZIM TALIBAN

 

PENGARUH DUNIA PENDIDIKAN AFGANISTAN DIBAWAH REZIM TALIBAN

 


Septevan nanda yudisman S.Pd.M.A


 

 

A.    Madrasah-madrasah Afghanistan

 

Madrasah-madrasah di Afghanistan merupakan kunci penting untuk menjelaskan asal-muasal gerakan Taliban . Taliban telah mengawali kemunculannya dari arah selatan, di sekitaran provinsi Qandahar. Hal ini kuat mengindikasikan bahwa dari banyaknya madrasah Islam yang terserak di Afghanistan, madrasah-madrasah di provinsi Qandahar hingga di perbatasan selatan Afghanistan-Pakistan merupakan tempat paling memungkinkan Taliban dalam memulai mengkonsolidasikan milisinya. Taliban yang berintikan para pelajar madrasah-madrasah di bagian selatan Afghanistan mendukung kenyataan tersebut.

 Taliban sukses melaksanakan operasi-operasi militernya sejak tahun 1994, dan pada tahun 1996 para pelajar yang dibesarkan dalam masa perang ini berhasil merebut Kabul. Pada saat-saat itu, publik Afghan dan dunia kembali menyadari bahwa madrasah-madrasah Islam di Afghanistan memang berperan penting dalam kondisi politik yang sedang bergulir. Tradisi tersebut tentu saja dipegang oleh Taliban. Oleh karena itu sebutan “Taliban” sebenarnya merujuk pada seluruh gerakan pelajar-pelajar madrasah di sepanjang sejarah Afghanistan yang berperan penting dalam peristiwa-peristiwa politik penting. Namun sebutan ini kini hanya dipakai untuk menyebut para pelajar madrasah dari bagian selatan Afghanistan, yang memulai gerakannya pada tahun 1994. Karakteristik madrasah-madrasah Afghanistan, atau lebih khususnya bagi madrasah-madrasah di bagian selatan Afghanistan tempat Taliban lahir, lebih utama sebelum membahas tujuan-tujuan dan bentuk ideologis dari gerakan Taliban. Satu hal lagi yang menjadi perhatian ketika Taliban mampu melakukan suksesi milisi pertama mereka di Qandahar, yang terus berlanjut hingga tahun 1996, adalah sebuah kenyataan bahwa pendidikan Islam yang dirangkum di dalam madrasah membuktikan dirinya menjadi sebuah unit mobilitas sosial, yaitu komunitas yang memberi kesempatan bagi pemuda Afghan untuk meningkatkan kemampuannya secara edukatif.

Hal ini terbukti dengan munculnya Taliban, meski pada awalnya mereka kurang dikenal publik. Selama masa perang melawan Soviet, pengungsi-pengungsi Afghan tersebar di seluruh perbatasan Afghanistan-Pakistan bagian selatan dan timur. Di barak-barak pengungsian tersebut kemudian muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam, seiring dengan terus berlangsungnya kegiatan pendidikan madrasah-madrasah di bagian selatan Afghanistan. Ada suatu analisis, bahwa madrasah-madrasah baru yang muncul di barak-barak pengungsian tersebut dikelola oleh sebuah partai Islam Pakistan yang disebut Jamaat Ulama Islam, yang dipimpin oleh figur Maulana Fazlur Rahman. Kemungkinan bahwa Taliban juga mencakup-inti pelajar-pelajar dari madrasah-madrasah yang dikelola partai Islam Pakistan tersebut masih sangat kabur.

 Madrasah-madrasah di Afghanistan memiliki posisi khusus di tengah masyarakat. Madrasah-madrasah tersebut menjadi tempat paling strategis bagi masyarakat Afghan untuk mengimprovisasi kehidupannya dan motivasi-motivasi sosial lain, yang hal tersebut sebenarnya telah berlangsung sejak lama.Madrasah, bagi masyarakat Afghan, merupakan sebuah bagian dari kebutuhan kehidupan.

Madrasah telah menciptakan identitas tersendiri bagi bangsa Afghan. Dalam hal ini, madrasah mungkin berperan besar bagi lintas dan batas etnis di Afghan. Kehadiran madrasah, dalam lingkup lintas dan batas etnis, berperan dan berfungsi untuk menyediakan alternatif untuk menanggulangi masalah-masalah etnis yang terjadi di Afghanistan. Masalah etnis dan kesukuan memang sempat menjadi problem serius, namun seperti dinyatakan oleh Bernt Glatzer bahwa ia yakin Afghanistan tidak berada di jurang perpecahan etnis dan tribal. Glatzer setuju bahwa jika persoalan etnis itu dikemukakan atau terlalu ditekankan, negara akan berada dalam bahaya. Hal ini diidentifikasi Glatzer sebagai kekuatan sorotan media yang menentukan, khususnya arahan media yang terlalu menajamkan persoalan-persoalan perbedaan etnis di Afghanistan.Pernyataan Glatzer tersebut sekaligus mendukung bahwa etnis, di Afghanistan, merupakan kenyataan yang sensitif lagi ringkih posisinya. Namun pernyataan dan kenyataan tersebut seolah tertangani secara otomatis dengan hadirnya madrasah. Bahkan madrasah dapat dikatakan sebagai penemuan terbesar bangsa Afghan sejak mereka mengenal keharusan adanya institusi untuk meningkatkan taraf hidup mereka secara edukatif. Madrasah di Afghanistan, kalau disadari perannya, merupakan penyangga terbesar yang meredam persoalan sosial dan politik. Wacana legitimasi madrasah-pun mampu muncul di tengah-tengah masyarakat Afghan. Masyarakat agamis ini memerlukan sebuah institusi untuk memenuhi kekosongan alternatif sosial hidup mereka. Madrasah Afghanistan pun menawarkan tatanan itu, sehingga siapa-pun penguasa yang berkuasa di Afghanistan, mereka perlu sekali mendapat legitimasi dari madrasah. Pun ketika Afghanistan diinvasi oleh kekuatan Komunisme sejak tahun 1960-an. Ketika pemerintah nampak tidak memerlukan kehadiran dan mengabaikan institusi ini, madrasah kembali menyediakan tawaran kekuatan sosial yang besar, seiring dengan identitas pemerintah yang semakin kontra terhadap rakyat. Hal ini terjadi pada pemerintahan Zhahir Shah.

Kebijakan Revolusi Kebudayaan yang digulirkan oleh Zhahir Shah secara otomatis menyinggung masyarakat Afghanistan yang sebagian besar Muslim. Madrasah-madrasah yang menjadi sentral-sentral ilmu-ilmu keislaman kemudian mulai menunjukkan sel-sel pergerakan. Hal tersebut memuncak pada tahun 1970- an, ketika para mahasiswa, yang sebagian besar berasal dari kalangan pelajar madrasah, mulai menunjukkan aksi perlawannanya kepada para penguasa yang secara sistematis berusaha meminggirkan peran madrasah. Hal tersebut kembali berlaku, pada saat Mujahidin berkuasa di Kabul, setelah mampu mengusir Soviet.

Pemerintahan Burhanuddin Rabbani memang tidak langsung meminggirkan peran dan fungsi madrasah, namun secara tidak langsung pula, pemerintahan tersebut melupakan dan mengabaikan eksistensi madrasah. Anarki yang terjadi setelah Mujahidin berkuasa, dan menguasai wilayah-wilayah Afghanistan, sehingga Afghanistan tercabik-cabik atas partai- partai Mujahidin, serta kehadiran kejahatan yang meningkat kala itu, seakan-akan melupakan adanya madrasah sebagai agen yang menjaga kekuatan moral sosial dan keamanan di Afghanistan. Maka kembalilah muncul Taliban yang utama dan pertama sebagai gerakan membersihkan degradasi moral dan menawarkan keamanan. Kemananan yang ditawarkan tersebut datang dari kalangan madrasah. Madrasah kemudian mampu menyerap pemuda-pemuda Afghan yang bersemangat dan brilian. Hal yang khusus terjadi di Afghanistan bagian selatan dan di perbatasan Afghanistan-Pakistan di selatan Afghanistan. Secara mengejutkan selama sepuluh tahun, semenjak para pengungsi Afghan menempati barak-barak pengungsian di Pakistan, madrasah-madrasah baru di barak-barak pengungsian tersebut kemudian melahirkan pemuda-pemuda yang diandalkan untuk menjadi guru-guru madrasah dan para pengurus masjid.

Hal ini merupakan pencapaian, mengingat madrasah-madrasah tersebut awalnya jelas didirikan secara temporer untuk para pengungsi. Jika partai Islam Pakistan juga mengelola madrasah-madrasah tersebut, maka mungkin di sini-lah terdapat hubungan yang berarti bagi madrasah-madrasah pengungsian tersebut dan kepentingan partai Jamaat Ulama Islam tersebut, karena jumlah lulusan madrasah yang benar-benar dalam jumlah besar. Sesuatu yang dianggap keuntungan bagi partai tersebut. Madrasah-madrasah Islam bagi masyarakat Afghan telah jelas menawarkan kesempatan-kesempatan penting. Madrasah-madrasah tersebut David B. Edwards, loc.cit. 100 kemudian menjadi tradisi positif bagi masyarakat Afghan,seiring dengan Islamisasi yang terus mengakar kuat, sekalipun pengaruh-pengaruh api sekularitas dan modernitas menjilat-jilat kebudayaan bangsa ini.

Hal ini kemudian menjadi faktor utama mengapa madrasah-madrasah Afghan selalu lebih digemari, sekalipun berbagai sekolah sekular mulai menjamahi kehidupan masyarakat Afghan. Madrasah yang telah menjadi simbol perlawanan, menyediakan identitas yang lebih bisa mengantarkan masyarakat Afghan untuk melihat dunia luar, ketimbang tawaran-tawaran menjanjikan nan semu dari sekolah-sekolah sekular. Pun inilah mengapa ketika Universitas Kabul yang sekular didirikan, sensitifitas keislaman bagi Gulbulddin Hikmatyar dan tokoh-tokoh pergerakan Islam dalam Muslim Youth Organization tetap menyemburkan api perlawanan di bawah bendera Islam.

Dengan ini, dapatlah dimengerti bahwa Taliban tumbuh di dalam lingkungan madrasah-madrasah, khususnya di madrasah-madrasah bagian selatan Afghanistan, yang dibesarkan melalui reputasi yang telah populer. Perjalanan sejarah di Afghanistan membuktikan kenyataan adanya perlawanan yang dimulai dari madrasah-madrasah Afghanistan ini. Hal ini yang kemudian digunakan sebagai legitimasi bagi Taliban sebagai modal perjuangannya, bahwa madrasah masih mampu membuktikan kekuatan sosial-politik-nya, bahkan militer di dalam arena peristiwa politik yang terjadi. Hal yang juga penting adalah tentang bentuk ideologis yang dimiliki oleh Taliban. Jika madrasah-madrasah Afghanistan telah menggambarkan tempat lahirnya gerakan ini, maka hal yang perlu digali selanjutnya adalah tentang formulasi ideologis Taliban beserta madrasah- madrasah mereka.

B.     Wajah Ideologis Taliban

Para pengamat menyebut bahwa Taliban diinspirasi oleh sebuah aliran yang disebut sebagai aliran Deobandi. Sebuah “mazhab” yang berasal dari madrasah di India utara, Deoband Darul ‘Ulum, yang telah berdiri sejak tahun 1866. William Maley menggambarkan aliran Deoband tersebut sebagai aliran yang mengajarkan agama (Islam) dengan cara-cara yang ortodoks. Taliban, dalam bahasa Maley, telah memandang “dosa dan kemungkaran berasal dari tidak terlaksananya agama secara benar. Karenanya, dianggap sangat perlu lahirnya perilaku yang memungkinkan untuk terselesaikannya kesulitan-kesulitan yang  menimpa Afghanistan.

Untuk itu Taliban membentuk satuan pengaman (polisi) yang sangat ditakuti, sebuah departemen yang bertanggung-jawab untuk pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar.” Apa yang disebut Maley dengan “ortodoks” tersebut jelas menganut framework Barat tentang cara memandang Islam, dunia Islam dan segala komponennya. Menurut catatan Dietrich Reetz, Madrasah Darul ‘Ulum Deoband didirikan pada tahun 1866, di India Utara oleh Muhammad Qasim Nanaotawi (1832-1879) dan Rashid Ahmad Gangohi (1829-1905). Madrasah ini didirikan karena kurangnya pendidikan Islam di antara Muslim India. Para pelajar madrasah mengkhawatirkan hilangnya identitas mereka dengan berkembangnya nilai-nilai Barat dan pengajaran bahasa Inggris dalam masyarakat. Setelah kekalahan gerakan anti-kolonialisme pada tahun 1857-1858, yang mana banyak bangsawan-bangsawan Muslim dan para pelajar ambil bagian di dalamnya, institusi Islam dicurigai sebagai institusi yang masih memberontak.

Apa yang disebut Barat sebagai “fundamentalisme Islam” memang semakin lama membentuk phobia bagi Barat sendiri. Ini adalah pertaruhan ideologi bagi Barat. Di Afghanistan, pada era Taliban ini, Negara dan pemerintahan Islam Taliban merupakan sebuah momok, karena ketakutan Barat akan sebuah hegemoni yang menyainginya ternyata telah muncul, setelah lam Barat bersembunyi di balik zona nyaman pasca keruntuhan Khilafah Turki Utsmani. Dengan demikian, Barat buru-buru melabeli Taliban dengan wajah ideologis yang penuh konflik semacam ini, meskipun telah sejak lama istilahistilah ideologis konflik ini digunakan, sepanjang gerakan-gerakan yang menjadikan Islam sebagai satu-satu-nya ada ideologi terus eksis dan stabil di muka bumi Pada gilirannya, jika Barat dalam memandang wajah ideologis Taliban dengan garis filosofis konflik ini, maka tentu akan ada wilayah konfrontasi yang sangat dalam antara Islam dan Barat. Meminjam istilah Naquib al-Attas, inilah yang disebut sebagai A Permanent Confrontation—sebuah konfrontasi abadi. Sehingga, konsep konfrontasi abadi ini, jelas menyeret Taliban ke dalam panggung sejarah pertentangan antara Islam dan Barat. Dengan deklarasi Negara Islam Taliban, kebijakannya memasukkan “fundamentalis Islam” ke dalam Afghanistan, serta menjadikannya negara paling strategis dalam persinggunagan dan embrio peta konflik Barat dengan Islam. Namun ada satu wilayah bagi Taliban sebelum menyusuri garis takdir sejarah tersebut, ialah perjuangannya untuk bergerak menyusuri dan merebut provinsi-provinsi Afghanistan yang diduduki Mujahidin. Meskipun pada level ini, aroma persimpangan ideologis telah menyambangi Taliban.

 

 

C.    Perjuangan Mengawal Afghanistan

Jarang ada sebuah gerakan Islam yang melakukan eksperimen gerakannya begitu cepat, namun tetap mendapatkan hasil prestasi yang maksimal. Inilah yang ditunjukkan Taliban melalui penaklukkan ibukota Afghanistan, Kabul, yang dilakukan dalam waktu, kurang lebih, tiga tahun sejak gerakan Islam ini memulai gerakannnya pada awal tahun 1994. Dengan ini, kembalilah terjadi pergeseran kekuatan pada kehidupan politik di Afghanistan. Pergeseran kekuatan yang begitu cepat ini segera memberi ruang pada pertanyaan identitas tentang kelompok yang  melakukan pergeseran itu. Itu semua karena sejak penaklukkan Taliban atas Kabul, media masa masih mempertanyakan visi politik kelompok ini.

Namun semuanya menjadi jelas ketika Taliban berkomitmen untuk mendeklarasikan sebuah negara yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam,tak lama setelah menggeser Burhanuddin Rabbani. Madrasah-madrasah di Qandahar dan perbatasan Afghanistan-Pakistan nampaknya telah berhasil mempersiapkan Taliban untuk menanggung pekerjaan- pekerjaan besar di dunia luar, beserta kepentingan-kepentingan yang berlaku. Namun tanggung-jawab atas proses follow up, rekruitmen dan konsolidasi internal pada tubuh Taliban dilimpahkan kepada seorang pria Qandahar, mantan veteran Afghan dalam melawan Uni Soviet, yang sangat low profile. Dialah Mullah Muhammad ‘Umar yang kerap disapa Mullah ‘Umar. Hingga Taliban mampu menaklukkan Kabul dan mendeklarasikan terbentuknya Negara Islam pada tahun 1996, Mullah ‘Umar inilah yang resmi ditetapkan sebagai Amirul Mu’minin (pemimpin orang beriman) Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban.

Sejak pengambil-alihan pemerintahan itu juga, Taliban segera mengorbitkan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang baru terbentuk tersebut. Sambil melacak keberadaan Rabbani dan Hikmatyar di wilayah utara dan menyusun strategi praktis untuk menaklukkan tiga propinsi yang belum jatuh, penerapan hukum Islam di Afghanistan mulai diberlakukan termasuk permasalahan-permasalahan teknis keseharian. Dengan berdenyutnya kembali jantung politik dan nadi pemerintahan Kabul di bawah Taliban, Afghanistan jelas akan menghadapi tantangan-tantangan baru. Terutama visi politik dan pemerintahan Islam ini jelas akan menjengkelkan Barat, yang selama ini memandang Islam sebagai tantangan hegemoninya, bersama para pengikutnya. Begitu pula sebaliknya, Barat, terutama Amerika Serikat, akan menjadi tantangan serius bagi Taliban. Hal ini mengingat Amerika Serikat dan Barat juga memerlukan konflik untuk menguatkan status identitasnya, di samping tujuan.

D.    Metode Penelitian.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksplanatif analitis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Bentuk penelitiannya adalah penelitiannon-reactive dengan menggunakan literature review. Model penelitian yang digunakan adalah dengan studi kasus.Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yaitu menggunakan buku dan jurnal mengenai ilmu hubungan internasional, kasus Taliban, dan materi-materi yang mendukung tulisan ini. Penulis menggunakan data sekunder karena penulis membahas judul mengenai strategi suatu kelompok radikal, sehingga belum ditemukan data primer yang mendukung penelitian ini. Sumber-sumber tersebut didapatkan melalui studi literatur termasuk akses data melalui internet. Akses internet dilakukan dengan selektif melalui alamat situs yang kredibilitasnya dapat dipercaya. Data yang telah didapatkan, kemudian akan dipilih sesuai dengan tema penelitian.

E.     Pembahasan.

Madrasah-madrasah di Afghanistan merupakan kunci penting untuk mengetahui awal munculnya Taliban. Taliban mengawali kemunculannya dari arah selatan, di sekitar provinsi Kandahar. Hal ini kuat mengindikasikan bahwa dari banyaknya madrasah di Afghanistan, madrasah-madrasah di daerah provinsi Kandahar hingga di perbatasan selatan Afghanistan-Pakistan merupakan tempat paling memungkinkan Taliban dalam memulai mengkonsolidasikan milisinya Madrasah-madrasah di Afghanistan memiliki posisi khusus di tengahmasyarakat. Madrasah-madrasah tersebut menjadi tempat paling strategis bagimasyarakat Afghan untuk mengimprovisasi kehidupannya dan motivasi-motivasisosial lain, yang hal tersebut sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Madrasah, bagi masyarakat Afghan, merupakan sebuah bagian dari kebutuhankehidupan. Madrasah telah menciptakan identitas tersendiri bagi bangsa Afghan.Dalam hal ini, madrasah mungkin berperan besar bagi lintas dan batas etnis diAfghanistan. Dr. Fazal Ghani Kakar dari Noor Educational and Capacity Development Organization (NECDO) Afghanistan dalam International Webinar bertajuk "Islamic Higher Education After The Covid-19 Pandemic" yang diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis malam menjelaskan lebih dalam mengenai pendidikan Islam di negaranya.

Dia menuturkan, setidaknya ada tiga kategori berbeda dalam pendidikan di Afghanistan. Yang pertama adalah pendidikan tradisional atau indigenous, pendidikan modern dan pendidikan Islam, paparnya. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kategori pertama, yakni pendidikan tradisional sudah ada lebih dulu sebelum pendidikan formal hadir di Afghanistan. Mereka umumnya belajar keterampilan untuk bertahan hidup dalam lingkungan pertanian atau normadik. Selain itu, mereka juga belajar mengenai budaya mereka dari generasi ke generasi. Sedangkan kategori kedua, yakni pendidikan modern lebih menitikberatkan pada ilmu pengetahuan dan sains. Sedangkan kategori ketiga, yakni pendidikan Islam, terbagi lagi menjadi dua kategori yang berbeda, yakni pendidikan Islam non-formal dan formal.

Setidaknya ada tiga hal yang membedakan pendidikan Islam formal dan non-formal di Afghanistan. Pertama, pendidikan Islam non-formal biasanya dilaksanakan di masjid. Bahkan sejumlah masjid memiliki ruangan khusus untuk belajar mengajar, ujarnya. Selain itu, sambungnya, pendidikan Islam non-formal juga tidak sembarangan mengizinkan seseorang menjadi guru. Mereka yang menjadi pendidik umumnya adalah imam masjid tersebut. Pendidikan tersebut juga fokus pada Al Quran dan Hadis. Sedangkan pendidikan Islam formal biasanya terbagi beberapa jenis lainnya, yakni sekolah masjid yang fokus pada pengajaran dasar Islam. Ada juga madrasah tradisional yang fokus ke hadis, tafsir, fiqih dan akidah. Ada juga madrasah atau sekolah modern yang bukan hanya fokus ke pendidikan Islam tapi juga ke sains dan Bahasa.

 

F.     Penutup.

Taliban telah memposisikan diri sebagai realitas sintesa, atau gerakan yang berusaha membenahi dua kenyataan tesis yang ada (yaitu tesis dan antitesis). Kubu Mujahidin Afghan yang berperang melawan Soviet merupakan kenyataan anti-tesis yang melawan realitas tesis persinggahan komunisme di Afghanistan. Perang Dingin memang menegaskan gelombang westernisasi yang disebarkan oleh kedua kutub yang telah disebutkan, bertujuan untuk menanamkan pengaruh oleh masing-masing dari kedua kutub dan kubu. Westernisasi demokrasi liberal dan Komunisme merupakan dua kubu yang mewakili Barat. Hakikat Perang Dingin sebenarnya adalah perseteruan antara negara-negara Barat untuk menguji bentuk filsafat, pemikiran dan ideologi mana yang berhak tampil untuk memimpin dunia. Dari banyaknya hal yang dapat disimpulkan, ada empat hal penting yang menarik dan menjadi penegasan-penegasan atau penarikan hikmah-hikmah sejarah, sekaligus jawaban dari empat pertanyaan yang terdapat pada bagian pendahuluan dalam kajian atau penelitian ini. Di antaranya: 1. Kondisi sosial-politik Afghanistan sebelum pemerintahan Taliban berdiri merupakan drama benturan antara pengaruh-pengaruh baru dan kekuatan asli lokal yang telah lama mengakar di Afghanistan. Kondisi ini juga menggambarkan sebuah proses pergulatan ideologi Islam dan Komunisme yang direpresentasikan oleh peristiwa invasi Uni Soviet yang telah memicu perlawanan dari Mujahidin (Pejuang Islam) Afghan. Di samping itu, perubahan dunia yang menempatkan ideologi-ideologi kunci dunia berputar dalam lingkaran kompetensi pengaruh. Pada saat pemerintahan Taliban berdiri, drama benturan memang terjadi, namun pada masa sebelumnya kondisi yang terjadi didukung oleh peristiwa besar dunia yang sedang terjadi pada masa itu, yaitu Perang Dingin. Sedangkan dalam masa pemerintahan Taliban, Perang Dingin telah digantikan oleh anasir-anasir benturan baru, bukan lagi antara Barat versus Barat, namun realitas klasik antara Barat versus Islam. Di Afghanistan pada masa sebelum Taliban, demokrasi-liberal memang menampakkan diri sebagai pengaruh baru, namun realitas persinggungannya dengan komunisme menempatkan Islam pada front utama untuk menghadapi komunisme. Akhirnya, Islam tetap harus menghadapi pengaruh Barat yang berarus komunisme, seiring ideologi Barat yang berarus demokrasi-liberal berada di belakang kekuatan Islam. 2. Perlawanan Islam Afghanistan memunculkan kelompok atau kelas baru dalam sejarah Afghanistan modern, namun klasik, yang disebut Mujahidin. Kelas ini merupakan cikal-bakal dinamika politik Islam kontemporer di Afghanistan, yang pengaruhnya luar biasa besar dalam perkembangan gerakan jihad global.  Namun ketika kelompok ini dapat menguasai Afghanistan, ketidak-stabilan poltik justru muncul karena para Mujahidin justru berperang satu sama lain. Kalau-pun Amerika Serikat hanya menyaksikan benturan yang terjadi karena invasi Soviet tersebut, Afghanistan tetap bersiap menghadapinya. Perlawanan Islam tentu saja menjadi pasukan yang tetap diandalkan di Afghanistan, selain pasukan-pasukan tribal juga muncul untuk mengusir Soviet bersama anasir- anasirnya. Kali ini, kekuatan Islam dimotori oleh kaum intelektual kampus, yang tidak juga mengenyampingkan seluruh komponen tradisional Islam di dalam masyarakat Afghan beserta struktur-strukturnya. Mereka semua disebut sebagai Mujahidin. 3. Sebuah gerakan Islam yang berasal dari madrasah-madrasah (sekolah) Islam di sekitaran Provinsi Qandahar, disebut Taliban, lantas muncul untuk meredam konflik dan akibat-akibat kriminalitas yang ditimbulkan akibat perseteruan Mujahidin tersebut. Taliban telah menawarkan posisi dinamika politik yang lebih radikal dibandingkan pemerintahan Mujahidin yang berhasil digesernya.Madrasah-madrasah Afghan di bagian selatan, yang merupakan cikal-bakal kemunculan Taliban, merupakan anasir paling penting dalam menjelaskan rekam-jejak Taliban, bahkan dalam sejarah Afghanistan. Kestabilan gerakan dan konsistensi ideologis merupakan modal utama yang dimiliki Taliban, sehingga terbentuklah sebuah wajah fundamental dan radikal (mendasar dan mengakar). Karena sudah sewajarnya, sebuah gerakan  resistensi memiliki basis-basis yang fundamental, radikal, ekstrim dan militan. Itu semua kembali pada tatanan nilai yang dibawa oleh Taliban. Kendati Taliban yang ingin mengadakan perubahan, harus memiliki nilai strategis yang fundamental dengan konsep yang teguh dan konsisten. Sebuah gerakan tak akan bisa menunjukkan eksistensinya bila ia tak memiliki nilai fundamental, dan hanya gerakan pembebek yang memakai nilai-nilai tidak stabil dalam visi-visi gerakannya. Taliban segera disebut-sebut akan menyambut isu keamanan Barat pasca-Perang Dingin, dan mempertegas kembali konfrontasi klasik yang permanen, yaitu Islam versus Barat. Kenyataan ini mendorong dinamika yang bergulir melalui dua arah: perubahan fenomena konfrontasi politik global dan perubahan lanskap politik Afghanistan yang ditenteng Taliban. 4. Taliban telah berhasil menegakkan sebuah pemerintahan Islam dan menjadikan Afghanistan sebagai sebuah markas bagi gerakan-gerakan Islam, semacam al-Qaidah. Hal tersebut semakin menyeret kepentingn global, akibat gerakan-gerakan Islam di Afghanistan tersebut dinilai Barat membahayakan hegemoni ideologisnya di dunia. Konflik ini merupakan benturan strategis pasca-Perang Dingin. Pada mulanya, Taliban menghadapi “ujian-ujian politik” kasat-mata. Benturan global ideologis pasca-Perang Dingin telah dan sedang berubah. Amerika Serikat tetap menjadi aktor utama dalam drama benturan  tersebut.

Pemerintahan Islam yang didirikan Taliban sejak tahun 1996 jelas akan menuai kontroversi dan permusuhan yang sengit. Sebagian besar manusia di dunia takkan menyukai  corak pemerintahan tersebut karena mereka lebih menyukai nilai-nilai yang di kampanyekan Amerika, dan banyak dari mereka terlena karenanya. Aspek ini memang begitu ironis. Di saat semua institusi modern menganut cara-cara yang sekular dan demokratis, Taliban berkata tidak kepada itu semua. Di dalam lanskap politik dunia, gerakan Taliban telah berhasil membawa kekuatan yang ditujukan untuk perubahan, di samping perseteruan global yang juga telah berubah begitu juga dengan dunia pendidikan di Afganistan.

Setidaknya ada tiga hal yang membedakan pendidikan Islam formal dan non-formal di Afghanistan. Pertama, pendidikan Islam non-formal biasanya dilaksanakan di masjid. Bahkan sejumlah masjid memiliki ruangan khusus untuk belajar mengajar, ujarnya. Selain itu, sambungnya, pendidikan Islam non-formal juga tidak sembarangan mengizinkan seseorang menjadi guru. Mereka yang menjadi pendidik umumnya adalah imam masjid tersebut. Pendidikan tersebut juga fokus pada Al Quran dan Hadis.

Taliban, untuk pertama kali, menjadi pelaku mengawali posisi perubahan perseteruan global dengan Barat setelah Perang Dingin. Taliban telah menunjukkan pada dunia, bahwa identitas kemandirian itu penting, dan kadang-kala berkata “tidak” itu perlu, di samping kesertaan untuk menanggung resiko dan celaan mayoritas. Bukankah Taliban ini hanya sebuah entitas tradisional yang hendak membangun negeri, Afghanistan, dengan semangat dan identitas mereka Untuk itu saja, Amerika harus membangun maha-aliansi untuk menundukkan rezim ini. Taliban telah membuktikan bahwa dinamika yang dipilihnya memang mengharuskan untuk bersikap kuat, dan meningkatkan perlindungannya kepada umat dan saudara- saudara yang sekeyakinan dengannya. Dengan itu pula, Taliban menunjukkan bahwa kejatuhannya tidak diiringi oleh kekalahan. Justru rezim-rezim yang bertekuk-lutut kepada trend global dan merasa aman karenanya itulah pihak- pihak yang kalah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ajid Thohir. 2011. Studi Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2010. “Islam and Secularism”, a.b. Khalif Muammar. Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN, CASIS dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM).

Al-Maqdisiy, Abu Muhammad ‘Ashim. 2012. Awan Kelam di Atas Ka’bah:Membongkar Kekafiran Saudi, a.b. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman.Banten: P-TA Press.

Al-Qathani, Muhammad Said. 2000. “Min Mafahim Aqidatis-salaf ash-Shalih: al- Wala’ wal-Bara’ fil Islam”, a.b. Salafuddin Abu Sayid. Loyalitas dan Antiloyalitas dalam Islam. Solo: Era Inter Media.

As-Suri, Abu Mushab. 2004. “Da’wah al-Muqawwamah al-Islamiyyah al- ‘Alamiyyah Bab: Hashaad ash-Shawah al-Islamiyyah wa at-Tayaar al-Jihadi (1930-2002)”, a.b.

Agus Suwandi. Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002): Sejarah, Eksperimen, dan Evaluasi. Solo: Jazeera. Azzam, Abdullah. 1986.

“Ayyaturrahman fie Jihadil Afghaan”, a.b. H. SalimBasyarahil. Perang Afghanistan. Jakarta: Gema Insani Press.

Dudung Abdurrahman. 2011. Metodologi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta: Ombak.

Edwards, David B.. 2002. Before Taliban: Genealogies of the Afghan Jihad, California: University of California Press.

Firdaus Syam. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya terhadap Dunia ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.